KTP-EL, siapa yang tidak mengetahui istilah itu? Hampir seluruh warga sudah memahami maksudnya, yaitu sebuah kartu tanda penduduk elektronik warga negara Indonesia yang masa aktifnya seumur hidup.Â
Menteri dalam Negeri (MENDAGRI) selalu memberikan himbauan kepada masyarakat agar segera mengurus administrasi kependudukannya, guna untuk memudahkan pencatatan dan pendataan yang akan digunakan untuk kepentingan yang berkordinasi dengan pihak terkait.
Seperti yang penulis lansir dari laman kominfo.go.id, bahwa pada 1 Januari 2014 pembuatan KTP sudah digratiskan, tidak lagi ada biaya lain-lain. Bahkan, katanya, jika ada apparat yang masih memungut biaya akan diancam dengan pidana 2 tahun penjara atau denda seberat Rp25 jt. Katanya juga, peraturan KTP gratis itu telah tertuang dalam BAB IXA tentang Pendanaan UU perubahan atas nomor 26/2006 pasal 87A dan 87B.
Tidak bisa dipungkiri, info tersebut seketika menyebar luas. Masyarakat senang dan mulai berbondong-bondong merekam data mereka ke Kecamatan setempat. Ada yang menaiki sepeda tuanya, ada yang jalan kaki menggandeng atau menggendong anaknya, dan ada pula anak muda yang baru lulus SMA/sederajat datang bersama teman-temannya.Â
Bisa kalian bayangkan bagaimana bahagianya mereka terkait dengan informasi yang didapat? Bahwa negara mempermudah mereka untuk memperoleh kartu tanda pengenal, yang mana mereka akan menggunakannya sebagai administrasi yang akan sangat diperlukan ketika mereka terjun dalam dunia kerja atau merantau untuk mencapai cita-cita.
Namun, ekspektasi mereka seperti menguap begitu saja. Bahwa Kecamatan mengungkapkan jaringan bermasalah, seperti yang penulis survei di lapangan di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Dua hari bolak-balik tidak membuahkan hasil yang bagus. Kemudian ada lagi informasi bahwa rekam data KTP-EL bisa di beda Kecamatan. Akhirnya penulis pindah ke Kecamatan tetangga dan hasilnya positif. Tetapi, uang administrasi harus merogoh kantong sebesar Rp15 rb.
15 hari KTP jadi, tapi tidak merata. Ada yang 3 bulan, 6 bulan, bahkan ada yang 1 tahun baru bisa di ambil. Dalihnya blanko KTP habis dan belum ada distribusi dari pusat. Dalih tersebut bertahan hingga sekarang. Awet muda ternyata, atau sang dalih memakai aplikasi pengubah muka yang sedang viral itu? Entahlah.
Tidak hanya sampai di situ saja. Ketika KTP sudah jadi dan didistribusikan kepada Desa-desa tempat warganya tinggal, saat yang bersangkutan mengambil, sang administrasi lebih dalam lagi merogoh kantong: Rp50 rb, yang katanya sebagai uang jalan atau uang lelah, begitulah. Meskipun tidak semua Desa menerapkan sistem administrasi tersebut, bahkan ada yang memang benar-benar gratis tanpa embel-embel pemanis.
Bagi yang buru-buru atau sekadar ingin cepat KTP-nya jadi, ada jalan pintas , yaitu dengan membayar uang Rp100 rb kepada pihak terkait dan---taraaaaa---jadilah KTP-nya dengan hanya menunggu maksimal seminggu.
Waktu lama, administrasi ada, meskipun bagi penulis, masalah administrasi bukan menjadi masalah yang berarti, tapi bagaimana dengan masyarakat yang kurang mampu? Mereka malah akan berpikir, daripada untuk bayar KTP, mending untuk jajan anak atau kebutuhan sehari-hari. Akhirnya mereka tidak membuat KTP, tidak mempunyai KTP, dan misi Pemerintah tidak sempurna (Failed).
Mempertimbangkan waktu dan biaya, ada yang membuat perseorangan kecewa, yaitu beberapa hasil cetakan yang kurang sempurna. Sehingga KTP mudah terkelupas dan akhirnya rusak. Penulis pikir, hal tersebut adalah hal mudah, bisa diganti dengan yang baru dengan proses cepat, sebab data sudah terekam dan tinggal cetak saja. Seperti membuat SIM yang jadi hanya satu hari, atau seperti membuat kartu keanggotaan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang hanya 5 menit langsung jadi.
Ternyata ekspektasi itu juga ikut menguap, DUKCAPIL Daerah tidak menerima secara perseorangan, harus kolektif melalui Kecamatan. Sedangkan di Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, tempat penulis survei mengatakan, "Blanko tidak ada, kalau mau pakai surat keterangan kependudukan sementara dulu saja nanti saya buatkan. Karena akan memakan waktu 3 bulan paling cepat, paling lama 1 tahun." Tapi, positif saja, mungkin itu cetak KTP-nya sambil mencetak anak.
"Kalau tidak mau, ya dibetulkan saja. Dilem atau yang kira-kira bisa membuat menempel kembali," lanjutnya.
Lalu, bagaimana? Apakah ini hanya permainan kata? Atau kata yang dipermainkan?
Padahal iklan selalu mengatakan manis, sosial media selalu menuliskan gratis, tapi fakta di lapangan begitu miris. Terutama di daerah-daerah kecil, pedesaan yang bukan perkotaan. Dari sini, apa sebenarnya yang sedang pejabat mainkan? Terutama pejabat-pejabat yang sedang bermain dengan sembunyi-sembunyi dari kemarahan orang tuanya. Ya, mungkin dan bisa jadi mereka takut diteriaki, "Oi, sudah magrib, pulang, mandi, makan, belajar, dan bobo."
Oke, baiklah, jika kalian tidak memahami arti "mempermudah", penulis akan sajikan maknanya: yaitu menjadikan lebih mudah, berasal dari kata dasar mudah yang telah melalui afiksasi yang berarti tidak memerlukan banyak tenaga atau pikiran dalam mengerjakan; tidak sukar; tidak berat; gampang. (KBBI versi V: 2019)
Oleh sebab itu, memahami, mencermati, dan merealisasi menjadi poin sangat penting dalam segala hal, termasuk menjalankan suatu program, bukan hanya sebagai rumus dalam menyusun skripsi atau tesis saja.Â
Ingat! Tikus berkurang, petani bahagia, sejahtera, dan negara bersuwasembada.Â
Salam literasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H