Mohon tunggu...
Nimas Ayu
Nimas Ayu Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Institut Teknologi Statistika Dan Bisnis Muammadiyah Semarang

Nama saya Nimas Ayu Puji Astuti, kerap disapa dengan sebutan Nimas, seorang Mahasiswi ITESA Muhammadiyah Semarang, di jursan management ritel .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita di Balik Pintu

15 Agustus 2024   08:04 Diperbarui: 15 Agustus 2024   08:16 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

      "tidak bisa, ini tidak bisa di biarkan!" seru seseorang dari dalam ruang rapak KMI atau Kulliyatul mu'alimin Al islamiyah itu, KMI merupaka basic sekolah di beberpa podok pesantren modern, begitupu Pondok yang kini ku tempati.

     Namaku Amirah lies orang kerap menyapaku dengan sebutan ira, kini aku duduk di bangku kelas 2 KMI atau biasa di sebut kelas 8 MTS, perhitungan Kelas KMI ini menggunakan sistem kelas 1,2, dan 3 untuk jenjang MTS dan kelas 4,5, dan 6 untuk jenjang MA.

     " Betul, saya setuju dengan ustadz Eko!" ujar seseorang, meskipun tak nampak wajahnya, namun aku dapat mendengar dengan jelas itu suara Ustadz Hanif, seorang guru Ilmu hadist di pondok ini, selain itu ia juga memegang kendali di bagian keamanan pondok.

      " Ira, ngapain disini? " suara baritone itu mengejutkan ku, seketika aku terkesiap, saat aku membalikan badan, aku menemukan Ustadz Alvin disana, yap, ustadz yang biasa mengajar ilmu Aqidah untuk anak MTS putra maupun putri.

    " Afwan Ustadz, tadi mau ke kamar mandi tapi berhenti sebentar di sini" ujarku kikuk seakan maling yang tertangkap basah, lalu lalang tampak lenggang di sekitar area ini, waktu menunjukkan pukul 20.00 Wib, Yap, saat ini waktunya belajar malam di kelas masing-masing atau kami kerap menyebutnya Dirasah lailah.

    "ingat ya, jangan mendengarkan sesuatu yang tidak seharusnya kamu dengar!" ujar Ustadz Alvin memeperingati, aku hanya menunduk dan beberapakali meminta maaf.

    " Ya sudah ustadz saya permisi" pamitku padanya, Ustadz Alvin tampak hanya menganggukkan kepala.

    " Assalamu'alaikum Ustadz" ujarku seraya berlalu.

    " Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh" samar ku dengar jawaban salam darinya meski langkah ini kian menjauh, yah memang tadi aku izin kepada ketua kelas untuk ke kamar mandi, karena saat rapat KMI dilaksanakan memang tidak ada ustadzah piket yang berjaga di kelas-kelas untuk mengawasi kegiatan belajar malam kami, semua itu di pasrahkan kepada ketua kelas masing-masing.

       Rapat KMI ini memang tertutup mereka melaksanakan rapat di kantor KMI yang letaknya dekat dengan kantor guru, dan satu arah untuk menuju sebuah deretan kamar mandi kelas, karena penasaran aku sengaja menguping di balik pintu ruang rapat tadi, samar ku mendengar keributan, tulah yang mengalihkan atensiku, sepertinya rapat kali ini tidak kondusif, awalnya memang meragukan namun aku memantapkan langkah, rasa penasaranku mengalahkan rasa takut ku, untung saja tadi yang mergoki  Ustadz Alvin, Seorang Ustadz yang terkenal baik hati, Ustadz pengajar sekaligus penanggung jawab bagian Kantin di pondok ini, selain tampan ramah, baik humble dan akrab baik dengan santriwan maupun santriwati. Sayangnya beliau akan melangsungkan pernikahan dengan salah satu ustadzah pengabdian di pondok ini, jadilah sebagian besar santriwati merasa patah hati.

     Setelah menuntaskan hajat di kamar mandi, aku segera kembali ke kelas, dan kembali ke tempat duduk ku.

     " Lama banget, habis ngapain?" tanya Mita teman sebangku ku, sembarii membolak balikan bukunya, mengerjakan latihan soal Bahasa Indonesia yang harus di kumpulkan besok.

    " cuman pipis sebentar tapi aku mampir ke depan ruang KMI dengerin rapat tipis-tipis." ujarku santai, seketika Mita mengalihkan atensinya kepadaku, meletakkan bolpoin yang sedari tadi ia pengang.

    "Hah? Yang bener aja, kalo  ketahuan ustadz ustadzah atau pengurus gitu bisa di hukum loh!" geramnya.

    "Hehe, ya maaf, habis tadi kayak heboh gitu di ruang rapat kaya rame-rame  ada staff pondok juga, karena penasaran ya aku nguping dikit, untung yang mergokin Ustadz Alvin Muslikhun yang baik hati, coba kalau yang lain, wah gak kebanyang sih" jelasku, entahlah suara-suara itu memang mengalihkan atensiku tadi, pantas saja ruang KMI berada di pojok dekat kamar mandi, mungkin ini salah satu alasannya, agar isi-isi rapat tak terdengar para santri yang tengah belajar di kelas.

     "Dasar, emang ngomongin apa?" tanya mita kemudian, sepertinya ia mulai penasaran.

     " Dasar, tenryata penasaran juga ya, haha" ujarku kemudian sembari terkekeh sejenak, ku lihat raut wajah mita berubah masam.

     " Kata Ustadz Alvin kita tidak boleh mendengar sesuatu yang tidak seharusnya kita dengar, dan kejadian tadi anggap saja tidak pernah terjadi" ujarku sembari menghela nafas sejenak, merenungi nasehat Ustadz Alvin tadi.

     "Haduh, membuat penasaran saja, tapi ya sudahlah karena nasehat dari Ustadz kesayangan kita, aku juga tidak bisa menolak, ahahaha."ujar Mita diiringi kekehan yang entah mengapa terdengar menyebalkan.

    " Hati-hati suka, orangnya udah mau nikah sama Ustadzah Nirmala!" ujarku memperingati.

    " Biarin, selagi janur kuning belum melengkung dan  bendera kuning belum berkibar, masih milik bersama haha" ujarnya .

     " beliau itu the real Ustadz greenfalg selain baik hati dan tidak sombong, beliau juga aktif di Hizbul wathan dan beberapa kegiatan pondok, kaya ikut memajukan pondok gitu, gak kaya ustadz Eko atau Ustadz hanif deh pokoknya mereka mah galak, terus cuek gitu, gak kaya Ustadz Alvin idaman deh beruntung banget yah Ustadzah Nirmala" sambungnya lagi sembari cekikikan tidak jelas, aku hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya.

      Malam itu berlalu begitu saja, kini sang mentari telah naik ke cakrawala, mengusir kegelapan menggantikan dengan cahayanya yang terang benderang, seusai melaksanakan Upacara pagi dan do'a bersama kami bergegas memasuki kelas masing-masing. Kelas putra dan putri di pisah tentunya, berada di kompleks masing-masing.

     " Jam pertama Ustadz Alvin, ya?" tanyaku pada Mita yang tengah sibuk dengan serpihan kaca di tangannya, ia tengah  asyik merapikan kerudungnya.

     " Iyaaa, kok belum datang yah, biasanya beliau on time" jawabnya, tak lama setelah itu seorang Ustadzah Pengabdian bagian KMI masuk kelas kami begitu saja.

     " Assalaimu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, " ujarnya mengucap salam.

     " Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh" jawab kami serempak.

    " Anak-anak hari ini pelajaran Ustadz Alvin, saya yang menggantikan sementara" ujar Ustadzah Nisa, sembari  memberikan sebuah catatan tugas kepada ketua kelas, mungkin hari ini hanya penugasan dan akan di awasi oleh beliau, Gita selaku sekretaris kelas kami segera mengambil kertas itu dari ketua kelas, tampak ia mulai menggores papan putih bersih itu dengan tinta spidol.

     " Ustadz Alvin kemana Us?" tanyaku penasaran, kelas nampak hening menunggu jawaban Ustadzah Nisa, beliau  tampak gelisah lalu membenarkan tempat duduknya, ia menhela nafas sejenak seakan mencari kata yang tepat untuk di lontarkan.

    " Eum Ustadz Alvin sudah tidak mengajar disini" jelasnya, tampak satu kelas syok kala mendengarnya.

     "Hah?" ujar kami serempak, Ustadzah Nisa terlihat semakin salah tingkah seakan menyembunyikan sesuatu.

     " Maaf Ustadzah terus Ustadzah Nirmala gimana?" tanya Mita penasaran.

    " Ustadzah Nirmala masih disini, sepertinya tidak jadi menikah, ya nggak  giman-gimana, semua berjalan sebagaimana mestinya" ujar Ustadzah Nisa.

   " Sudah kerjakan saja ayo kejarkan! Habis ini pelajaran apa?" tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan.

   " Bahasa Indonesia Us.." jawab kami serempak.

     Waktu berlalu begitu saja, ku lirik jam dinding menunjukkan pukul 09.30 Wib, tak lama kemudian tendengar bel istirahat berdering, setelah guru bahasa ndosnesia itu menutup pembelajaran tentu anak-anak kelas segera berhamburan menuju kantin.

    "Ayo ra, lama banget!" ujar Mita geram, kala melihatku yang tengah mencari uang yang sedari tadi ku taruh di tas depan.

     " Duluan aja, duluan nanti aku nyusul." ujarku sembari merogoh isi tas depan ku mencari keberadaan uang itu, kemudia ia berlau begitu saja, setelah menemukan uang lima ribuan yang sedari tadi tersingsal, aku segera keluar kelas.

 Di tengah perjalanan menuju kantin samar ku dengar perbincangan kakak kelas di depan kelas 3D atau kelas 9.

     " Iya sih, padahal tampan dan idaman, aku liat tadi pagi habis subuh pergi pakai mobil kayaknya di jemput keluarganya" ujar salah satu kakak kelas bertubuh gemuk dengan nametag Femalia.

     " Bisa-bisanya loh, Uang kantin dikorupsi, apa gaji dari pondok kurang  ya?" tanya kakak kelas berkacamata di sampingnya dengan nametag Maulida.

     " Kasian juga yah" sambung Kakak kelas berkulit putih dengan nametag Citra Adila.

      "Entahlah Ustadz Alvin, padahal dirimu spek idaman, kasian Ustadzah Nirmala juga." ujar Femalia lagi, seketika hatiku mecelos mendengarnya, Ustadz Alvin? Sungguh diluar perkiraan, tak terbayang beliau mengkorupsi uang kantin yang labanya keuntungannya untuk pembangunan pondok ini, "jadi? Yang semalam itu rapat membahas Ustadz Alvin?"batinku, aku  menggelengkan kepala cepat lalu segera mempercepat langkahku menuju kantin, memang tak seharusnya aku mendengar seusatu yang tak seharusnya aku dengar.

     Apapun yang terjadi, bagaimanapun juga beliau tetap guruku, banyak ilmu yang telah ku ambil darinya, tak seharusnya aku ikut menjelekkannya, biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya, karena bangkai mau di tutupi dengan cara apapun akan tercium juga, setidaknya hal ini tak menyebar dari mulutku, dan perangai memenag belum tentu menentukan baik-buruknya seseorang, Ustadz Eko dan Ustadz Hanif yang terkenal cuek dan galak itu, tenyata mereka jauh lebih peduli dengan pondok ini,meskipun jarang aktif dalam kegiatan bersama anak-anak, namun aku pernah melihat mereka hujan-hujanan membenarkan saluran air di kebun belakang pondok, memang pepatah don't judge someone by his cover itu ada, sekarang aku mengerti.

     " Ternyata beginilah kehidupan, mau di pesantren mau di luar, kejahatan tetap ada, setan tentu akan terus menggoda dimanapun kita berada, aku akan tetaplah waspada agar tidak akan mudah tergoda, berprasangka baik saja, mungkin Ustadz dalam keadaan kepepet, toh beliau tentu sudah menerima hukumannya" batinku, kemudian aku menghentikan langkahku saat sampai di depan kantin yang penuh dengan orang yang berdesakan.

     Aku menghela nafas sejenak sebelum ikut bertermpur berebut jajan di dalam sana, sekilas ku lihat siliet seseorang yang sangat familiar di mataku, yah itu  Mita, yang kerudungnya sudah tak beraturan karena berdesakan.

" Mita wahid!" ujarku memberi isyarat satu pada gorengan yang di pegangnya, namun ia malah memincingkan mataya memberiku isyarat untuk ikut berempur disana.

                                                                                                                                   SELESAI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun