Mohon tunggu...
Deni Purnomo
Deni Purnomo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Abal-abal

Seorang pekerja yang berusaha menjadi mahasiswa disalah satu Universitas swasta di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rekonsiliasi: Kursi atau Negeri?

4 Juli 2019   19:25 Diperbarui: 4 Juli 2019   19:27 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://bazoekie.blogspot.com/

"Kita terbuka untuk siapapun, bersama-sama memajukan negara ini, bersama-sama membangun negara ini."

Itu adalah salah satu kalimat yang terucap dalam pidato Jokowi setelah penetapan atas terpilihnya kembali menjadi Presiden RI untuk priode 2019-2024. 

Tetapi, apakah kalian tahu seberapa besar efek dari kalimat pernyataan tersebut terhadap para penyimaknya? Ada dua perspektif penafsiran dari dua kubu koalisi: pertama, mengartikan kalimat tersebut sebagai bentuk ajakan untuk masyarakat dan kubu oposisi bersinergi demi kemajuan bangsa, yang dimaksud terbuka tersebut adalah terbuka untuk kritik, ide, dan inovasi, bukan membuka pintu dan mempersilakannya untuk duduk. Kedua, mengartikan sebagai lampu hijau pertanda dibolehkannya mereka melaju masuk ke dalam rumah untuk dipersilakannya untuk duduk.

Dari sudut pandang yang kedua itulah terlahir sebuah istilah "Rekonsiliasi" yang telah digenggam, walaupun dalam hal tersebut masih berat untuk membenarkan secara terang. Entah karena mereka berada di blok oposisi atau mereka telah mempelajari bahwa suatu berita belum bisa dipastikan kebenarannya saat masih samar dan multitafsir.

Apa sih yang dimaksud rekonsiliasi? Yaitu sebuah perbuatan membangun kembali hubungan ke keadaan semula, kata lainnya yaitu bergabung/bersatu. Siapa yang ingin bergabung? Tidaklain adalah mereka yang berada di blok oposisi, yang merasa telah mendapat lampu hijau dari pidato Jokowi tersebut.

Sebelum membahas pantas atau tidak, setuju atau tidak, dan sebagainya. Kita perlu memutar klip lama yang tersimpan banyak di sosial media terkait. Bagaimana narasi-narasi yang diciptakan secara memanas, bahkan sebagiannya disampaikan dengan teriakan lantang. Tidak lupa pula takbir diselipkan yang notabene membawa kesejukan, tapi saat itu, menurut penulis, takbir tersebut terasa takbir di tengah peperangan yang memilukan dan menakutkan. Padahal itu adalah sebuah kontestasi politik yang sudah beberapa kali dirasakan dan diulang tiap lima tahunnya.

Dari hal tersebut lahirnya kericuhan di Jakarta, mungkin yang melakukannya adalah tokoh yang berbeda. Namun, kita perlu berpikir lagi, apa dan siapa yang telah memberikan peluang untuk mereka (pelaku makar) masuk ikut serta? Jadi, bukan masalah menyalahkan dan membenarkan atau sebuah keberpihakan. Tetapi, mata kita bisa melihatnya secara nyata dan berurutan terhadap kejadian tersebut.

Politik Indonesia 2019 adalah suatu kejadian lama dengan wajah baru. Isu agama masih yang pertama dan menjadi trending serta ampuh untuk terus dinarasikan. Kalimat ajakan menentang pun tidak lupa pula disertakan sebagai pemanis atau pemanas yang memunculkan orator-orator di jalanan yang berbicara satu arah menuntut sebuah keadilan, katanya.

Secara nyata hanya itu yang ada, tapi dunia maya begitu bergejolak. Ribuan bahkan lebih kalimat provokasi tercipta di kolom-kolom komentar, di status-status beranda, beberapanya menjadi meme yang saling menjatuhkan. Berita-berita hoax pun begitu mudah menjalar bebas. Ditelan secara bulat-bulat dengan kondisi mentah tanpa diolah terlebih dahulu. Sampai penggunaan internet dibatasi oleh instansi terkait dikarenakan mereka kuwalahan membendung dan menyaringnya. Jadi, siapa yang salah? Pertanyaan tersebut masih abu-abu untuk ditentukan warnanya.

Itu hanyalah sebuah kilas balik dari sebuah agenda politik. Setelah sidang penentuan, mereka (para tokoh) kembali pada pemikiran personalnya. Bagaimana agar partai saya bisa terus berjalan? Bagaimana agar partai dan saya tetap bisa hidup untuk tahun-tahun yang akan datang? Mungkin seperti itu pertanyaannya. Sehingga terlahir sebuah istilah yang diangkat sebagai tema di Mata Najwa yaitu Transaksi Rekonsiliasi, yang membahas apakah oposisi pantas menjadi koalisi? Apakah rekonsiliasi adalah tentang bagi bagi kursi? Sehingga muncul istilah lain dari seorang tokoh yaitu politik dagang sapi.

Bahkan yang dahulu menjatuhkan dengan semangat, sekarang mengatakan,"Kita dahulu adalah teman baik." Apakah karena kecurangan sudah tidak bisa lagi diteriakan, kemudian berencana menyelam sambil minum air?

Tidak usah diambil hati, itu adalah salah satu suudzon dari sudut pandang penulis saja. Benar kata para oposisi dan koalisi, bahwa sekarang yang wajib kita gaungkan adalah nomor tiga, yaitu persatuan Indonesia. Tetapi, apakah kita juga akan melupakannya dengan mudah setelah menggaungkan bersama kalimat tersebut?

Untuk itu, berbeda boleh saja, asalkan dengan cara yang tidak merusak tatanan negara dan sosial. Karena politik adalah siasat dan kebijakan terkait pemerintahan, bukan tentang makar kemudian bengal. Lihatlah wahai masyarakat, para elit telah melunak. Hanya dengan satu kalimat yang terselip dalam pidato, kata curang telah bungkam, kalimat yang menjatuhkan rezim telah diam, dan hoax telah berkurang.

Jadi, apakah pantas perselisihan masih melekat di balik senyum-senyum kita? Kalian lihat, politik adalah mereka yang ingin singgah di kursi yang mewah. Dari seribu manusia, hanya seratus yang kokoh setelahnya dengan pondasi dan pendirian mereka untuk negara.

Lalu, apakah rekonsiliasi yang termaksud adalah tentang bagi-bagi kursi? Apakah setuju jika oposisi mendudukinya? Atau mengegoiskan diri dengan berkata, "Hanya koalisi dan kami yang menang yang boleh menduduki."

Itu bisa kalian jawab dengan pikiran yang tersinkron dengan hati, dengan menimbang dan menyimak apa-apa yang terjadi sebelumnya. Sebab, yang terpenting sekarang adalah kemajuan Indonesia, perdamaian Indonesia, yaitu dengan bersinergi bersama pemerintahan yang sah.

Kita adalah kita, kita adalah Indonesia!

Salam literasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun