Bahkan yang dahulu menjatuhkan dengan semangat, sekarang mengatakan,"Kita dahulu adalah teman baik." Apakah karena kecurangan sudah tidak bisa lagi diteriakan, kemudian berencana menyelam sambil minum air?
Tidak usah diambil hati, itu adalah salah satu suudzon dari sudut pandang penulis saja. Benar kata para oposisi dan koalisi, bahwa sekarang yang wajib kita gaungkan adalah nomor tiga, yaitu persatuan Indonesia. Tetapi, apakah kita juga akan melupakannya dengan mudah setelah menggaungkan bersama kalimat tersebut?
Untuk itu, berbeda boleh saja, asalkan dengan cara yang tidak merusak tatanan negara dan sosial. Karena politik adalah siasat dan kebijakan terkait pemerintahan, bukan tentang makar kemudian bengal. Lihatlah wahai masyarakat, para elit telah melunak. Hanya dengan satu kalimat yang terselip dalam pidato, kata curang telah bungkam, kalimat yang menjatuhkan rezim telah diam, dan hoax telah berkurang.
Jadi, apakah pantas perselisihan masih melekat di balik senyum-senyum kita? Kalian lihat, politik adalah mereka yang ingin singgah di kursi yang mewah. Dari seribu manusia, hanya seratus yang kokoh setelahnya dengan pondasi dan pendirian mereka untuk negara.
Lalu, apakah rekonsiliasi yang termaksud adalah tentang bagi-bagi kursi? Apakah setuju jika oposisi mendudukinya? Atau mengegoiskan diri dengan berkata, "Hanya koalisi dan kami yang menang yang boleh menduduki."
Itu bisa kalian jawab dengan pikiran yang tersinkron dengan hati, dengan menimbang dan menyimak apa-apa yang terjadi sebelumnya. Sebab, yang terpenting sekarang adalah kemajuan Indonesia, perdamaian Indonesia, yaitu dengan bersinergi bersama pemerintahan yang sah.
Kita adalah kita, kita adalah Indonesia!
Salam literasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H