Lihatlah, betapa penjelasan nya sangat khas milenial, selalu bersentuhan dengan teknologi, Â digitalisasi, media sosial, sistim online dan globalisasi.
Mereka bekerja. Penuh semangat. Mencurahkan ketrampilan dan ilmu, dalam divisi masing-masing. Video karya  Cah Ponorogo pada perayaan Grebeg Suro 2017 yang dibarengkan dengan Peringatan Hari Jadi Ponorogo ke 521, cukup spektakuler.
Juara umum FNRP XXIV tahun 2017, dari Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur tampil sangat memukau. Benar-benar terasa kelas festivalnya. Koreografernya, berumur sekitar 21 tahun, menjadi penata tari terbaik. Sukses menyajikan kisah dalam tiap gerakan, memudahkan penonton memahami alur legenda terjadinya Reyog Ponorogo. Tanpa kehilangan indahnya gerak tari. (penampilan juara 1 FNRP XXIV)
Benarkah Kisah di Lapangan Semanis itu ?
Ini proses. Ada keberhasilan, namun tak luput dari kekurangan. Penonton dengan tiket online, kaget dengan kualitas layanan volunteer yang menyambut penuh ramah tamah sejak pintu masuk hingga mengantar ke tempat duduk. Sangat berasa layanan VIP nya, kata mereka. Komentar lain, tahun ini adalah pelaksanaan terbaik dalam sejarah Grebeg Suro di Ponorogo.
Namun, karena memegang tiket tetapi tak mendapat kursi, seorang pengunjung dari Banyuwangi, menyemprot volunteer "Kami di Banyuwangi, sukses mengembangkan pasriwisata. Padahal kami tidak memiliki potensi unggulan. Mencari-cari hal yang bisa dijual. Kamu, di Ponorogo, jelas-jelas bisa menjual reyog, tetapi pelayanannya kayak gini." Sambil memukulkan lembar tiket ke wajah si volunteer.
Hmm, tiketing memang masih menjadi salah satu sumber masalah. Memunculkan banyak cerita selama pelaksanaan Grebeg Suro 2017 di aloon-aloon Ponorogo, pertengahan September 2017.
Sebenarnya bisa ditebak dan dimaklumi, bahwa pola pikir dan cara kerja generasi milenial akan sesekali berbenturan dengan panitia senior yang nota bene terikat birokrasi.
Hal itu diakui Najih. Saya kutip kalimatnya: Kesenjangan pemikiran antara volunteer yang totally anak muda, dengan pemerintah yang hampir seluruhnya generasi tua, membuat banyak sekali missed-interpretasi atau ide yang disalahpahami oleh pihak pemerintah.
Dengan segala hormat, itulah fakta. Berbeda bukan berarti tidak ada titik temu. Semoga dengan evaluasi, instrospeksi dan upaya menyamakan visi, menyeragamkan langkah dan kecepatan gerak, Grebeg Suro ke depan akan semakin bisa dibanggakan dan menjadi penggerak ekonomi masyarakat.
Kritik pengunjung dari Banyuwangi, semoga menjadi penyemangat. Mengingat Kabupaten di ujung timur Pulau Jawa itu, pada Desember 2016 dinobatkan sebagai 10 besar kabupaten/kota peringkat tertinggi Indeks Pariwisata Indonesia. Penilaian dilakukan oleh Kementerian Pariwisata bersama tim peneliti Kompas Group, yang mengacu pada Travel and Tourism Competitive Index dari World Economic Forum. Â