Mohon tunggu...
NINA KARINA ZAI
NINA KARINA ZAI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA MAGISTER AKUNTANSI

NIM : 55523110029 | Program Studi : Magister Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Diskursus Kritik Mutual Agreement Prosedure (MAP) dalam Tax Treaty

18 Oktober 2024   15:51 Diperbarui: 18 Oktober 2024   16:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seiring dengan semakin berkembangnya ekonomi global dan transaksi lintas negara, permasalahan perpajakan internasional menjadi semakin kompleks. Salah satu isu utama yang dihadapi oleh perusahaan multinasional dan individu yang memiliki penghasilan lintas negara adalah pajak berganda, yaitu ketika penghasilan yang sama dikenakan pajak oleh dua negara berbeda. Untuk mengatasi masalah ini, banyak negara termasuk Indonesia telah menandatangani Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau dikenal juga sebagai Tax Treaty. Perjanjian Pajak Berganda (P3B) adalah instrumen yang penting dalam mencegah pemajakan berganda dan menghindari penghindaran pajak, yang dapat menghambat investasi lintas negara. Salah satu mekanisme yang terdapat dalam P3B adalah Mutual Agreement Procedure (MAP). Prosedur ini memungkinkan negara-negara yang menandatangani P3B untuk menyelesaikan sengketa pajak yang mungkin timbul akibat penafsiran atau penerapan perjanjian tersebut. Meskipun MAP bertujuan untuk memberikan solusi bagi wajib pajak dan mendorong kerjasama internasional, terdapat berbagai kritik yang perlu dibahas secara mendalam. 

Apa itu Mutual Agreement Procedure (MAP)?

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian bilateral yang bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak dua kali atas penghasilan yang diperoleh oleh penduduk atau perusahaan yang beroperasi di dua negara atau lebih. Dalam konteks internasional, P3B memberikan kerangka kerja hukum bagi negara-negara mitra untuk menentukan siapa yang berhak memungut pajak atas penghasilan tertentu, serta mengatur bagaimana wajib pajak dapat menghindari pajak berganda.

Peraturan mengenai P3B di Indonesia terus berkembang seiring dengan perubahan kebijakan perpajakan internasional. P3B tidak hanya memberikan perlindungan bagi subjek pajak dari pajak berganda, tetapi juga memberikan panduan kepada wajib pajak dalam negeri dan negara mitra terkait prosedur dan aturan yang harus diikuti.

MAP merupakan suatu prosedur yang diatur dalam P3B yang memberikan kesempatan kepada otoritas pajak dari dua negara yang terlibat untuk saling berkomunikasi dan bernegosiasi guna mencapai kesepakatan atas permasalahan pajak tertentu. Hal ini sangat relevan dalam konteks pemajakan berganda, di mana seorang wajib pajak mungkin dikenakan pajak di lebih dari satu negara atas penghasilan yang sama.

Sumber: PPT Diskursus Kritik Mutual Agreement  Procedure  Tax Treaty   oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si 
Sumber: PPT Diskursus Kritik Mutual Agreement  Procedure  Tax Treaty   oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si 

Tujuan MAP

Tujuan utama dari MAP adalah untuk:

  1. Mencegah Pemajakan Berganda: MAP bertujuan untuk mencegah situasi di mana pajak dikenakan secara bersamaan oleh dua negara atas penghasilan yang sama.
  2. Memberikan Kepastian Hukum: Melalui MAP, wajib pajak dapat memperoleh kepastian hukum mengenai kewajiban pajaknya dan menghindari risiko sengketa di masa mendatang.
  3. Meningkatkan Kerjasama Internasional: MAP mendorong negara-negara untuk bekerja sama dalam menyelesaikan masalah perpajakan yang kompleks, yang sering kali melibatkan berbagai yurisdiksi.

Prosedur Mutual Agreement Procedure (MAP)

Sumber : https://pajakconsulting.com/perjanjian-pajak-tax-treaty/#google_vignette
Sumber : https://pajakconsulting.com/perjanjian-pajak-tax-treaty/#google_vignette

Prosedur MAP umumnya mengikuti langkah-langkah berikut:

  1. Permohonan MAP: Wajib pajak yang merasa dirugikan akibat pemajakan berganda dapat mengajukan permohonan MAP kepada otoritas pajak di negara tempat mereka tinggal atau beroperasi.
  2. Penerimaan Permohonan: Otoritas pajak yang menerima permohonan akan mengevaluasi kelayakan permohonan tersebut. Jika memenuhi syarat, mereka akan menghubungi otoritas pajak negara lain yang terlibat.
  3. Negosiasi: Otoritas pajak dari kedua negara akan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan mengenai pemajakan yang dipermasalahkan. Negosiasi ini dapat melibatkan pertukaran informasi dan dokumen yang relevan.
  4. Kesepakatan: Setelah mencapai kesepakatan, hasil negosiasi akan dituangkan dalam suatu dokumen resmi yang menetapkan bagaimana pajak akan dikenakan.
  5. Pelaksanaan: Otoritas pajak masing-masing negara akan melaksanakan kesepakatan yang telah dicapai sesuai dengan hukum nasional mereka.

Prosedur Penerapan P3B dan MAP di Indonesia

Sumber : PPT Diskursus Kritik Mutual Agreement  Procedure  Tax Treaty   oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si 
Sumber : PPT Diskursus Kritik Mutual Agreement  Procedure  Tax Treaty   oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si 

Di Indonesia, penerapan P3B dan MAP diatur oleh berbagai peraturan perpajakan, termasuk Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-52/PJ/2021 dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2018. Beberapa poin penting dari peraturan tersebut adalah:

  1. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-52/PJ/2021: Mengatur tata cara penerapan P3B bagi subjek pajak dalam negeri dan negara mitra. Surat edaran ini juga memberikan petunjuk operasional mengenai bagaimana MAP dilaksanakan di Indonesia.
  2. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-25/PJ/2018: Peraturan ini menguraikan secara spesifik prosedur pelaksanaan P3B dan MAP, termasuk bagaimana subjek pajak dapat mengajukan permohonan MAP, langkah-langkah yang harus dilakukan oleh otoritas pajak, dan proses negosiasi antara negara yang terlibat.

MAP dalam konteks P3B memberikan beberapa keuntungan, di antaranya:

  • Penyelesaian damai tanpa pengadilan: MAP memungkinkan penyelesaian sengketa perpajakan secara lebih cepat dan efisien tanpa harus melalui pengadilan.
  • Transparansi dan kepastian hukum: Prosedur ini memberikan transparansi bagi wajib pajak dalam proses penyelesaian sengketa, serta menciptakan kepastian hukum terkait interpretasi P3B.
  • Mencegah pajak berganda: MAP memberikan jaminan bahwa penghasilan tidak akan dikenakan pajak dua kali oleh negara-negara yang terlibat dalam perjanjian.

Kritik Terhadap MAP

Meskipun MAP diharapkan dapat memberikan solusi untuk permasalahan perpajakan internasional, beberapa kritik muncul terkait efektivitas dan implementasinya. Beberapa kritik tersebut antara lain:

1. Proses yang Panjang dan Rumit

Salah satu kritik utama terhadap MAP adalah bahwa prosesnya cenderung panjang dan rumit. Negosiasi antara dua negara dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tergantung pada kompleksitas kasus dan kerjasama antara otoritas pajak. Hal ini dapat menyebabkan ketidakpastian bagi wajib pajak, yang mungkin harus menunggu lama sebelum mendapatkan penyelesaian.

2. Kurangnya Keterbukaan dan Transparansi

Dalam banyak kasus, proses MAP kurang transparan. Wajib pajak sering kali tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi terkait proses dan perkembangan negosiasi. Kurangnya keterbukaan ini dapat menimbulkan ketidakpercayaan dan mengurangi efektivitas prosedur.

3. Keterbatasan Ruang Lingkup

MAP hanya dapat diterapkan pada sengketa yang terkait dengan penafsiran atau penerapan P3B. Ini berarti bahwa permasalahan perpajakan lainnya, seperti penghindaran pajak atau penyalahgunaan perjanjian pajak, tidak dapat diselesaikan melalui MAP. Hal ini membatasi efektivitas MAP sebagai alat untuk menyelesaikan berbagai masalah perpajakan internasional.

4. Kualitas Kesepakatan yang Beragam

Kesepakatan yang dicapai melalui MAP dapat bervariasi dalam kualitas dan substansi. Terkadang, kesepakatan yang dicapai tidak memberikan hasil yang adil bagi wajib pajak, atau malah memperburuk situasi pemajakan. Variabilitas ini mencerminkan bahwa kesepakatan bergantung pada keinginan dan posisi negosiasi dari masing-masing otoritas pajak.

5. Pembatasan Waktu dan Sumber Daya

Otoritas pajak di banyak negara sering kali menghadapi keterbatasan sumber daya, baik dari segi anggaran maupun staf. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka untuk secara efektif menangani permohonan MAP. Keterbatasan ini dapat berujung pada penundaan dalam proses negosiasi dan kesepakatan yang tidak optimal.

Perbandingan MAP dengan Prosedur Penyelesaian Sengketa Lainnya

Dalam konteks penyelesaian sengketa pajak internasional, terdapat beberapa prosedur lain yang juga dapat dipertimbangkan, seperti arbitrase atau mediasi. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri:

1. Mutual Agreement Procedure (MAP)

Definisi: MAP adalah prosedur yang terdapat dalam Perjanjian Pajak Berganda (P3B) yang memungkinkan dua negara untuk bernegosiasi dan mencapai kesepakatan mengenai pemajakan yang dipermasalahkan oleh wajib pajak. Tujuannya adalah untuk mencegah pemajakan berganda dan memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak.

Prosedur:

  • Permohonan: Wajib pajak mengajukan permohonan MAP kepada otoritas pajak negara tempat tinggal atau tempat usahanya.
  • Evaluasi dan Negosiasi: Otoritas pajak dari kedua negara melakukan evaluasi atas permohonan dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan.
  • Kesepakatan dan Pelaksanaan: Setelah mencapai kesepakatan, otoritas pajak akan melaksanakan kesepakatan tersebut.

Kelebihan:

  • Kerjasama Internasional: Mendorong negara-negara untuk bekerja sama dalam menyelesaikan sengketa.
  • Mencegah Pemajakan Berganda: Menyediakan mekanisme untuk menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan pemajakan berganda.
  • Kepastian Hukum: Memberikan kepastian kepada wajib pajak tentang kewajiban pajaknya.

Kekurangan:

  • Proses yang Panjang: Prosedur MAP seringkali memakan waktu lama, tergantung pada kompleksitas kasus.
  • Kurangnya Transparansi: Proses MAP bisa kurang transparan, yang dapat menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak.
  • Kualitas Kesepakatan Beragam: Hasil kesepakatan dapat bervariasi, dan terkadang tidak memberikan hasil yang adil bagi wajib pajak.

2.  Arbitrase

Definisi: Arbitrase adalah proses di mana sengketa diselesaikan oleh pihak ketiga yang netral, yang memberikan keputusan yang mengikat untuk kedua belah pihak. Ini biasanya digunakan dalam konteks komersial tetapi juga dapat diterapkan dalam konteks perpajakan.

Prosedur:

  • Pengajuan Sengketa: Salah satu pihak mengajukan sengketa kepada lembaga arbitrase yang disepakati.
  • Pemilihan Arbiter: Para pihak memilih arbiter yang akan menyelesaikan sengketa.
  • Sidang Arbitrase: Proses pendengaran dilakukan di mana kedua belah pihak menyajikan bukti dan argumen mereka.
  • Keputusan: Arbiter memberikan keputusan yang mengikat dan harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Kelebihan:

  • Keputusan Mengikat: Hasil arbitrase bersifat mengikat dan tidak dapat diubah, memberikan kepastian kepada kedua belah pihak.
  • Proses yang Lebih Cepat: Proses arbitrase sering kali lebih cepat dibandingkan dengan MAP, tergantung pada kompleksitas kasus.
  • Netralitas: Pihak ketiga yang netral mengurangi kemungkinan bias dalam penyelesaian sengketa.

Kekurangan:

  • Biaya: Proses arbitrase bisa sangat mahal, terutama jika melibatkan banyak pihak atau saksi ahli.
  • Kurangnya Fleksibilitas: Proses arbitrase lebih formal dan kurang fleksibel dibandingkan dengan MAP.
  • Keterbatasan dalam Penanganan Kasus: Arbitrase hanya dapat digunakan jika kedua belah pihak setuju untuk menggunakannya dan tidak dapat diterapkan pada semua jenis sengketa pajak.

3. Mediasi

Definisi: Mediasi adalah proses di mana pihak ketiga yang netral membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan. Mediasi lebih bersifat kolaboratif dan fokus pada penyelesaian yang saling menguntungkan.

Prosedur:

  • Permintaan Mediasi: Salah satu pihak mengajukan permohonan untuk mediasi kepada mediator yang disepakati.
  • Sesi Mediasi: Mediator akan mengadakan sesi dengan kedua belah pihak untuk mendiskusikan isu-isu yang dipermasalahkan.
  • Penyusunan Kesepakatan: Mediator membantu para pihak dalam merumuskan kesepakatan yang saling menguntungkan.
  • Kesepakatan: Jika kesepakatan tercapai, itu akan dituangkan dalam dokumen yang mengikat secara hukum.

Kelebihan:

  • Fleksibilitas: Proses mediasi lebih fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan kedua belah pihak.
  • Biaya yang Lebih Rendah: Mediasi biasanya lebih murah dibandingkan dengan arbitrase.
  • Hubungan yang Terjaga: Proses mediasi mendorong kolaborasi dan dapat membantu mempertahankan hubungan baik antara pihak-pihak yang terlibat.

Kekurangan:

  • Keputusan Tidak Mengikat: Kesepakatan yang dicapai dalam mediasi tidak selalu bersifat mengikat, tergantung pada kesepakatan awal antara pihak-pihak yang terlibat.
  • Ketergantungan pada Kerja Sama: Keberhasilan mediasi sangat bergantung pada kemauan kedua belah pihak untuk bekerja sama.
  • Tidak Semua Kasus Cocok: Mediasi mungkin tidak efektif untuk semua jenis sengketa, terutama yang melibatkan isu hukum yang kompleks.

Setiap prosedur penyelesaian sengketa memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri, dan pemilihan prosedur yang tepat sangat bergantung pada konteks dan karakteristik kasus yang dihadapi. MAP menjadi pilihan yang baik untuk penyelesaian sengketa yang terkait dengan P3B, sementara arbitrase dan mediasi menawarkan alternatif yang berbeda dengan pendekatan dan hasil yang bervariasi. Pemahaman yang mendalam tentang masing-masing prosedur ini dapat membantu wajib pajak dan otoritas pajak dalam mengambil keputusan yang tepat dalam menghadapi sengketa pajak internasional.

Contoh Kasus MAP

Salah satu contoh kasus MAP yang terkenal adalah kasus antara AS dan Swiss mengenai pemajakan penghasilan dari rekening bank. Dalam kasus ini, beberapa wajib pajak AS dituduh tidak melaporkan rekening bank di Swiss. Otoritas pajak AS dan Swiss menggunakan prosedur MAP untuk bernegosiasi mengenai pemajakan atas penghasilan yang diperoleh dari rekening tersebut. Negosiasi ini melibatkan pertukaran informasi dan analisis yang mendalam, dan akhirnya menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak.

Rekomendasi untuk Peningkatan MAP

Untuk meningkatkan efektivitas MAP, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:

  1. Peningkatan Keterbukaan dan Transparansi: Negara-negara harus berkomitmen untuk meningkatkan keterbukaan dalam proses MAP, sehingga wajib pajak dapat memahami lebih baik mengenai perkembangan dan hasil negosiasi.

  2. Penyederhanaan Prosedur: Proses MAP harus disederhanakan agar lebih cepat dan efisien. Negara-negara dapat merumuskan pedoman yang jelas untuk mempercepat proses dan mengurangi beban administratif.

  3. Pelatihan untuk Otoritas Pajak: Memberikan pelatihan kepada staf otoritas pajak mengenai MAP dan cara bernegosiasi dengan negara lain dapat membantu meningkatkan kualitas dan efisiensi proses.

  4. Kerjasama Internasional yang Lebih Baik: Negara-negara perlu meningkatkan kerjasama dalam penyelesaian sengketa perpajakan dengan berbagi informasi dan praktik terbaik.

  5. Penilaian Berkala: Negara-negara harus melakukan penilaian berkala terhadap efektivitas MAP dan melakukan perubahan yang diperlukan berdasarkan hasil penilaian tersebut.

Kesimpulan

Mutual Agreement Procedure (MAP) merupakan instrumen penting dalam Perjanjian Pajak Berganda yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa pajak internasional. Meskipun MAP menawarkan sejumlah manfaat, kritik yang muncul menunjukkan bahwa prosesnya masih memerlukan perbaikan. Dengan meningkatkan transparansi, menyederhanakan prosedur, dan meningkatkan kerjasama internasional, negara-negara dapat memperkuat efektivitas MAP sebagai alat penyelesaian sengketa perpajakan internasional.

Referensi

  1. OECD. (2017). Model Tax Convention on Income and on Capital: Condensed Version 2017. OECD Publishing.
  2. OECD. (2020). Tax Treaty Policy and the OECD Multilateral Instrument. OECD Publishing.
  3. Likhovski, A. (2015). Tax Treaties and the Mutual Agreement Procedure: A Study of the Israeli Experience. International Bureau of Fiscal Documentation.
  4. Beer, S., & Loeprick, J. (2015). The Role of the Mutual Agreement Procedure in International Taxation. In International Taxation of Digital Economy (pp. 25-49). Springer.
  5. Spengel, C., & Dobrinski, T. (2017). The Impact of Mutual Agreement Procedures on International Taxation. European Taxation, 57(1), 16-23.
  6. PPT Diskursus Kritik Mutual Agreement  Procedure  Tax Treaty   oleh Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun