Fenomena bunuh diri yang semakin akrab di telinga kita memang merupakan masalah yang serius dan memprihatinkan. Banyak kasus bunuh diri tidak dilaporkan atau tidak dicatat dengan akurat, sering kali karena stigma sosial, kesalahan administratif, atau kurangnya sumber daya. Hal ini menyebabkan data yang tersedia mungkin tidak mencerminkan gambaran nyata dari prevalensi bunuh diri. Menurut data yang disampaikan di (Kompas.id 2024) bahwa angka sebesar 859,10 persen untuk kasus bunuh diri yang tidak terlaporkan dari tahun 2016 hingga 2018 tentu sangat mencurigakan dan memerlukan klarifikasi lebih lanjut. Pada tahun 2024 terdapat Lima provinsi dengan kasus bunuh diri terbesar, yakni Bali, Kepulauan Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah.
Perilaku bunuh diri tidak hanya muncul pada kelompok remaja ataupun orang muda, namun dapat terjadi pada semua kelompok usia. Menurut peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Yurika Fauzia Wardhani mengungkapkan, angka bunuh diri menurut WHO lebih dari 800 ribu per tahun. Tertinggi yaitu di usia muda. Sedangkan menurut data box terdapat 921 kasus, tertinggi adalah dengan usia muda atau produktif (Brin.go.id 2024)
Pada usia remaja dan dewasa, bahwa kasus bunuh diri terajdi akibat adanya tekanan akademis sosial, harapan tinggi untuk berprestasi dan kompeten dalam bidang akademi, emosi, masalah identitas, ataupun kurangnya perhatian dari keluarga akibat adanya permasalahan keluarga. Dalam masyarakat patriarki seperti di Indonesia, laki-laki sering kali dibebani dengan ekspektasi untuk terlihat kuat, tegar, dan tidak menunjukkan emosi. Norma seperti ini bisa menghalangi laki-laki untuk mengungkapkan perasaan mereka atau mencari bantuan saat mereka menghadapi tekanan mental atau emosional.
Frasa "laki-laki lebih tegar" mencerminkan pandangan bahwa laki-laki tidak boleh menunjukkan kelemahan atau kerentanan, yang bisa memperparah masalah kesehatan mental mereka. Ketidakmampuan atau ketakutan untuk berbagi perasaan ini dapat menyebabkan akumulasi tekanan psikologis, yang dalam kasus-kasus ekstrem bisa berujung pada tindakan bunuh diri. Berbeda dengan perempuan, yang mungkin memiliki lebih banyak ruang sosial untuk mengekspresikan emosi dan mencari dukungan, laki-laki sering kali merasa terisolasi karena norma ini. Ini adalah salah satu alasan mengapa angka bunuh diri di kalangan laki-laki lebih tinggi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Metode yang sering digunakan dalam kasus bunuh diri, seperti minum racun, menembak diri, gantung diri, dan lain-lain. Setiap metode ini sering dipengaruhi oleh faktor psikologis, sosial, dan bahkan ketersediaan alat-alat tersebut di lingkungan sekitar. Misalnya, metode seperti menembak diri mungkin lebih sering terjadi di negara-negara dengan akses mudah ke senjata api, sementara di tempat lain metode seperti gantung diri atau minum racun mungkin lebih umum terjadi di negara Indonesia.
Adapun beberapa solusi penting untuk mencegah bunuh diri, yang mencakup berbagai pendekatan baik dari sisi individu, keluarga, komunitas, hingga lembaga terkait. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang solusi tersebut:
Meningkatkan Kesadaran dan Pendidikan:Â
Edukasi masyarakat mengenai kesehatan mental sangat penting untuk menghilangkan stigma yang sering melekat pada isu ini. Dengan menyadari bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, masyarakat akan lebih terbuka untuk membicarakan masalah ini dan mencari bantuan jika dibutuhkan.
Pelayanan Kesehatan Mental yang Lebih Baik:Â
Memastikan bahwa layanan kesehatan mental dapat diakses oleh semua orang sangat penting. Hal ini mencakup peningkatan jumlah psikolog, psikiater, serta konselor, terutama di daerah-daerah yang belum memiliki akses mudah ke layanan ini. Pelayanan kesehatan mental yang terjangkau, ramah, dan profesional juga penting untuk mendorong lebih banyak orang mencari bantuan.
Pelatihan dan Dukungan untuk Keluarga dan Komunitas:Â
Keluarga dan komunitas merupakan faktor penting dalam memberikan dukungan bagi individu yang mengalami masalah mental. Melatih mereka agar dapat mengenali tanda-tanda peringatan bunuh diri dan memberikan dukungan yang tepat dapat menjadi upaya pencegahan yang efektif.
Bekerja Sama dengan Instansi Terkait:Â
Kolaborasi antara instansi pemerintah, sekolah, organisasi non-pemerintah (NGO), dan sektor swasta sangat penting untuk membuat program pencegahan bunuh diri yang komprehensif. Program ini bisa mencakup kampanye kesadaran, intervensi krisis, serta program pencegahan di tempat-tempat umum seperti sekolah dan tempat kerja.
Penelitian dan Data Tersentral:Â
Pengumpulan data yang akurat dan tersentral sangat penting untuk memahami tren bunuh diri dan faktor-faktor penyebabnya. Dengan data ini, lembaga yang berkepentingan dapat mengidentifikasi kelompok risiko dan mengambil tindakan pencegahan yang lebih terarah. Data ini juga berguna untuk mengukur efektivitas program pencegahan dan intervensi yang sedang berlangsung.
Kesimpulan :Â
Bunuh diri dalam presepektif berbudi luhur merupakan kematian yang bukanlah ketentuan dari Tuhan, melainkan jalan pintas yang ditempuh manusia karena keputusasaanya. Cara ini sangat keluar dari keinginan Tuhan, sehingga ia menempuh jalan kegelapan (melawan takdir) dan hidup dalam dosa; dosa yang besar. Ketika seseorang merasa seperti "mati" secara emosional, kehilangan cita-cita, atau tujuan hidup, sering kali yang mereka butuhkan adalah dukungan untuk kembali menemukan makna hidup dan kegembiraan dalam kehidupan sehari-hari. Keputusasaan karena penderitaan atau kesengsaraan, harus kita lawan dengan kesabaran, kerja keras, dan pasrah serta berdoa memohon ampunan dari Tuhan. Kita harus bangkit dari tidur, bergegas untuk bangun, kerja keras, sabar dan selalu mensyukuri apapun yang terjadi, berdoa dan pasrah adalah modal utama kita untuk mencapai keberhasilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H