Perpajakan internasional menjadi semakin kompleks dalam konteks globalisasi, di mana perusahaan multinasional beroperasi lintas negara dan sering kali dihadapkan pada aturan pajak yang tumpang tindih. Salah satu tantangan utama yang timbul adalah pajak berganda internasional, di mana dua negara atau lebih mengenakan pajak terhadap penghasilan yang sama, yang dapat merugikan pihak-pihak yang terlibat, terutama perusahaan dan negara dengan kapasitas fiskal yang lebih lemah.
Masalah ini semakin rumit dengan adanya perbedaan yurisdiksi hukum, sistem perpajakan, serta kepentingan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang. Perusahaan multinasional sering kali dapat memanfaatkan celah dalam sistem perpajakan global untuk menghindari pajak, atau memindahkan keuntungan mereka ke yurisdiksi dengan tarif pajak lebih rendah, sebuah praktik yang dikenal sebagai profit shifting. Di sisi lain, negara-negara berkembang sering kali tidak memiliki sumber daya atau pengaruh yang cukup untuk menegosiasikan perjanjian pajak yang menguntungkan, yang menyebabkan hilangnya potensi pendapatan pajak yang signifikan. Dalam konteks inilah pendekatan Habermas, yang menekankan pentingnya komunikasi dan dialog dalam mencapai keadilan sosial, menjadi relevan.
Habermas, sebagai tokoh utama Mazhab Frankfurt, memperkenalkan konsep-konsep seperti tindakan komunikatif, demokrasi deliberatif, dan ruang publik, yang menawarkan cara baru untuk memikirkan tentang proses pembuatan kebijakan yang adil dan inklusif. Berbeda dengan pendekatan tradisional yang sering kali menggunakan rasionalitas instrumental di mana kebijakan publik dirancang untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara yang efisien tanpa mempertimbangkan partisipasi masyarakat Habermas mengusulkan bahwa kebijakan yang benar-benar adil hanya dapat dicapai melalui proses deliberatif yang melibatkan dialog terbuka antara semua pihak yang terkena dampak.
Kompleksitas Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda internasional adalah fenomena di mana pendapatan yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, yang biasanya terjadi ketika perusahaan atau individu memiliki aktivitas ekonomi di lebih dari satu yurisdiksi. Perpajakan berganda ini terjadi karena setiap negara berhak memungut pajak atas pendapatan yang diperoleh di wilayahnya, tetapi dalam banyak kasus, pendapatan tersebut juga dikenakan pajak di negara tempat perusahaan atau individu tersebut berdomisili. Akibatnya, perusahaan multinasional atau individu dapat dikenai beban pajak yang lebih tinggi daripada yang seharusnya, yang dapat mengurangi insentif untuk investasi lintas negara dan menghambat pertumbuhan ekonomi global.
Untuk mengatasi masalah ini, banyak negara telah menandatangani perjanjian pajak bilateral, yang dikenal sebagai Double Taxation Agreements (DTAs), yang bertujuan untuk menghindari pajak berganda dengan menentukan yurisdiksi pajak yang berlaku dan bagaimana pendapatan tersebut akan dikenai pajak. Meskipun DTAs merupakan solusi yang bermanfaat, perjanjian-perjanjian ini sering kali dirancang berdasarkan kepentingan negara-negara besar atau maju, sementara negara-negara kecil atau berkembang mungkin tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Hal ini menimbulkan tantangan besar dalam hal keadilan dan kesetaraan dalam sistem perpajakan internasional.
Jurgen Habermas
Jurgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929 di Dsseldorf, Jerman. Ia adalah salah satu filsuf dan sosiolog terkemuka di abad ke-20 yang dikenal karena kontribusinya dalam berbagai bidang filsafat sosial, teori kritis, dan komunikasi. Habermas adalah salah satu tokoh terkemuka generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, sebuah aliran pemikiran yang berfokus pada kritik sosial terhadap kapitalisme, modernitas, dan sistem kekuasaan. Habermas tumbuh dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh pengalaman rezim Nazi di Jerman, yang kemudian membentuk perspektif kritisnya terhadap otoritarianisme dan dominasi kekuasaan.
Habermas tumbuh di Jerman pada masa rezim Nazi, sebuah periode yang sangat memengaruhi pandangannya tentang filsafat dan politik. Masa kecilnya di bawah kekuasaan Nazi menanamkan rasa skeptis terhadap bentuk-bentuk otoritarianisme dan dominasi kekuasaan yang tampak jelas dalam karyanya di kemudian hari. Setelah Perang Dunia II, Habermas melanjutkan pendidikan di beberapa universitas terkemuka Jerman, termasuk Universitas Gttingen, Zrich, dan Bonn, di mana ia belajar filsafat, sejarah, psikologi, dan sastra Jerman.
Pada 1954, Habermas memperoleh gelar doktor dalam filsafat dengan disertasi tentang pemikiran Friedrich Schelling. Setelah menyelesaikan studinya, Habermas bergabung dengan Institut fr Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) di Frankfurt, yang menjadi pusat bagi Mazhab Frankfurt. Di sini, ia mulai berkolaborasi dengan para pemikir terkemuka seperti Theodor Adorno dan Max Horkheimer, yang sangat memengaruhi perkembangan awal intelektualnya.
Karier dan Karya
Pada tahun 1962, Habermas menerbitkan buku penting pertamanya, The Structural Transformation of the Public Sphere (Struktur Perubahan Ruang Publik). Dalam buku ini, ia menganalisis bagaimana ruang publik di Eropa telah berubah dari era feodal hingga kapitalisme modern, dengan menekankan pentingnya ruang diskusi publik dalam mendukung demokrasi. Buku ini memperkenalkan ide ruang publik sebagai area di mana individu dapat berdiskusi secara bebas tentang masalah-masalah publik tanpa tekanan dari negara atau pasar, yang menjadi salah satu tema sentral dalam pemikirannya.
Pada akhir 1960-an, Habermas mulai mengajar di Universitas Frankfurt, di mana ia kemudian menjadi profesor filsafat dan sosiologi. Ia juga menjabat sebagai direktur Institut Max Planck untuk Studi Kondisi Kehidupan di Mnchen. Sepanjang karier akademisnya, Habermas telah menulis lebih dari 30 buku dan ratusan artikel ilmiah, yang mencakup berbagai topik seperti etika, politik, hukum, sosiologi, dan filsafat bahasa.
Karya Habermas yang paling berpengaruh adalah The Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), yang diterbitkan dalam dua volume pada tahun 1981. Dalam karya ini, Habermas mengembangkan konsep tindakan komunikatif, yaitu bentuk interaksi sosial di mana tujuan utama adalah mencapai kesepahaman bersama melalui komunikasi yang rasional dan terbuka. Teori ini menandai pergeseran dari fokus Mazhab Frankfurt pada dominasi ekonomi dan kekuasaan menuju analisis yang lebih mendalam tentang bahasa dan komunikasi sebagai sarana utama dalam membangun hubungan sosial yang adil.
Habermas juga terkenal karena teorinya tentang demokrasi deliberatif, yang menekankan pentingnya partisipasi warga negara dalam proses pengambilan keputusan melalui diskusi publik yang rasional dan inklusif. Ia percaya bahwa keputusan publik yang adil hanya dapat dihasilkan melalui proses deliberatif di mana semua pihak yang terkena dampak memiliki kesempatan untuk menyuarakan pendapat mereka dan mencapai konsensus berdasarkan argumen rasional.
Pengaruh dan Penghargaan
Sepanjang kariernya, Habermas telah menerima berbagai penghargaan internasional atas kontribusinya dalam filsafat dan ilmu sosial. Beberapa penghargaan penting yang diterimanya antara lain adalah Penghargaan Kyoto pada tahun 2004 dan Penghargaan Holberg pada tahun 2005. Ia juga telah menerima gelar kehormatan dari berbagai universitas di seluruh dunia.
Habermas dianggap sebagai salah satu tokoh terpenting dalam filsafat kontemporer dan telah memberikan pengaruh besar pada berbagai bidang seperti teori politik, etika, hukum, dan studi komunikasi. Pemikirannya tentang rasionalitas komunikatif dan demokrasi deliberatif telah membentuk perdebatan intelektual tentang bagaimana masyarakat modern dapat mengatur diri mereka secara demokratis dan adil.
Kontribusi Terhadap Teori Kritis
Sebagai bagian dari Mazhab Frankfurt, Habermas telah mengembangkan teori kritis yang berfokus pada analisis kritis terhadap kapitalisme, demokrasi, dan masyarakat modern. Berbeda dengan pendahulunya seperti Adorno dan Horkheimer yang lebih pesimis terhadap potensi emansipasi melalui rasionalitas, Habermas tetap optimis bahwa komunikasi yang rasional dapat digunakan untuk mencapai kebebasan dan keadilan sosial.
Teori tindakan komunikatif Habermas adalah jawaban atas kritik sebelumnya dari Mazhab Frankfurt terhadap modernitas. Sementara Adorno dan Horkheimer melihat rasionalitas modern sebagai alat dominasi dan penindasan, Habermas berpendapat bahwa rasionalitas, jika digunakan dengan benar, dapat menjadi alat emansipasi. Dalam hal ini, ia menekankan pentingnya interaksi sosial yang berdasarkan pada komunikasi yang terbuka dan inklusif, di mana individu dapat mencapai kesepahaman melalui dialog yang rasional.
Habermas juga menekankan pentingnya ruang publik dalam mendukung demokrasi yang sehat. Ia percaya bahwa dalam masyarakat yang ideal, warga negara harus memiliki akses yang sama ke ruang publik untuk berdiskusi tentang masalah-masalah publik dan mempengaruhi keputusan politik. Dalam konteks ini, ia menyoroti bahaya hegemoni kekuasaan dan dominasi pasar yang dapat membatasi partisipasi warga negara dalam diskursus publik.
Warisan Intelektual
Habermas telah meninggalkan warisan intelektual yang mendalam, yang terus memengaruhi filsafat sosial, teori politik, dan studi komunikasi hingga saat ini. Pemikirannya tentang tindakan komunikatif dan demokrasi deliberatif telah menjadi landasan bagi banyak penelitian dan teori tentang bagaimana masyarakat modern dapat membangun hubungan sosial yang lebih inklusif dan adil.
Sebagai salah satu pemikir terbesar di dunia, Habermas terus memberikan pengaruh melalui karya-karyanya dan partisipasinya dalam diskusi publik tentang isu-isu kontemporer seperti globalisasi, hak asasi manusia, dan krisis demokrasi. Meskipun sudah berusia lanjut, Habermas tetap aktif dalam dunia akademik dan intelektual, terus menawarkan pandangan kritis terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat modern.
Jrgen Habermas dikenal dengan berbagai teori yang ia kembangkan sepanjang karier intelektualnya. Berikut adalah beberapa teori utama yang dikembangkan oleh Habermas dan berpengaruh besar dalam berbagai bidang, seperti filsafat, sosiologi, politik, dan ilmu komunikasi:
1. Teori Tindakan Komunikatif (The Theory of Communicative Action)
Teori ini mungkin adalah teori paling terkenal yang dikembangkan oleh Habermas, yang ia rumuskan dalam bukunya The Theory of Communicative Action (1981). Dalam teori ini, Habermas membedakan antara dua jenis tindakan sosial: tindakan strategis dan tindakan komunikatif.
Tindakan Strategis: Individu bertindak untuk mencapai tujuan mereka sendiri dengan cara apa pun yang mungkin, termasuk manipulasi, bujukan, atau paksaan. Ini didorong oleh rasionalitas instrumental di mana tujuan pribadi atau kelompok lebih diutamakan daripada mencapai konsensus dengan orang lain.
Tindakan Komunikatif:Â Individu atau kelompok terlibat dalam dialog rasional dengan tujuan mencapai mutual understanding (kesepahaman bersama). Dalam tindakan komunikatif, tujuan utama bukan untuk mencapai kepentingan pribadi, tetapi untuk mencapai konsensus berdasarkan argumen yang dapat diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Teori ini berfokus pada pentingnya komunikasi sebagai alat untuk membangun masyarakat yang demokratis, rasional, dan adil. Habermas berargumen bahwa tindakan komunikatif adalah fondasi untuk kehidupan sosial yang sehat, di mana individu mencapai kesepahaman melalui dialog yang terbuka dan inklusif.
2. Teori Demokrasi Deliberatif
Teori demokrasi deliberatif adalah perpanjangan dari teori tindakan komunikatif, yang diterapkan pada konteks politik dan pengambilan keputusan publik. Demokrasi deliberatif menekankan pentingnya partisipasi aktif warga negara dalam proses pengambilan keputusan melalui diskusi yang rasional dan inklusif. Menurut Habermas, dalam demokrasi yang ideal, keputusan politik harus didasarkan pada dialog yang jujur dan terbuka, di mana semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan yang setara untuk menyuarakan pendapat mereka dan memengaruhi hasil.
Dalam demokrasi deliberatif:
Proses pengambilan keputusan tidak didasarkan pada suara mayoritas semata, tetapi pada kualitas argumen yang diajukan dalam diskusi. Semua warga negara berhak untuk terlibat dalam perdebatan publik mengenai kebijakan yang akan diambil. Diskusi publik harus terbuka, rasional, dan bebas dari tekanan kekuasaan atau dominasi ekonomi. Habermas percaya bahwa melalui demokrasi deliberatif, keputusan publik yang lebih adil dan rasional dapat dihasilkan, karena keputusan tersebut didasarkan pada konsensus yang dicapai melalui dialog yang inklusif.
3. Teori Ruang Publik (Public Sphere)
Teori ruang publik (public sphere) pertama kali diperkenalkan oleh Habermas dalam bukunya The Structural Transformation of the Public Sphere (1962). Dalam buku ini, ia membahas bagaimana ruang publik di Eropa mengalami transformasi dari abad pertengahan hingga era kapitalisme modern. Ia mendefinisikan ruang publik sebagai arena di mana individu dapat berdiskusi secara bebas tentang isu-isu publik dan memberikan masukan terhadap kebijakan negara tanpa tekanan dari negara atau pasar.
Habermas berpendapat bahwa ruang publik yang sehat adalah syarat penting untuk keberhasilan demokrasi deliberatif. Dalam ruang publik, individu dapat berpartisipasi dalam diskusi rasional tentang kebijakan publik, dan keputusan yang dihasilkan melalui diskusi ini mencerminkan kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan negara atau kelompok dominan.
Namun, Habermas juga mengkritik bagaimana ruang publik modern sering kali dikuasai oleh kepentingan komersial dan negara, yang menghambat kebebasan diskusi dan partisipasi warga. Ia percaya bahwa untuk mencapai masyarakat yang demokratis, ruang publik harus dijaga agar tetap terbuka dan bebas dari dominasi kekuasaan ekonomi atau politik.
4. Teori Rasionalitas Komunikatif (Communicative Rationality)
Rasionalitas komunikatif adalah teori Habermas tentang bagaimana individu mencapai kesepakatan melalui komunikasi yang rasional. Rasionalitas komunikatif menekankan pentingnya komunikasi yang jujur, inklusif, dan terbuka untuk mencapai pemahaman bersama di antara individu atau kelompok. Berbeda dengan rasionalitas instrumental, yang berfokus pada cara paling efektif untuk mencapai tujuan pribadi, rasionalitas komunikatif berfokus pada pencapaian konsensus melalui dialog yang rasional dan non-manipulatif.
Habermas berpendapat bahwa rasionalitas komunikatif adalah dasar dari tindakan komunikatif dan kehidupan sosial yang sehat. Ia percaya bahwa hanya melalui rasionalitas komunikatif, masyarakat dapat mencapai keputusan yang adil dan rasional, baik dalam konteks sosial maupun politik.
5. Teori Pengetahuan dan Kepentingan Manusia (Knowledge and Human Interests)
Dalam bukunya Knowledge and Human Interests (1968), Habermas mengembangkan teori tentang tiga jenis kepentingan pengetahuan yang dimiliki manusia. Teori ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana berbagai bentuk pengetahuan manusia terkait dengan kepentingan tertentu.
Kepentingan Teknis: Berkaitan dengan kontrol manusia atas alam. Ini adalah jenis pengetahuan yang diperoleh melalui ilmu pengetahuan alam dan teknologi, yang tujuannya adalah untuk memahami dan menguasai dunia fisik untuk kepentingan praktis.
Kepentingan Praktis: Berkaitan dengan interaksi sosial antar manusia. Pengetahuan praktis digunakan untuk memahami norma-norma sosial dan membangun hubungan yang sehat di antara individu. Ini adalah jenis pengetahuan yang mendukung tindakan komunikatif.
Kepentingan Emansipatif: Berkaitan dengan pembebasan manusia dari bentuk-bentuk dominasi dan penindasan. Pengetahuan emansipatif berusaha membantu individu dan kelompok memahami struktur kekuasaan yang menindas, sehingga mereka dapat melawan dominasi tersebut. Pengetahuan ini terkait dengan kritik sosial dan teori kritis.
Habermas berargumen bahwa kepentingan teknis cenderung mendominasi dalam masyarakat modern, sementara kepentingan praktis dan emansipatif sering kali diabaikan. Ia percaya bahwa untuk mencapai masyarakat yang lebih adil, manusia perlu menyeimbangkan ketiga kepentingan pengetahuan ini.
6. Teori Kolonisasi Dunia Kehidupan oleh Sistem (Lifeworld and System)
Habermas juga mengembangkan konsep lifeworld (dunia kehidupan) dan system (sistem), yang ia gunakan untuk menjelaskan bagaimana kehidupan sosial manusia diatur. Dunia kehidupan adalah ruang di mana individu berinteraksi secara langsung dan membangun hubungan sosial berdasarkan norma-norma yang diakui bersama. Sebaliknya, sistem adalah struktur formal seperti ekonomi dan birokrasi yang diatur oleh rasionalitas instrumental.
Habermas berargumen bahwa dalam masyarakat modern, dunia kehidupan sering kali dikolonisasi oleh sistem. Ini berarti bahwa interaksi sosial manusia semakin diatur oleh logika efisiensi ekonomi dan kontrol birokrasi, sehingga mengabaikan norma-norma sosial yang penting untuk membangun hubungan yang sehat. Untuk melawan kolonisasi ini, Habermas menekankan pentingnya mempertahankan ruang publik dan tindakan komunikatif, di mana individu dapat berinteraksi secara bebas dan rasional tanpa tekanan dari sistem ekonomi atau politik.
Keadilan Pajak Berganda Internasional dan Komunikasi Tindakan Sebagai Mutual Understanding
Pajak berganda internasional merujuk pada situasi di mana penghasilan yang sama dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara. Kondisi ini biasanya terjadi ketika dua negara atau lebih memiliki yurisdiksi untuk memungut pajak atas penghasilan yang sama, baik karena perbedaan prinsip perpajakan maupun karena tumpang tindih aturan pajak. Misalnya, negara tempat tinggal (domisili) individu atau perusahaan mungkin mengenakan pajak atas penghasilan global mereka, sementara negara tempat penghasilan itu dihasilkan (sumber penghasilan) juga mengenakan pajak atas penghasilan tersebut. Akibatnya, individu atau perusahaan tersebut harus membayar pajak dua kali untuk penghasilan yang sama.
Perbedaan dalam prinsip perpajakan antarnegara sering kali menjadi penyebab utama terjadinya pajak berganda internasional. Secara umum, ada dua prinsip utama yang digunakan dalam sistem perpajakan global:
Prinsip Domisili (Residence Principle): Negara yang menganut prinsip ini mengenakan pajak atas semua penghasilan warga negaranya, baik penghasilan yang diperoleh di dalam negeri maupun di luar negeri. Misalnya, negara seperti Amerika Serikat memungut pajak penghasilan global dari warganya, terlepas dari di mana penghasilan tersebut diperoleh.
Prinsip Sumber Penghasilan (Source Principle): Negara yang menganut prinsip ini mengenakan pajak atas semua penghasilan yang dihasilkan di wilayahnya, baik oleh warga negara domestik maupun warga negara asing. Sebagai contoh, jika seseorang dari Indonesia bekerja di Jerman, Jerman dapat mengenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkan di wilayahnya, meskipun orang tersebut bukan warga negara Jerman.
Perbedaan antara kedua prinsip ini sering kali menimbulkan tumpang tindih yurisdiksi pajak, di mana penghasilan yang sama dikenakan pajak oleh dua negara atau lebih. Misalnya, seorang warga negara Indonesia yang bekerja di Amerika Serikat akan dikenakan pajak oleh Indonesia berdasarkan prinsip domisili dan oleh Amerika Serikat berdasarkan prinsip sumber penghasilan. Ini berarti penghasilan yang sama dikenakan pajak oleh dua negara berbeda, sehingga menciptakan beban pajak ganda bagi individu atau perusahaan tersebut.
Dampak Pajak Berganda Internasional
Pajak berganda internasional dapat memiliki sejumlah dampak negatif yang signifikan, baik bagi individu maupun bagi perusahaan multinasional yang beroperasi lintas batas. Dampak-dampak tersebut antara lain:
Beban Pajak Berlebihan: Pajak berganda jelas menambah beban bagi wajib pajak, karena mereka harus membayar pajak dua kali atas penghasilan yang sama. Ini tidak hanya menurunkan pendapatan bersih individu atau perusahaan, tetapi juga dapat menghambat kegiatan ekonomi internasional karena biaya pajak yang lebih tinggi.
Ketidakadilan dalam Distribusi Pajak: Pajak berganda melanggar prinsip keadilan dalam perpajakan, di mana beban pajak seharusnya dibagi secara adil sesuai dengan kemampuan wajib pajak untuk membayar. Ketika individu atau perusahaan harus membayar pajak dua kali, mereka dikenakan beban pajak yang lebih berat daripada wajib pajak domestik yang hanya membayar pajak di satu negara.
Penghambat Investasi Asing: Pajak berganda juga dapat menghambat aliran investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI). Perusahaan multinasional yang menghadapi pajak berganda mungkin enggan untuk melakukan ekspansi atau investasi di negara-negara yang menerapkan kebijakan pajak berganda, karena penghasilan yang dihasilkan di negara tersebut akan dikenakan pajak dua kali, yang pada akhirnya mengurangi laba bersih mereka.
Menurunkan Daya Saing Global: Bagi negara-negara yang tidak memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda, pengenaan pajak berganda dapat menurunkan daya tarik investasi mereka. Negara-negara ini mungkin kalah bersaing dengan negara-negara lain yang memiliki perjanjian penghindaran pajak berganda, yang menawarkan lingkungan perpajakan yang lebih bersahabat bagi perusahaan multinasional dan investor asing.
Upaya untuk Menghindari Pajak Berganda Internasional
Untuk mengatasi masalah pajak berganda internasional, banyak negara telah menandatangani Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau Double Taxation Agreements (DTA). Perjanjian ini bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak dua kali pada penghasilan yang sama dengan menetapkan aturan tentang bagaimana penghasilan antarnegara akan diperlakukan.
Misalnya, dalam P3B antara Indonesia dan Singapura, penghasilan tertentu yang diperoleh dari kegiatan lintas batas akan dikenakan pajak di negara tempat penghasilan itu dihasilkan (negara sumber), sementara negara domisili akan membebaskan atau memberikan kredit pajak atas penghasilan tersebut. Dengan demikian, individu atau perusahaan tidak perlu membayar pajak dua kali.
Selain itu, OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) juga telah berperan penting dalam mengembangkan pedoman dan kebijakan untuk mengatasi pajak berganda melalui inisiatif seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). BEPS bertujuan untuk mengatasi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah dan ketidaksesuaian aturan perpajakan antarnegara untuk mengurangi beban pajak mereka. Melalui standar global yang dikembangkan oleh OECD, negara-negara didorong untuk berkoordinasi dan mengadopsi kebijakan yang dapat mencegah pajak berganda serta menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil.
Namun, meskipun perjanjian seperti P3B dan inisiatif OECD telah membantu mengurangi terjadinya pajak berganda, masalah ini masih tetap ada, terutama dalam kasus yang melibatkan kegiatan ekonomi lintas batas yang lebih kompleks, seperti perdagangan elektronik, layanan digital, dan investasi portofolio internasional. Hal ini terjadi karena masih ada perbedaan interpretasi hukum pajak antarnegara, serta ketidaksinkronan kebijakan perpajakan yang dapat menyebabkan ketidakpastian bagi wajib pajak.
Pentingnya Komunikasi dan Kerjasama Internasional
Salah satu kunci untuk mengatasi tantangan perpajakan internasional, termasuk pajak berganda, adalah komunikasi yang efektif dan kerjasama antarnegara. Dalam sistem ekonomi global yang semakin saling terhubung, tidak ada negara yang dapat secara efektif mengelola perpajakan internasional sendirian. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog yang terbuka dan kolaborasi multilateral untuk mengatasi masalah perpajakan lintas batas.
Dalam hal ini, teori komunikasi tindakan dari Jürgen Habermas dapat digunakan sebagai landasan penting untuk memahami bagaimana dialog antarnegara dalam konteks perpajakan internasional dapat mendorong terciptanya mutual understanding atau saling pengertian. Habermas menekankan pentingnya komunikasi yang rasional dan dialog yang bebas dari dominasi, di mana semua pihak yang terlibat memiliki kesempatan yang setara untuk menyampaikan pandangan mereka dan berkontribusi dalam mencari solusi bersama.
Dalam konteks perpajakan internasional, prinsip-prinsip komunikasi ini dapat diterapkan dalam negosiasi perjanjian perpajakan antarnegara, di mana setiap negara harus mempertimbangkan kepentingan bersama dan bekerja menuju kesepakatan yang adil dan rasional. Hanya melalui dialog yang jujur dan terbuka inilah negara-negara dapat mencapai kesepahaman yang saling menguntungkan dan mengatasi masalah pajak berganda yang berlarut-larut
Keadilan dalam Pajak Berganda Internasional
Dalam konteks perpajakan internasional, pajak berganda merupakan salah satu isu yang paling penting karena menimbulkan ketidakadilan yang serius bagi individu dan entitas yang terkena dampaknya. Ketika wajib pajak harus membayar pajak di lebih dari satu yurisdiksi atas penghasilan yang sama, ini berarti mereka dikenakan beban yang lebih besar daripada yang dikenakan pada wajib pajak domestik yang hanya membayar pajak kepada satu negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip keadilan perpajakan yang menekankan bahwa pajak harus dipungut secara proporsional dan adil.
Prinsip-prinsip utama dalam keadilan perpajakan mencakup:
- Keadilan Horizontal: Wajib pajak yang berada dalam posisi ekonomi yang sama harus diperlakukan secara adil, artinya mereka harus membayar jumlah pajak yang sama terlepas dari lokasi mereka.
- Keadilan Vertikal: Wajib pajak yang memiliki kemampuan membayar lebih besar harus dikenakan pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki kemampuan membayar lebih rendah. Ini menekankan prinsip bahwa beban pajak harus sebanding dengan kemampuan seseorang atau entitas untuk membayar.
Namun, ketika pajak berganda terjadi, prinsip-prinsip ini sering kali dilanggar. Individu atau perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara seringkali dikenakan pajak berganda oleh negara asal (berdasarkan prinsip domisili) dan negara tempat mereka melakukan kegiatan ekonomi (berdasarkan prinsip sumber penghasilan).
Contohnya, seorang warga negara Indonesia yang bekerja di Amerika Serikat mungkin dikenakan pajak penghasilan oleh kedua negara tersebut. Dalam hal ini, Indonesia mengenakan pajak atas dasar domisili (karena individu tersebut masih merupakan warga negara Indonesia), sementara Amerika Serikat mengenakan pajak atas dasar sumber penghasilan (karena penghasilan tersebut diperoleh di Amerika Serikat). Akibatnya, orang tersebut menghadapi beban pajak yang lebih besar dibandingkan dengan seseorang yang bekerja hanya di satu negara.
Prinsip-prinsip dalam Pajak Berganda
Pajak berganda adalah masalah yang muncul karena perbedaan prinsip perpajakan yang diterapkan oleh berbagai negara. Ada dua prinsip utama yang sering menyebabkan terjadinya pajak berganda internasional:
- Prinsip Domisili (Residence Principle): Prinsip ini mengharuskan individu atau entitas yang berdomisili di suatu negara untuk membayar pajak atas semua penghasilan mereka, baik yang diperoleh dari dalam negeri maupun luar negeri. Negara-negara yang menganut prinsip domisili, seperti Amerika Serikat, mengenakan pajak global kepada warganya, sehingga penghasilan yang diperoleh di luar negeri juga dikenakan pajak oleh negara asal.
- Prinsip Sumber Penghasilan (Source Principle): Prinsip ini mengharuskan penghasilan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi yang terjadi di suatu negara untuk dikenakan pajak oleh negara tersebut, tanpa memperhatikan kewarganegaraan atau domisili pihak yang memperoleh penghasilan. Negara-negara yang menganut prinsip ini akan mengenakan pajak atas semua penghasilan yang dihasilkan dalam wilayah mereka, baik oleh warga negara mereka sendiri maupun warga negara asing.
Ketidakcocokan antara kedua prinsip ini sering kali menyebabkan tumpang tindih yurisdiksi pajak, di mana penghasilan yang sama dikenakan pajak oleh dua negara berbeda. Untuk menghindari masalah ini, banyak negara telah menyepakati Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang mengatur bagaimana penghasilan antarnegara diperlakukan sehingga tidak terjadi pajak berganda.
Namun, meskipun ada P3B, pajak berganda tetap menjadi masalah dalam banyak kasus. Salah satu alasannya adalah karena perbedaan interpretasi dari perjanjian tersebut antara berbagai negara, terutama dalam kasus penghasilan yang diperoleh dari aktivitas lintas batas yang kompleks seperti perdagangan elektronik, investasi portofolio, atau operasi perusahaan multinasional.
Teori Komunikasi Tindakan dari Jurgen Habermas
Jurgen Habermas, seorang filsuf terkemuka dari Mazhab Frankfurt, mengembangkan teori komunikasi tindakan yang berfokus pada bagaimana individu dan kelompok dapat mencapai saling pengertian dan konsensus melalui proses dialog yang rasional dan terbuka. Teori ini sangat relevan dalam konteks perpajakan internasional, di mana komunikasi yang efektif dan saling pengertian sangat dibutuhkan untuk mengatasi konflik dan masalah yang kompleks.
Habermas membedakan antara dua jenis tindakan yang dilakukan manusia dalam interaksi sosial:
- Tindakan Teleologis atau Instrumental: Tindakan yang diarahkan pada pencapaian tujuan tertentu melalui sarana yang efisien. Dalam tindakan ini, individu atau kelompok sering kali mengejar kepentingan mereka sendiri tanpa memperhatikan dampaknya terhadap orang lain. Dalam konteks perpajakan internasional, tindakan teleologis mungkin terwujud dalam bentuk negara-negara yang hanya berusaha memaksimalkan pendapatan pajak mereka tanpa memperhatikan dampaknya terhadap sistem perpajakan global atau keadilan bagi wajib pajak internasional.
- Tindakan Komunikatif: Tindakan yang bertujuan untuk mencapai kesepahaman dan konsensus melalui dialog yang rasional dan terbuka. Tindakan ini melibatkan proses saling pengertian di antara individu atau kelompok, di mana mereka berusaha mencapai kesepakatan berdasarkan kepentingan bersama dan kebenaran. Dalam konteks perpajakan internasional, tindakan komunikatif akan terwujud dalam bentuk dialog antarnegara yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang adil mengenai bagaimana penghasilan lintas batas harus diperlakukan untuk menghindari pajak berganda.
Teori tindakan komunikatif Habermas menekankan bahwa kesepakatan yang adil hanya dapat tercapai melalui proses komunikasi yang rasional. Negara-negara harus berkomunikasi secara jujur dan terbuka, serta berusaha memahami perspektif dan kepentingan negara lain dalam upaya untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Jika negara-negara hanya terfokus pada kepentingan nasional mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan kepentingan pihak lain, maka hasilnya akan berupa konflik atau kebijakan perpajakan yang tidak adil.
Pajak Berganda Internasional: Tindakan Strategis vs. Tindakan Komunikatif
Dalam teori komunikasi tindakan, Habermas juga membedakan antara tindakan strategis dan tindakan komunikatif. Tindakan strategis adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk mencapai keberhasilan atau kepentingan pribadi melalui berbagai cara, termasuk manipulasi, persuasi, atau tekanan. Sebaliknya, tindakan komunikatif adalah tindakan yang diarahkan pada pencapaian saling pengertian dan konsensus melalui proses dialog yang rasional.
Dalam konteks pajak berganda internasional, negara-negara sering kali terlibat dalam tindakan strategis, di mana mereka lebih fokus pada memaksimalkan pendapatan pajak mereka sendiri tanpa memperhatikan dampak pada keadilan bagi wajib pajak internasional atau sistem perpajakan global secara keseluruhan. Misalnya, negara-negara dapat terlibat dalam perlombaan ke dasar (race to the bottom), di mana mereka bersaing untuk menarik investasi asing dengan menawarkan tarif pajak yang sangat rendah, yang pada gilirannya dapat memaksa negara lain untuk melakukan hal yang sama.
Sebaliknya, tindakan komunikatif melibatkan pendekatan yang lebih kooperatif, di mana negara-negara berusaha untuk mencapai kesepakatan yang adil melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dalam skenario ini, negara-negara tidak hanya fokus pada kepentingan nasional mereka sendiri, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan negara lain dan dampak kebijakan perpajakan mereka pada sistem perpajakan global. Proses ini menciptakan peluang untuk mencapai mutual understanding yang dapat meminimalkan konflik dan ketidakadilan dalam perpajakan internasional.
Demokrasi Deliberatif dalam Proses Perpajakan Internasional
Salah satu konsep penting yang dikembangkan oleh Habermas adalah demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif adalah sistem di mana keputusan politik atau kebijakan diambil berdasarkan diskusi yang terbuka dan rasional di antara semua pihak yang berkepentingan. Dalam demokrasi deliberatif, semua peserta dalam diskusi memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangan mereka, dan keputusan dibuat berdasarkan argumen yang terbaik dan paling rasional.
Dalam konteks perpajakan internasional, demokrasi deliberatif dapat digunakan sebagai kerangka kerja untuk proses pengambilan keputusan yang lebih inklusif dan adil. Alih-alih membuat kebijakan perpajakan secara sepihak atau melalui negosiasi tertutup antara negara-negara kuat, proses deliberatif akan melibatkan semua pihak yang terdampak, termasuk negara berkembang, perusahaan multinasional, dan masyarakat sipil.
Proses deliberatif ini memiliki beberapa karakteristik kunci:
- Keterbukaan dan Transparansi: Semua peserta dalam diskusi memiliki akses yang sama terhadap informasi yang relevan, dan proses pengambilan keputusan dilakukan secara transparan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada pihak yang memonopoli informasi atau memanipulasi proses pengambilan keputusan untuk keuntungan mereka sendiri.
- Partisipasi yang Setara: Semua pihak yang terdampak oleh keputusan pajak internasional harus memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam diskusi. Ini termasuk negara-negara berkembang yang sering kali terpinggirkan dalam negosiasi perpajakan internasional.
- Argumen Rasional: Keputusan dibuat berdasarkan argumen yang paling rasional dan terbaik, bukan berdasarkan kekuatan atau pengaruh politik. Setiap peserta harus memberikan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk setiap posisi atau argumen yang mereka ajukan.
Dalam konteks perpajakan internasional, demokrasi deliberatif dapat digunakan untuk mencapai kebijakan perpajakan yang lebih adil. Misalnya, proses negosiasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dapat dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dalam diskusi terbuka dan rasional. Dalam proses ini, negara-negara kuat tidak seharusnya mendominasi negosiasi, melainkan harus mempertimbangkan kepentingan negara-negara lain serta dampak kebijakan mereka pada sistem perpajakan global secara keseluruhan.
Etika Diskursus dalam Pajak Internasional
Habermas juga menekankan pentingnya etika diskursus dalam proses komunikasi dan pengambilan keputusan. Etika diskursus melibatkan prinsip-prinsip yang mengatur bagaimana diskusi dilakukan untuk memastikan bahwa semua pihak diperlakukan secara adil dan setara. Prinsip-prinsip ini mencakup:
- Kesetaraan Partisipasi: Semua peserta dalam diskusi memiliki hak yang sama untuk berbicara, mengajukan pertanyaan, dan menyampaikan argumen.
- Kebebasan Berbicara: Tidak ada peserta yang boleh ditekan atau dipaksa untuk menerima argumen yang mereka tidak setujui. Semua pihak harus bebas menyatakan pandangan mereka tanpa ancaman atau paksaan.
- Kejujuran dan Transparansi: Semua argumen dan informasi yang disampaikan dalam diskusi harus jujur dan transparan. Manipulasi informasi atau penyembunyian fakta tidak diizinkan.
- Komitmen pada Konsensus: Tujuan diskusi adalah untuk mencapai konsensus yang rasional dan adil. Para peserta harus berusaha untuk mencapai kesepakatan yang didasarkan pada kepentingan bersama, bukan hanya pada kepentingan mereka sendiri.
Dalam konteks perpajakan internasional, etika diskursus dapat digunakan untuk memastikan bahwa proses negosiasi dan pengambilan keputusan dilakukan secara adil dan transparan. Negara-negara kuat tidak boleh mendominasi negosiasi atau memaksakan kebijakan yang menguntungkan mereka sendiri. Sebaliknya, semua negara dan pihak yang terdampak harus memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pandangan mereka, dan keputusan harus didasarkan pada argumen yang rasional dan adil.
Kesimpulan
Pajak berganda internasional adalah tantangan besar dalam sistem perpajakan global yang dapat menimbulkan ketidakadilan bagi wajib pajak internasional. Fenomena ini tidak hanya meningkatkan beban pajak bagi individu atau entitas yang beroperasi di lebih dari satu negara, tetapi juga merusak prinsip keadilan perpajakan.
Pendekatan komunikasi tindakan dari Jürgen Habermas memberikan kerangka teoretis yang penting untuk menyelesaikan masalah ini. Dengan mengedepankan dialog yang terbuka, rasional, dan jujur antara negara-negara yang terlibat, masalah pajak berganda dapat diatasi melalui mutual understanding dan demokrasi deliberatif.
Referensi : PPT Habermas, Keadilan Pajak Berganda Internasional Dan Bentuk Komunikasi Tindakan Sebagai Mutual Understanding oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABGÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H