Mohon tunggu...
eny mastuti
eny mastuti Mohon Tunggu... -

Ibu dua orang remaja. Suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hati dan Ampela Ayam, adalah Kado Terbaik dari Ibu

27 Desember 2017   21:37 Diperbarui: 27 Desember 2017   23:38 1823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
image.slidesharecdn.com

Zaman saya kecil dulu, jika hendak menikmati masakan berbahan daging ayam, maka itu artinya Ibu akan membeli ayam hidup untuk disembelih di pekarangan belakang rumah. Belum ada orang jual ayam siap masak seperti sekarang.

Biasanya Ibu memanggil Bapak atau pembantu laki-laki di rumah, untuk acara penyembelihan. Selama persiapan, ayam hidup yang dibeli di pasar, dikurung atau diikat satu kaki nya pada sebatang pohon atau tiang. Lalu pisau yang akan digunakan diasah dulu pada sepotong batu khusus, sesekali dialiri air dan digosok-gosokkan lagi. Setelah dirasa cukup tajam, maka upacara penyembelihan dimulai.

Dengan mengucap Bismillah, ayam dipotong pada bagian lehernya hingga urat nya terputus. Saya sering melihat ayam yang telah disembelih, tak langsung kolaps. Meskipun lehernya hampir putus, kadang masih bisa bergerak, mabur kesana kemari sebelum akhirnya benar-benar tak bergerak. Kata Ibu, jangan takut,  itu hal biasa. Yang penting jangan terlalu dekat.

Tahap selanjutnya mbubuti atau mencabut bulu ayam.  Ibu mengajak saya terlibat. Meskipun saya tahu sebenarnya bukan bantuan yang diharapkan,  tetapi pengalaman dan pengetahuan bagaimana proses menangani ayam yang telah disembelih itulah yang ingin Ibu tularkan. 

Membantu,  ah mana saya bisa?  Usia saya terlalu kecil dan tentu saja sangat tidak terampil. Tetapi Ibu tidak pernah marah dan seperti membiarkan saya mengeksplore apa saja yang ingin saya ketahui. Meskipun saya yakin tindakan saya lebih banyak mengganggu, bukan membantu.

Ayam yang masih lengkap dengan bulu, disiram air panas mendidih. Biarkan sejenak hingga air agak dingin, lalu satu demi satu bulu ayam dicabut hingga bersih. Butuh waktu cukup lama juga  sih,  namanya juga proses manual, tetapi asyik-asyik saja kok..

Dulu, organ ayam yang paling favorit adalah jeroan.  Masuk dalam kategori jeroan ini diantaranya : hati, ampela dan uritan. Kala itu, menjadi suatu kehormatan jika seseorang mendapat suguhan menu ayam dari bagian ini. Beda dengan zaman now, dimana jeroan menjadi makanan  yang dihindari karena secara medis kurang baik untuk kesehatan.

Dengan kerangka berfikir jeroan adalah sesuatu yang spesial, saya menilai Ibu sedang mengistimewakan saya setiap kali menyisihkan jeroan ayam, hanya kepada saya. Padahal Ibu memiliki 6 orang anak kandung.

Entah  apa alasannya, tetapi saya sudah hafal bahwa jeroan adalah  HadiahDariIbu untuk saya. Ibu sering menyembunyikan jeroan goreng, di dapur. Dengan teknik penimbunan berlapis. Jadi, jeroan disimpan dalam sebuah wadah lalu ditutupi wadah agak besar, ditindih peralatan yang lebih gede lagi , ditumpangi panci ukuran lebih besar dan seterusnya. Bertumpuk-tumpuk hingga sulit terdeteksi, pokoknya aman terkendali.  Pemilihan waktu makan pun, diusahakan tidak barengan dengan kelima saudara lain. Agar saya bisa melahap jeroan dengan santai tenang dan penuh kenikmatan.

*******************

Seterusnya, masih banyak  "jeroan-jeroan ", HadiahdariIbu  dalam bentuk lain. Saya bukan anak ragil yang lumrah mendapat perlakuan lebih khusus dari orang tua. Saya juga bukan gadis paling cantik, kakak dan adik saya rata-rata lebih ayu dibanding saya. Tetapi saya merasakan -- mungkin saudara saya juga ya -- bahwa saya spesial di mata Ibu.

Ketika Ibu pergi arisan atau kegiatan sosial lain, seperti ke acara kawinan, tasyakuran kelahiran bayi, kenduri dan sebagainya, maka saya lah yang diajak serta menghadiri. Bukan adik saya.

Ibu hampir-hampir tidak pernah marah kepada saya. Kepada kakak dan adik, Ibu kadang bisa marah untuk hal sepele. Sementara ke saya, jika berbeda pendapat biasanya Ibu mengajak diskusi. Mengungkapkan alasan, memberi tahu resiko-resiko pilihan, menyodorkan alternatif dan sebagainya. Tetapi bukan dalam intonasi emosi. Ibu selalu datang kepada saya dalam nada diskusi, ngobrol.

Beranjak dewasa, terasa bahwa Ibu lah sabahat terbaik. Apapun saya diskusikan. Dan itu menjadi modal yang besar sekali untuk saya menapaki hidup. Dalam karir dan keluarga. Menjadi kurang Pe De ketika mengambil keputusan tanpa ngobrol dulu dan minta doa restu Ibu.

Saking dekatnya, seperti tidak ada sekat diantara kami. Beberapa hal yang sensitif dikisahkan hanya kepada saya, bukan kepada kakak dan adik. Ketika tanya alasannya, Ibu tersenyum lalu mengatakan paling nyaman ngobrol dengan saya.

*****************

Bulan April 2016, Ibu jatuh sakit. Terkena kanker paru-paru stadium akhir. Dokter memvonis usia Ibu tinggal 3 bulan. Tidak disarankan kemoterapi karena alasan usia dan level kanker yang diderita. Dokter hanya meresepkan vitamin dan obat anti nyeri dosis tinggi. Tidak ada pantangan, artinya makan apapun diperbolehkan asalkan pasien mau. Dan memang, meskipun boleh ternyata nafsu makan juga terus menurun. Sehingga jatuhnya sama saja, dipantang maupun tidak.

Keluar masuk rumah sakit menjadi hal yang tiba-tiba saja terasa biasa. Merawat Ibu dengan segala perkembangan buruk nya adalah tantangan harian. Pernah, hampir satu bulan kami menjaga Ibu opname. Beberapa kali dilakukan penyedotan cairan dari paru-paru. Hasilnya berliter-liter cairan warna merah muda , kadang mirip air teh bening, keluar melalui selang sebesar jari telunjuk yang dipasang di bawah ketiak kanan. 

Suatu hari tiba-tiba sariawan hebat menyerang, hingga tak mampu menelan setetes air pun. Lalu diare parah , kemudian susah BAB hingga beberapa hari. Dan pernah juga mengalami pendarahan luar biasa hingga pispot pun tak mampu lagi menampung banyaknya gumpalan darah hitam pekat yang keluar. Minta dipijit setiap saat. karena katanya tulang terasa  ngilu di sekujur tubuh.

Kanker sudah menyebar atau istilah dokter metastase. Baru lah kami beritahu Ibu kondisi sebenarnya. Sebelumnya, sengaja tidak terbuka ke Ibu tentang penyakit nya. Banyak pertimbangan, diantara nya tidak tega,  takut Ibu akan semakin down jika tahu , menjaga semangat hidup Ibu agar mau berjuang melawan penyakit yang kami yakinkan bisa sembuh dan beberapa alasan lain. 

Ternyata, semangat Ibu dan ketidak tahuan itu mampu membuat nya  bertahan hingga 11 bulan, bukan 3 bulan. Kami bersyukur mendapat kesempatan merawat Ibu lebih lama dari perkiraan awal.

Setelah mengetahui kondisi sebenarnya, kondisi Ibu semakin menurun. Seorang kakak ipar berinisitif mendatangi Pak Kyai. Tujuannya meminta doa dan jamu. Jika Ibu memang harus " pergi"  meninggalkan kami, semoga dimudahkan jalannya.

Menurut kakak ipar, Pak Kyai meminta kami ikhlas, semakin khusu' mendoakan dan memohonkan ampunan. Terutama anak nomor lima.  Kakak bertanya, mengapa dan ada apa dengan anak nomor lima? Jawab Pak Kyai, pada anak nomor lima inilah, hati Ibu mertua mu tertaut. Anak inilah, yang paling disayang Ibu mu, paling ditunggu doa nya.

Dan...., saya lah anak nomor lima itu. Saya tahu Ibu sangat sayang kepada saya, lebih dari kasihnya kepada anak nya yang lain. Tetapi saya tetap kaget dan tak bisa berkata-kata mendengar  pernyataan Pak Kyai.

Saya ikut mengkafani Ibu dalam linangan air mata yang tak sanggup saya hentikan hingga sebagian jatuh pada kain warna putih yang membalut tubuhnya. Hari Sabtu,  bulan Pebruari 2017, jam 3 dinihari. Saya mengihklaskan kepergian wanita yang telah memberikan jeroannya, jantung hati nya kepada saya selama ini.

Selamat Jalan Ibu, semoga kusnul khotimah. Surga menanti mu. Ammin Ya Robbal Alamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun