Bertepatan setelah hari raya kuningan, hari raya Nyepi tahun baru saka 1946 dan bulan Ramadhan pun tiba. Tahun ini adalah tahun yang dipenuhi berkah. Hari raya Nyepi adalah hari suci agama Hindu yang dimana pada hari ini umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian yaitu empat bentuk pengendalian diri atau pantangan yang terdiri dari tidak menyalakan api(Amati Gni), tidak berfoya-foya (Amati Lelanguan), tidak bekerja(Amati Karya), dan tidak berpergian (Amati Lelungan). Semua bentuk pengendalian diri tersebut dilakukan oleh umat Hindu pada hari Nyepi ini selama satu hari penuh.Â
Menilik lebih jauh terkait tujuan dari dilaksanakannya penyepian selama satu hari ini adalah untuk merenungkan diri, memberi keheningan pada dunia(Bhuana Agung) dan juga manusia (Bhuana Alit) dan melepaskan sejenak diri dari segala bentuk kebisingan dan keserakahan dari sifat negatif manusia.
Untuk mendukung kegiatan ini, akses internet yang ada di pulau Bali dihentikan untuk 24 jam kedepannya. Bukan hanya internet, siaran televisi pun akan diputus untuk sementara waktu. Â Hari raya Nyepi memberikan dampak yang besar bagi dunia. Selain Hari raya Nyepi ini telah disepakati sebagai hari libur bersama, dengan dilakukannya penekanan aktivitas selama satu hari penuh ini dapat mengurangi sumbangan gas karbon dan gas berbahaya lainnya ke udara sehingga dapat mengurangi efek rumah kaca. Begitu sederhana dan kecil tindakannya. Namun, hal ini berarti untuk dunia juga.
Membahas tentang hari raya Nyepi yang jatuh pada 11 Maret 2024 ini tentunya bagi masyarakat khususnya di Bali mengetahui adanya rentetan acara sebelum memulai Catur Brata Penyepian di tahun baru umat Hindu tersebut. Hari Pangrupukan adalah salah satu rentetan sebelum hari Nyepi yang di mana pada hari inilah masyarakat Hindu di Bali mengarak ogoh-ogoh (Patung berwujud Bhuta Kala yang berbahan dasar limbah kertas, koran, jerami, plastik dan bahan atau sampah daur ulang lainnya) yang dipercayai sebagai lambang dari sifat buruk manusia yang bagaikan iblis dan setan (Bhuta Kala) yang akhirnya akan dibakar di Setra(Kuburan) dan tradisi ini dilakukan umat Hindu untuk menjaga ketentraman dunia dengan melakukan pembersihan terhadap segala bentuk hal negatif yang ada di dunia ini.Â
Selain dapat mengurangi sumbangan gas karbon di udara, dengan adanya ogoh-ogoh ini dapat mengurangi jumlah sampah plastik yang ada dan mengurangi pencemaran lingkungan serta membangun kreativitas anak muda di zaman sekarang.
Masuk ke topik tradisi mengarak ogoh-ogoh di salah satu tempat di Bali. Sebagian mungkin telah mengenal sebuah destinasi wisata alam pegunungan yang ada di Bali ini. Tempat ini dikenal dengan Kintamani.  Menyuguhkan pemandangan Gunung Batur dan Danau Batur sebagai andalannya. Namun, kali ini mari berfokus pada acara mengarak ogoh-ogohnya. Sepanjang kegiatan dimulai dari membawa ogoh-ogoh ke garis start yang ada di depan restoran Maharaja hingga ke garis akhir sebagai tempat pertunjukan tarian bernarasi di depan pura Ulun Danu Batur yang dihiasi dengan kabut dan angin yang cukup kencang.Â
Sebelum dilaksanakannya mengarak ogoh-ogoh ini, ogoh-ogoh tersebut akan diupacarai terlebih dahulu (Melaspas). Diikuti dengan para pengarak dan penari yang ikut sembahyang memohon keselamatan agar dilancarkannya kegiatan tersebut. Kemudian kegiatan pun dimulai dengan tertib dimana para pengarak yang adalah para pemuda mengangkat ogoh-ogoh bersama-sama dan berjalan mengarak ogoh-ogoh melewati desa.
Kondisi geografis Kintamani yang benar-benar berada di atas perbukitan menyebabkan mudahnya timbul kabut dan angin yang kencang. Ditambah lagi dengan musim penghujan bulan Maret yang tidak ada hentinya mengguyur wilayah dataran tinggi ini. Ketika pertunjukan tarian dimulai pun hujan rintik membasahi patung-patung yang diarak tersebut. Bahkan para pengunjung yang hendak menonton kegiatan tersebut harus mengenakan jas hujan dan membawa payung.Â
“ Seperti bernasib tidak mujur hari itu, beberapa pengunjung yang membawa payung saat itu juga harus menggenggam erat gagang payungnya bahkan ada yang rusak juga karena payungnya tidak kuat menahan guncangan angin. “ Jelas Mei, seorang penduduk lokal yang sedang menonton pertunjukan.Â
Acara mengarak ogoh-ogoh tersebut telah dimulai dari pukul 15.00 WITA. Namun, karena cuaca yang hujan ringan disertai angin tersebut membuat beberapa penonton lokal memilih untuk pulang bahkan sebelum pertunjukan selesai. Langit yang sudah penuh ditutupi oleh awan mendung dan hujan gerimis disertai angin ditambah suhu udara yang dingin ala-ala pegunungan ini hampir membubarkan kerumunan penonton yang berada di area Utara pura Ulun Danu Batur tersebut. Tapi tidak sedikit dari mereka yang tetap bertahan di balik jaket tebalnya untuk tetap menikmati pertunjukan.
Namun, dinginnya udara pegunungan tidak mematahkan semangat para pemuda dan pemudi yang mengarak ogoh-ogoh dan melakukan pertunjukan tarian untuk melanjutkan acara tersebut hingga selesai. Acara tetap dilanjutkan meski langit hari Pangrupukan tahun ini tidak secerah tahun lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H