Mampu membeli rumah, adalah proses naik kelas setelah 'menikah'. Itu kata almarhumah ibu saya. Mengapa? Karena menikah dan membeli rumah, dianggap sebagai lompatan besar dalam hidup seseorang. Butuh persiapan matang sebelumnya dan membawa konsekuensi luas, setelahnya.  Ada perubahan status  dari lajang menjadi  berpasangan, dari 'kontraktor' menjadi pemilik rumah,  dari fokus pada sendiri bergeser mengurus keluarga dan seterusnya.
Membeli rumah melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR) menjadi pilihan yang banyak diambil. Terutama bagi pasangan yang baru berkeluarga. Menurut saya, memang lebih menguntungkan KPR. Karena misalnya tersedia dana cukup untuk membayar cash, duitnya  bisa dipakai atau diputar  untuk keperluan lain. Contohnya untuk modal usaha, lalu  penghasilan nya dipakai untuk bayar angsuran KPR. Harga beli secara kredit  kan, jauh lebih mahal? Ya iyalah..., kredit apa pun pasti mewajibkan bayar bunga. Tetapi, khusus untuk tanah dan properti, biaya bunga masih wajar jika dikonversikan dengan kenaikan harga aset, pada saat angsuran berakhir.
Nah jika berencana membeli rumah melalui KPR , sebaiknya pilih bank yang humanis. Memangnya ada, bank dengan kategori humanis? Ada. Saya sudah membuktikan dan siap berbagi cerita di sini.
Sebelumnya kita sepakati dulu ya, bahwa dalam jual beli rumah melalui KPR, setidaknya ada tiga pihak terlibat : pengembang, user atau pembeli, dan bank pemberi kredit. Dalam hubungan segitiga ini, persoalan bisa muncul antara para pihak. User dengan pengembang, user versus bank, atau pengembang dengan bank, atau yang lebih ruwet, jika tiga pihak sekaligus terlibat dalam satu perkara yang sama. Pusiiing pala berbie..
Oke, saya mulai ceritanya.
Kami, saya dan suami, punya pengalaman pahit saat membeli rumah. Bos pengembang perumahan mendadak  HIPERTENSI -  hilang pergi tanpa permisi, alias minggat.  Maka kami harus mengambil alih  tugas nya. Seperti membenahi bagian rumah yang belum selesai dibangun, dan  yang bikin sakit nya tuh di sini : sertifikat rumah belum diproses sama sekali.Â
Ini  jelas wan prestasi, karena sejak awal disebutkan bahwa harga beli sudah termasuk biaya sertifikat hak milik (SHM).  Janji itu termuat dalam  brosur  ,  pamflet, baliho dan sebagainya. Dalam akta jual beli, seingat saya masalah penerbitan SHM juga termasuk dalam kesepakatan. Tetapi  karena lidah, kertas dan kanvas tak bertulang, maka janji tinggallah janji. Bersama kami, total ada 15 user. Semua harus menelan pil pahit menempati rumah  bodong,  tak bersertifikat.
Lima tahun lebih, kabar si pengembang semakin kabur . Perusahaannya  hancur, aset-aset diambil paksa oleh para kreditur. Yaitu, mereka yang tak sabar menerima janji pembayaran hutang yang selalu mundur.
Kami bingung. Ingin lapor polisi, pikir-pikr juga. Toh, seandainya buron berhasil ditangkap, kata orang, hukuman kurungan bisa menggugurkan kewajiban (mengurus sertifikat). Â Lha., artinya kami tetap harus ngurus sendiri kan?
Sikap Bank Pemberi KPR , Menimbulkan Kecembuaruan
Para tetangga mayoritas mengambil kredit pada bank spesialis penyedia KPR (sebut saja Bank  Toyib). Hanya kami saja yang memilih KPR dari bank umum ( saya beri nama bank Badrun). Dan di sini lah, masalah 'sampingan' itu muncul.
Selain ketiban sampur harus menanggung biaya sertifikasi tanah yang muuuahaal. Para tetangga juga harus menghadapi masalah terkait sikap bank yang tidak humanis.
Jadi begini.., Bank Badrun tempat kami ambil KPR, memiliki perhatian besar terhadap problem sertifikasi. Mereka berupaya agar 'khususnya' sertifikat rumah kami bisa secepatnya diproses. Saya rasa mereka jauh lebih  semangat  lho, dibanding kami. Bayangkan, tiga atau empat  kali pergantian pimpinan cabang, semua memberi atensi khusus. Tiap pimpinan  dalam periode tersebut, pernah mengajak kami berunding di ruang kantornya yang adeeem, rapi  dan nyaman.
Sempat juga terbersit tanya, ini  sebenarnya kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan? Demi kami, nasabah yang disiplin bayar angsuran, cieee..., atau untuk tertib admisnistrasi.  Mengingat bertahun-tahun proses pengikatan agunan tak kunjung beres. Beberapa kali kami diantar melobi  ke notaris, pernah juga datang ke kantor BPN - Badan  Pertahanan Nasional. Tetapi semua usaha akhirnya Gatot -gagal total.
Tetapi meskipun tidak berhasil, fakta bahwa saya dan suami, bolak - balik diajak rembugan oleh Bank Badrun, telah menyulut rasa cemburu para tetangga. Karena mereka sama sekali tidak mendapatkan perhatian dari Bank Toyib, untuk kasus yang sama.
Pada suatu pertemuan di kantor notaris, nasabah Bank Toyib  mengamuk dan memaki-maki petugas yang diutus. Dalam hal penentuan utusan ini pun, saya melihat ada perbedaan menyolok.
Dari Bank Badrun, datang bagian kredit yang cukup senior. Gagah dan PD mendampingi kami dan menyampaikan usul saran, serta siap untuk terus bekerja sama.
Sementara Bank Toyib mengutus beberapa pegawai perempuan, yang tampak seperti  ABG unyu-unyu.  Para tetangga tersinggung, karena menganggap penentuan utusan ini sebagai pelecehan.  Masak untuk urusan penting begini hanya dipasrahkan kepada para gadis seumuran anak mereka.  Ditambah jawaban  yang  monoton: mohonmaaf untuk ketidak nyamanan ini. Iya, masukan bapak ibu  akan kami sampaikan kepada atasan.
Emosi memuncak, nasabah Bank Toyib memboikot angsuran hingga batas waktu yang belum ditentukan. Selama tidak ada perhatian terhadap kesulitan para user, maka mereka akan terus boikot.
 Surat peringatan satu, dua, tiga, dan kemudian plakat segel rumah, diterima para tetangga. Tetapi mereka kompak, mogok bayar. Dan saya dengar nama mereka masuk radar SID - Sistem Informasi Debitur, atau diblack list Bank Indonesia. Sehingga sulit mendapatkan pinjaman dari bank dan lembaga keuangan di bawah OJK.
Terus terang saya kurang faham sebenarnya adakah kewajiban bank untuk terlibat dalam problem semacam ini? Jika tidak ada, mengapa Bank Badrun begitu perhatian kepada kami, sementara bank Toyib tidak?
Tetapi yang jelas, Â kami bersyukur mengambil KPR dari bank yang humanis, yang entah untuk alasan apa, sangat membantu secara moril dalam menyelesaikan sertifikat rumah.
Sertifikat Swadaya Berhasil Terbit
Proses Sertifikasi tanah ternyata harus dilaksanakan bersama-sama oleh 15  user. Banyak tahapan dilalui sebelum masuk ke dalam proses inti. Misalnya : balik nama dari pemilik lama ke PT milik pengembang. Itu satu persoalan, mengingat pemilik nya HIPERTENSI  kan..? Maka harus ditentukan  pengganti yang syah.  Kemudian proses tanda tangan akta jual beli, melibatkan keluarga besar dari pihak penjual.
Setelah itu, Â pemecahan dan balik nama ke masing-masing user.
Untuk semua proses, kami harus membayar biaya sekitar 30 juta rupiah, per KK, tergantung luas tanah dan type rumah. Secara swadaya, Bapak Ibu!  Padahal pada waktu itu, harga rumah type 36  di kavling kami, sekitar  80  jutaan. *tepok jidat*
Tahun 2016, dari 15 user, mayoritas sudah menyelesaikan sertifikasi. Meskipun sama-sama berhasil mengurus sertifikat rumah, tetapi ada yang berbeda antara kami dan para tetangga.Â
Kami menyelesaikan sertifikat tanpa memunculkan problem anyar dalam urusan perbankan. Sementara  mereka, terbelit masalah baru akibat marah pada sikap cuek Bank pemberi KPR.
Rasa marah lalu diwujudkan dengan menutup KPR, agar tak lagi berurusan dengan Bank Toyib, selama nya! Â
Mereka mencari pinjaman non bank untuk menutup utang KPR di Bank Toyib, sekaligus menghindari beban bunga dan denda yang jumlahnya mencekik leher, kata mereka.
Saya yakin, ini menjadi kisah yang akan mereka bagikan kepada anak cucu kelak, disertai himbauan agar menjauhi bank yang pola komunikasi nya buruk, seperti bank Toyib.
Bagaimana KPR Maybank, Humaniskah?
Angsuran KPR kami hampir lunas, jika ada rejeki ingin rasanya memiliki satu rumah lagi untuk investasi. Blogcomptetion Kompasiana.com dengan Maybank ini memberi saya pengetahuan baru, ternyata Maybank memiliki bermacam-macam produk KPR.
Yang paling mencuri perhatian adalah KPR dengan prinsip Syariah berdasarkan akad Murabahah atau Musyarakah Mutanaqisah (MMq). Produk ini memungkinkan kita memilih jenis angsuran tetap atau tidak tetap yang menyesuaikan dengan kondisi pasar, semuanya tersedia untuk memberikan rasa nyaman dan tenang.
Ada juga KPR Floating Rate, Produk KPR yang menawarkan suku bunga floating berdasarkan SDBI 12 bulan + 3,25% atau SDBI 12 bulan + 3,50% sejak awal kredit hingga jatuh tempo pinjaman dan bebas biaya pelunasan kapanpun.
KPR Tenor 30 Tahun KPR dengan jangka waktu kredit hingga 30 tahun membuat cicilan KPR Anda lebih ringan.
KPR Bebas Bunga. Fasilitas KPR kombinasi (bundling) dengan rekening tabungan dimana saldo rekening tabungan pribadi dan keluarga dapat meringankan cicilan bunga KPR, hingga Bebas Bunga dan akan berdampak mengurangi sisa pokok pinjaman sehingga memperpendek jangka waktu pinjaman.
Dari jenis program nya, menurut saya KPR Maybank cukup fleksibel. Dan terkesan humanis karena memberi banyak pilihan bagi nasabah KPR untuk mewujudkan impian membeli rumah secara kredit, sesuai kemampuan dan kebutuhan. Makin semangat mewujudkan tekad membeli rumah (lagi).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H