Aku menjumpai diriku yang sekarang masih termenung dalam kesendirian. Semua kejadian beberapa saat lalu, semua kejadian ketika aku sebagai seorang Nad yang bodoh tiba-tiba di tembak oleh Rio, semua nyatanya hanyalah sebuah mimpi. Aku baru mengetahuinya sekarang. Karena saat ini, aku sendirian. Tanpa siapapun. Termasuk dirinya yang dulu benar-benar menjadi opsesi terbesarku. Semua lenyap.
Namun, sudahlah. Tidak bagus bila kita terus-terusan menyesali apa yang sudah terjadi. Nad yang sekarang sudah bangkit dari keterpurukan cinta dua setengah tahun. Aku hidup dengan indah meskipun kenangan masa-masa SMK ku harus terkubur jauh-jauh pada tempatnya semula. Sekolah Tercinta. Kenangan tiga tahun lamanya soal persahabatan, permusuhan dan percintaan semua sudah menjadi kenangan. Hanya kenangan. Dan catatan, peristiwa penembakan itu, masih benar-benar hanyalah sebuah hayalan.
Nad, masih tepat menjadi Nad. Aku masih suka dengan pelangi dan hujan. Aku juga masih suka mengobrol panjang dengan sahabatku Vira. Juga masih suka menutup mataku saat angin menerjang tubuh kecilku. Aku juga tetaplah Nad yang ceria, penyayang, yang pandai dan punya sesuatu yang membuat seseorang mau berlama-lama berada di sebelahku. Aku tetap seperti itu. Meskipun karakter Nad di atas merupakan diriku yang dua tahun lalu.
Semenjak lulus dari sekolah tercintaku, aku memutuskan kuliah sambil bekerja. Aku kuliah dengan bantuan beasiswa dari sekolah karena prestasi yang sudah kutorehkan disana. Aku diterima menjadi mahasiswa jurusan sastra bahasa Indonesia dan mengambil studi 4 tahun. Yah.. kuliah sungguh menguras sebagian pikiran dan otakku. Aku senang, Vira tetap menemaniku. Kamipun masih menjadi rekan sebangku yang menyenangkan dan selalu bersama setiap saat. Dia sudah lain sekarang. Sudah jadi tambah cantik dan semakin modis. Buktinya, awal masuk sekolah, ia sudah dilirik oleh mahasiswa senior di universitas tempat kami belajar. Dan nyatanya, kini ia sudah menyandang hubungan pacaran dengan Febry –mahasiswa senior yang juga tidak kalah tenar dan cakep. Hehe- .
Sementara, aku sendiri, tidak tahu bagaimana hidupku saat ini. Aku kerap dekat dengan seorang laki-laki yang sesuai kriteriaku. Terkadang, beberapa laki-laki tersebut juga mengajakku untuk berpacaran. Tapi, entahlah. Aku masih saja tidak bisa menerima mereka. Kecuali pertemanan, aku tidak yakin bisa menerima mereka dan nantinya menyukai mereka. Aku, dengan sangat-sangat jujur, dengan sangat-sangat sadar, ku akui bahwa bayangan Rio lah yang tetap menjadi laki-laki satu-satunya di hidupku.
“Udah dapet bukunya?” Tanya Vira saat aku sampai di bangku diskusi tempatnya duduk saat kami berada di perpustakaan kampus siang ini. Aku memasang wajah sebal. Tanganku yang sudah memegang berbagai macam buku referensi, sudah tidak kuat lagi menahan beban buku tersebut. Vira malah menanyakan pertanyaan yang tidak berguna itu tanpa sedikitpun berusaha membantuku membawa ataupun meletakkan buku-buku referensi di meja. Tidakkah dia tahu bahwa aku daritadi sudah berkeliling mencari buku-buku tebal dan aneh ini?
“Udah. Tapi masih dapat sebagian. Gantian sana gih. Sekarang giliranmu nyari buku ensiklopedia. Dateline kita kan bentar lagi udah abis.” Ucapku selepas meletakkan buku-buku tersebut di meja. Aku duduk untuk mengatur tenagaku lagi. Vira mulai membuka salah satu buku yang aku bawa. Lalu, sebentar kemudian menuliskan beberapa kalimat di dalam buku ke buku catatan tugas kami. Tugas memang dari dulu selalu membuat repot. Dari dulu emang selalu begitu kan?
“Aduh, aduh..” Cemas Vira. Aku mengamatinya kaget. Vira memegangi perutnya terus menerus.
“Kamu gak papa?” Aku ikutan cemas.
“Aku ke toilet dulu yah? Kebelet.”
Ya ampun. Ada-ada saja tuh Vira. Membuatku kaget bukan main. Namun, aku masih saja terkaget-kaget menyaksikan pemandangan indah di depan mataku. Saking indahnya, pemandangan tersebut sangat-sangat membuat hatiku panas dan berdegup tidak karuan. Siapa lagi yang dapat menyebabkan reaksiku berubah seperti ini bila bukan Rio? Cowok yang “dulu” dan “sekarang” masih kukagumi itu, di depan meja diskusiku, ia tengah asik berduaan dengan pacarnya.
Apa aku belum menceritakan bila kami juga satu fakultas dan satu jurusan di Universitas ini? Aku awalnya juga kaget melihatnya duduk di bangku kelasku saat kami baru pertama masuk kuliah. Sadar-sadar, dia sudah menjadi teman sekelasku. Aku senang sih. Karena menurutku, dari situ aku bisa dekat dengan dia. Namun, semua khayalan itu berakhir. Saat aku tahu, dia berpacaran dengan Fey. Teman sekelasnya dulu.
Sakit hatiku benar-benar bertumpuk-tumpuk. Yang sanggup kulakukan ya hanya diam. Kalian pasti tidak akan menyangka, bahwa selama kuliah, kami jarang sekali mengobrol. Kami tidak pernah bertegur sapa, juga tidak pernah SMS an. Aku dan Rio jadi seperti orang yang tidak saling mengenal. Aku tidak berani menyapanya. Dan sepertinya, dia tidak punya niatan menyapaku selama ini. Toh, saat ini kan dia sedang sangat bahagia karena ada Fey di hidupnya. Aku, ataupun bayanganku, sudah benar-benar menjadi masa lalu baginya.
Fey baru saja melambaikan tangannya ke arahku. Ia memang sangat mengenalku kok. Karena dulu, saat masih SMK, kami dekat. Aku melambaikan tanganku ke arahnya. Rio menoleh dan menatapku sebentar. Setelahnya, dia memalingkan mukanya cepat. Tanpa memperdulikan senyumanku kepadanya.
Aku menundukkan kepalaku pasrah. Di fikiranku, aku merasa sangat bodoh. Harusnya, aku tidak pernah melakukan hal barusan. Meskipun itu senyuman. Aku bodoh karena telah menatap matanya yang hitam. Aku tahu, sebentar lagi, pasti aku akan menangis.
Aku tlah lelah mengikuti semua langkah kakimu
Dan berharap, bisa memilikimu
Berbagai cara telah aku lakukan untuk hidupmu
Hingga aku, mengorbankan hidupku
Buka hatimu… Bukalah sedikit untukku
Sehingga diriku bisa memilikimu
Betapa sakitnya.. Betapa sakitnya hatiku
Selalu dirimu tak menganggapku ada..
Armada- Buka Hatimu
Kenapa lagu ini bisa mengejekku sehebat ini? Batinku.
Aku menangis.di kamarku yang sepi, kuluapkan segala perasaan ini dengan cara menangis. Bodoh!! Yah, aku bodoh. Hanya bisa menangis demi seseorang yang tidak penting. Aku bahkan harusnya tidak melakukan hal tersebut untuk orang yang tidak pantas seperti dia.
Kenapa sih Rio tidak sama sekali memiliki hati? Kenapa sih Rio seperti sebuah batu yang hidup. Yang indah, yang membuat duniaku teralihkan, tapi keras dan diam. Kenapa Rio seperti pohon yang tidak menyadari bahwa daunnya sudah tumbuh? Kenapa Rio seperti orang asing yang tidak mengerti apa-apa?
Aku menangis melampiaskan kegundahan hatiku. Berkali-kali, ku amati foto Rio yang kusembunyikan di dalam Diary kesayanganku. Ku amati foto itu sampai air mataku benar-benar tidak kusadari sudah membasahi foto tersebut. Ku amati dalam-dalam. Sampai mataku berat, dan hanya gelap yang terasa.
“Nad…” teriak seseorang kepadaku. Aku menghentikan langkahku dan menoleh mencari si empunya suara. Ku dapati, Rio berlari menuju ketempatku. RIO… Bayangkan.. seorang Rio.
Dengan masih kaget, aku seakan baru saja bermimpi. Sampai aku tidak menyadari, Rio sudah berada di depan mataku.
“Nad.. masih idup kan?” ungkapnya mengagetkanku.
“Eh ya.. ada apa?” Kubiasakan nada suaraku. Aku harap, dia tidak mengerti bahwa aku sedang gugup.
“Gak ada apa-apa sih. Aku lagi pengen ngobrol aja. Belakangan ini, kita kan jarang ngobrol. Sibuk terus sih?”
Aku terkekeh mendengar perkataan Rio. Kami pun berjalan menuju kafetaria utama kampus. Kami sudah duduk dan mengobrol panjang lebar soal hal-hal yang ingin dibicarakan. Kami serasa tidak peduli dengan beberapa mata mahasiswa lain yang melihat ke arah kami karena merasa kurang nyaman akibat tawa kami yang terlalu keras. Berdetik-detik, bermenit-menit, semua terlewat. Sampai berjam-jam. Bahkan kami saling tidak menyadari, bila sejak tadi, ada dua orang yang terus memandangi kami dengan serius.
“Kamu deket lagi sama Rio ya Nad?” Tegur Vira saat malam ini ia menginap di rumahku. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Namun, kedua mata ini tidak bisa terpejam sama sekali. Akhirnya, kami pun sepakat mengobrol.
“Iyah. Ini juga lagi smsan sama dia. Hehehe… aneh yah?”
“Aneh banget. Tapi, aku curiga deh sama dia. Kamu masih inget soal kejadian di SMK dulu kan?”
Aku membenarkan posisi tidurku. Aku duduk di kasurku yang empuk sambil menatap wajah Vira dengan heran.
“Kejadian yang mana?” Ungkapku.
“Kejadian waktu kamu dimanfaatin sama dia. Dari dulu, sifatnya emang kayak gitu kan? Selalu ngehubungin kamu, selalu baik sama kamu. Paling dia juga lagi butuh. Liat aja, bentar lagi dia pasti minta tolong kamu. Kalo menurutku.” Jawabnya dengan nada mengejek.
“Kamu kok gitu banget sih Vir. Ngomong yang enggak-enggak. Shu’udzon itu namanya. Bilang aja kamu gak suka aku deket sama dia. Iya kan?” Aku sewot. Entah mengapa, aku sangat marah mendengar ucapan Vira barusan. Padahal, di dalam hatiku, aku membenarkan sifat Rio yang selalu ada di sebelahku saat dia butuh aku doank. Tapi, di sisi lain, aku seakan ingin menepis habis-habis kebenaran tersebut. Aku berprasangka bahwa Vira sedang tidak menyukai hubunganku. Apa ada teman yang seperti itu?
“Kamu kok jadi nyolot gitu. Aku kan cuman ngingetin. Lagian, harusnya kamu mikir, untuk apa dia tiba-tiba deketin kamu lagi. Akrab banget sama kamu. Padahal, dia udah punya Fey. Kenapa Nad? Kamu udah gak bisa nolak pesonanya? Itu alasan lama deh. Dan hanya patut dikatakan oleh anak SMK.”
“Aku gak nyangka Vir. Kamu bisa ngomong sepicik itu. Apa ada sahabat yang gak suka temannya bahagia? aku sayang sama dia Vir. Aku tahu, kamu pasti ngerti sejak dulu. Dan dengan sangat sadar, aku akui aku pengen deket sama dia. Sekarang, saat aku punya kesempatan deket, kamu bilang kayak gitu? Ya ampun, Vir. Kamu benar-benar…”
“Nad, aku gak pengen kayak gini. Aku cuman pengen ngingetin kamu aja. Agar kamu gak nyesel, gak ngulangin kesalahan yang sama. Aku gak pengen, seorang Nad nangis di depan mataku, demi seorang cowok yang gak pantas buat kamu. Tuhan itu gak tidur Nad. Dia pengen kamu buka mata kamu. Sebelum kamu benar-benar bisa berada di sebelahnya. Sampai saat ini, kamu gak bareng dia kan? Itu berarti, dia gak pantas sama kamu. Dia cuman pengen manfaatin kamu doang. Asal kamu tahu, Nad.”
“Ahh.. tahu darimana kamu. Mimpi ato apa? Ato jangan-jangan, gara-gara kamu sudah pacaran sama Febry, trus Febry yang membuat kamu berubah kayak gini.”
Aku naik darah, Vira pun demikian.
“Jangan bawa-bawa kak Febry dalam masalah kita. Asal kamu tahu ya Nad. Kak Febry lah yang ngasih tahu aku, dengan mata kepalaku sendiri soal kelakuan pangeran kesianganmu itu. Dia yang ngasih tahu. Soal gimana buruknya sifat Rio. Sayang, matamu udah begitu dibutakan oleh Rio.”
Aku benar-benar sangat marah pada Vira. Ini pertengkaran hebat yang baru pertama kali terjadi. Aku membenarkan posisi tubuhku kembali. Kali ini, ku hempaskan tubuhku ke kasurku kembali. Vira masih diam dengan posisi tubuhnya yang selonjor indah di sebelahku. Ia tetap menatap lurus mataku.
“Udahlah Vir. Aku males bertengkar saat ini. Terserah kamu suka dengan hubunganku sama Rio atau enggak. Yang jelas, kamu gak berhak ngatur-ngatur aku.” Ucapku kemudian. Ku pejamkan mataku dengan penuh paksaan. Aku harus tidur dan melupakan kejadian ini.
“Terserah kamu. Seharusnya, kamu sadar bahwa di tempat lain, ada orang yang jauh menyayangimu di bandingkan dia. Mudah-mudahan.” Gumam Vira padaku. Aku pura-pura tidak mendengarkannya. Namun, sebetulnya, sampai aku bangun dari tidurku pagi harinya, sampai tubuh Vira sudah tidak kutemukan lagi di kamarku, aku masih memikirkan kata-kata terakhir Vira.
Dua hari, tanpa seorang sahabat. Vira marah sama aku gara-gara kejadian waktu malam hari itu. Dia gak mau ngobrol sama aku, deket sama aku, bahkan duduk sebangku denganku. Aku sih pengen minta maaf sama dia. Tapi, egokulah yang selalu membuatku membuang pikiran itu jauh-jauh. Aku gengsi? Mungkin iya. Tapi, aku setidaknya bersikap seperti ini hanyalah untuk membuat Vira belajar menghargai orang. Dia, tidak sama sekali menghargai prifasiku. Dia tidak suka apa yang aku lakukan, dia tidak suka aku mendapatkan apa yang aku ingin. Dan kesimpulan yang dapat ku ambil, dia gak pengen aku deket –deket lagi sama Rio. Gak wajar banget kan? Apa ada sahabat yang seperti itu. Seumur-umur, baru kali ini aku mengalami hal seperti ini. Menurutku, dia sudah terlalu ikut campur masalahku. L
Siang ini, aku sedang duduk di depan laptopku di kafetaria utama kampus. Sendirian sambil serius mengerjakan tugas-tugas kuliahku yang sudah banyak menumpuk. Tiba-tiba, sesaat kemudian,segerombolan mahasiswa tenar masuk ke dalam kampus. Diantara gerombolan itu, ada Rio, Fey, dan juga Edo. Mereka berjalan menuju meja panjang di dekat mejaku. Aku melirik sekilas ke gerombolan mahasiswa urutan nomor satu di fakultasku. Mereka keren dan gaul. Aku sempat berharap masuk dalam gerombolan tersebut. Namun, begitu melihat Fey, semuanya seperti mimpi buruk. Aku tidak mungkin bisa mewujubkan hal tersebut. Lihat saja, dari arah manapun, aku tidak akan seperti Fey.
Aku memandang tajam ke arah Rio. Aku berdoa dalam hati, semoga ia tersenyum ke arahku dan mengajakku mengobrol seperti biasanya. Namun, aneh sekali. Hari ini, ia bahkan seperti tidak melihatku berada di sekitar situ. Ia tidak mau menyapaku, maupun melirikku. Padahal kemarin…
“Hey, Nad. Kamu masih inget aku?”
Pertanyaan bodoh itu terlontar dari Edo. Sejak kapan dia berada di sebelahku.
Aku memasang tanpa kaget ke arahnya. Cowok itu masih memandang dengan serius ke arah script tugasku di laptop.
“Sejak kapan kamu ada di sini?” Ucapku.
“Dari kemarin malem. Ya barusan aja dong nona.? Makanya, liat situasi. Kafetaria rame begini, kamu ngelamun. Aku tahu kamu lagi ngeliatin yang ada di sana?” Edo menunjuk Rio yang tengah asik berbincang dengan geromboralnya.
Aku menyenggol pundaknya setengah terkejut. Edo emang usil banget. Dari dulu, dialah yang suka nyomblangin aku sama Rio. Edo kan sahabat baiknya Rio. Gak tahu awalnya dari mana, dulu, dia suka usil menjodohkan aku dengan Rio.
“Ihh,, apa’an sih Do. Basi tahu.” Ungkapku pelan.
“Kamu udah gak sama dia?”
“Maksudnya? Emang dari dulu kita ada apa’an? Cuman temen kan?”
Edo Usil. “Ahh, masa’? kenapa sih Nad. Kamu gak pinter nyembunyiin perasaanmu? Aku tahu kamu suka sama dia. Cuman orang bego yang gak tahu itu.”
“Apa’an sih do. Aku gak ada apa-apa. Rio, yang ada di sana tuh, udah punya pacar. Aku, dari awal juga gak pacaran sama dia. Suka, apalagi. Udah deh. Kamu aneh-aneh aja.”
“Masa’ sih? Aku tetep gak percaya. Kamu pasti suka sama dia. Kamu gak bisa boong sama aku Nad.” Edo masih ingin tahu.
“Gini ya Edo. Liat temenmu itu. Rio udah pacaran. Sama Fey. Temenmu juga. Kenapa sih, kita selalu membahas soal Rio bila kita ngobrol. Tuh, ke tempatmu lagi. Aku lagi sibuk.” Jawabku sok sibuk. Aku mau menghindar aja ah. Aku sadar diri kok, Edo bukan orang yang bisa di boongin.
“Ooh, mbak ini ngusir? Okey. Aku akan pergi. Ehm, satu lagi. Mo titip salamm gak buat Rio? Hehehehe..” Usil Edo lagi..
“Hemm.. dasar..”
Edo sudah berkumpul lagi dengan gerombolan tersebut. Beberapa saat kemudian, ku lihat Vira masuk sendirian ke kafetaria. Duduk tidak jauh dari tempatku. Kami sempat saling lirik. Ya Tuhan, entah ada angin apa, aku sungguh tidak mau menyapanya untuk saat ini. Setelahnya, yang aku lihat adalah adegan menguras perasaan dari Rio dan Fey. Berulang-ulang kali, mereka tampil mesra di hadapanku. Oh My God, adakah sosok yang bersikap baik sedikit saja kepadaku?
Hujan lagi… Gumamku sore ini saat aku hendak pulang dari kuliah. Aku sedang menepi di pinggir bangunan tua yang tidak jauh dari kampus. Seorang diri mengamati rintik-rintik hujan yang turun membasahi bumi. Aku sangat suka hujan. Dan aku ingin tetap mengaguminya.
Cukup sepi suasana di tempatku berdiri saat ini. Hanya terlihat dua atau tiga orang berlarian menyelamatkan diri agar tidak kehujanan. Aku diam sejenak sambil memandang sekeliling. Beberapa detik kemudian, ku ambil handphone di tasku. Aku ingat, Edo baru saja mengirimiku sms. Aku belum membalasnya.
Aku sedang enak-enak membaca sms Edo. Tiba-tiba suara ribut-ribut membuyarkan kegiatanku.Aku yang penasaran mencoba mencari sumber suara aneh tersebut. Aku tahu, suara itu ada di belakang bangunan tua ini. Ku pelankan kakiku agar tidak terdengar langkahnya. Ku hembuskan nafasku yang mulai gugup. Aku tidak tahu apa yang sudah terjadi. Namun, semakin aku berusaha melangkah mendekat, suara pertengkaran laki-laki dan perempuan semakin menjadi. Semakin terdengar sangat jelas. Aku mengambil ancang-ancang hendak membuka pintu bangunan tua itu. Tapi, aku terlambat, seseorang yang ada di dalam bangunan tersebut sudah membuka pintu rapuh itu beberapa detik kemudian. Aku mencoba menyembunyikan diriku di belakang pintu. Mati saja aku bila aku sampai ketahuan ikut campur masalah orang. Laki-laki yang membuka pintu itu baru saja melewati tempatku. Meskipun aku tidak bisa melihat wajahnya. Namun, dari belakang, aku tahu laki-laki itu masih sangat marah besar. Berkali-kali dia tak henti-hentinya mengumpat, menendang semua yang ada di depannya, dan tak lupa menjambak-jambak rambutnya yang sedikit. Setelah aku tahu laki-laki itu sudah pergi dari tempat ini, aku melangkah masuk memberanikan diri. Aku mencari-cari seseorang di dalam gedung tua yang lusuh tersebut dengan hanya bermodal nekat. Aku mencari dimanapun, di celah yang bisa kulihat. Namun nihil tidak ada seorangpun. Aku mulai putus asa. Kuputuskan untuk meninggalkan tempat ini.
Aku hendak melangkah menuju pintu ketika tiba-tiba langkahku di kagetkan dengan suara tangis dari dalam. Aku menolehdengan cepat. Aku berteriak “halo” berkali-kali. Dan suara tangisan itu semakin kencang. Aku berlari menuju sumbernya. Di dalam lemari di sudut ruangan. Ku buka perlahan-lahan. Aku terkejut bukan main. Cewek ini sudah terduduk lemas dengan baju robek yang tidak bisa dikatakan rapi kembali. Cewek ini terus menangis memandangku. Masih dengan bibir yang berdarah dan mata lebamnya. Dia adalah Fey.
“Ya ampun, Fey. Kamu kenapa? Kokkkk? Ya ampun. Kamu gapapa.?” Aku masih bingung bukan main. Aku tidak menyangka ia adalah Fey. Lantas, siapa laki-laki yang melakukan hal ini padanya? Tega sekali laki-laki itu.
“Cowok itu mencoba memaksaku melakukannya Nad. Namun aku tidak mau. Dan dia menganiayaku di sini. Aku ingin dibunuhnya. Tolong aku.” Jawab Fey dengan tangisan yang masih tidak bisa di hentikan. Aku duduk membersihkan tubuh Fey dengan sapu tangan kecilku. Kuputuskan untuk menelepon Edo saat itu juga. Aku ingin dia menjemputku di sini.
Sambil menunggu Edo, aku membantu Fey berdiri.
“Fey, maaf jika aku lancang, tapi, siapa laki-laki yang melakukan hal setega itu sama kamu? Dan apa hubunganmu dengan dia?” Tanyaku pelan. Aku harap, dia tidak tersinggung aku menanyakan pertanyaan ini.
Fey diam. Aku tidak bisa bertanya kembali. Rasanya, aku sudah ikut campur terlalu banyak. Mungkin, menyelamatkannya sekarang, merupakan satu alasan paling logis bahwa aku sudah terlibat dalam masalah Fey.
“Ayo kita kedepan. Mungkin Edo sudah datang.” Aku mulai memapah Fey.
“Nad. tunggu dulu. Apa benar kamu ingin tahu siapa laki-laki yang membuatku seperti ini? Meskipun ini akan membuatmu kaget?” Jawab Fey menahan langkah kami.
Aku diam. Lima detik kemudian menjawab “Katakan apa yang harus kamu katakan. Gak papa kok.”
Dengan takut-takut, Fey berkata “Dia Rio Nad. Rio, cowok gue, temen lo.”
Aku merasa baru saja kesambar petir hebat. Tubuhku seketika menjadi lemas dan gemetar. Cowok itu? Rio?
“Hah? Rio, Fey. Kenapa dia?” aku masih sangat tidak menyangka.
“Aku akan cerita nanti. Tapi, pliss Nat. jangan kasih tahu ini sama siapa-siapa. Termasuk sama Edo. Aku gak mau mereka berantem. Lagian, Rio gak berhasil ngapa-ngapain aku kok.”
Setelahnya aku membopong tubuh Fey dengan tanda tanya besar yang masih menari-nari di otakku. Aku diam tak ingin bicara apa-apa saat ini. Begitu pula dengan Fey dan Edo. Bahkan, Edo yang tadinya sempat kaget dengan kondisi Fey, tidak bertanya apapun dan membiarkan kami berdua tenang di dalam mobilnya. Aku tetap tidak percaya dengan apa yang ku alami hari ini. Namun, aku punya satu hal yang bisa kuambil kesimpulan. Bahwa aku telah salah melangkah.
Tiga Bulan Kemudian.
Segalanya sudah kembali seperti semula. Kejadian beberapa bulan lalu membawa perubahan besar dalam hidupku, juga dalam kehidupan temen-temenku yang lain. Rasanya, semua kebohongan bertahun-tahun terungkap di permukaan sedikit demi sedikit. Dan inilah kejujuran yang patut di hargai.
Rio memang memiliki sifat yang buruk dari awal. Dia seorang pecandu narkoba yang gemar bermain wanita. Fey baru mengetahui kebiasaan Rio saat mereka lulus SMK dulu. Semenjak itu, Rio sudah mulai berubah. Sikap aslinya yang suka temperamental dan possesif sering membuat jengkel Fey. Namun, Fey tidak sanggup untuk meninggalkannya. Meskipun, Fey selalu merasa sakit berada di samping Rio.
Seminggu setelah kejadian di Bangunan Tua yang melibatkan Rio dan Fey, Rio meminta maaf kepada Fey dihadapan aku, Vira, Febry, dan gank Rio. Aku bisa melihat pandangan mereka semua yang ingin menghajar Rio saat itu juga. Namun, Fey masih sangat baik sehingga bisa mengampuni dosa Rio dan berkata bahwa akan melupakan kejadian tidak menyenangkan tersebut. Rio pun sempat mendapat hukuman dari orang tua Rio dan orang tua Fey. Karena terlalu malu, Rio memutuskan pindah ke luar negeri untuk meneruskan hidupnya di sana. Aku sempat mengantarnya ke bandara. Namun, tidak ada yang special lagi yang aku kagumi dari dia. Cowok itu telah menghilangkan semua nilai baik yang pernah aku beri untuknya dalam hitungan detik. Dan aku tau, aku memang tidak pernah mencintainya. Aku hanya mengaguminya. Dulu, bukan sekarang.
Kehidupan Fey juga sudah berubah. Ia juga memutuskan pergi ke luar negeri. Cewek kuat itu, berkali-kali menegaskanku agar aku selalu bersyukur pada Tuhan tentang semua yang sudah terjadi akhir-akhir ini. Fey berkata, bahwa dia tidak akan membiarkan dirinya merasa trouma karena kejadian tersebut. Yah, paling tidak, aku benar-benar menghargai hidupku yang sekarang.
Lalu, bagaimana dengan persahabatanku?
Aku dan Vira jelas sudah baikan. Aku berinisiatif meminta maaf padanya malam hari setelah kepergian Rio. Begitu aku hendak mengetuk pintu rumahnya, Vira sudah membukakan pintu untukku dan kemudian memelukku sangat erat.Vira bilang, ia hendak pergi ke rumahku untuk melakukan hal yang sama. Aku jelas bingung bukan main. Ternyata kami punya pikiran yang sama. Akhirnya, hari itu pula aku kembali menjadi sahabatnya. Tentu saja, lagi-lagi, kejujuran terungkap. Vira mengingatkanku tentang sosok yang selama ini tidak pernah ku sadari selalu menemaniku. Cowok yang menyukaiku sedari dulu, yang bersedia menjagaku sembunyi-sembunyi. Cowok itu juga yang selalu mengirimkan coklat dan bunga untukku. Yang dulu ku sangka dari Rio. Dialah, Edo.
“Kamu bego banget sih? Baru menyadarinya sekarang. Itupun karena aku kasih tahu. Dasar gila. “ ucap Vira sambil terus melotot-melotot kearahku. Aku yang masih kaget, hanya bisa diam mencerna kata-kata yang Vira katakan.
Ini sungguhan? Edo? Suka sama aku? Batinku.
“Kamu yakin? Tapi kok?” aku masih belum bisa percaya.
“Dibilangin gak percaya. Nad, sebetulnya aku gak boleh ngasih tau ini semua. Aku janji pada Edo untuk merahasiakannya. Tapi, kayaknya kamu gak bakal bergerak deh kalo masih gini terus. Inget kejadian waktu MOS masuk SMK dulu? Waktu kamu jatuh pingsan saat dihukum di tiang bendera.”
“Inget sih? Kenapa emang?”
“Waktu itu, kamu langsung di bawa ke UKS kan? Dan siapa yang membawamu kesana? Siapa Nad.”
“Rio kan. Aku melihatnya berada di depan UKS ketika aku baru siuman. Kamu kan tau, gara-gara itu kan aku suka sama Rio.”
Vira geleng-geleng kepala melihat kebodohanku. Ia melempar bantal tidurnya ke wajahku sesaat kemudian.
“Kamu salah Nad. Rio gak pernah sama sekali ngebantuin kamu ke UKS. Orang yang bawa kamu itu Edo. Dia bahkan sampai harus dihukum ulang karena sudah melanggar senior gara-gara ide gilanya membawamu lari ke UKS. Makanya, saat kamu siuman, kamu gak bisa ngeliat dia. Edo kan lagi dihukum. Malah, yang kamu temui justru Rio. Asal kamu tau, Rio cemas, karena dia baru saja dilaporkan kepala sekolah. Gitu.”
“Jadi selama ini, Edo yang selalu bantuin aku?”
“Iya. Makanya, kamu harus baik-baik sama dia. Kalo dulu kamu selalu bilang kamu cinta Rio 2 setengah tahun, aku rasa, Edo sudah menyukaimu lebih dari itu. Mungkin, empat tahun. Aku gak tahu. Hehe..”
Vira memutuskan untuk tidur . Di dalam gelap, aku terus memikirkan semua hal -hal aneh ini. Kali ini soal Edo.
Acara Wisuda yang penuh kebahagiaan.
Akhirnya aku lulus. Tidak ada kebahagiaan yang paling indah selain hari ini. Nilaiku pun terbilang memuaskan. Aku juga siap di terima bekerja di perusahaan ternama di kota ini. Kami sedang asik berfoto dan tertawa bersama, ketika tiba-tiba seseorang mnepuk pundakku pelan. Vira yang didampingi Febry tersenyum penuh arti. Ia mengajak yang lain meninggalkan aku sendiri. Beberapa detik kemudian, aku menoleh memandang sosok paling indah di depanku saat ini.
“Edo…” Ucapku sambil tersenyum memandangnya. Dia memang orang yang ingin aku temui saat ini.
“Hai… selamat yah, kamu lulus.” Jawabnya pelan. Aku melihatnya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku tahu ia gugup. Karena aku juga merasakan hal yang sama.
“kamu juga kan?” ia mengangguk pelan. Sesaat, kami kembali terdiam.
“Nad, aku tahu ini mungkin aneh. Tapi, aku rasa, sekarang saat yang paling tepat untuk mengatakannya.”
Aku menunggu perkataannya. Hatiku benar-benar dag dig dug gak karuan.
Edo melanjutkan perkataannya. Dia mulai memegang kedua tanganku dengan lembut. .”Maaf ya Nad. aku sudah menyukaimu tanpa sepengetahuanmu. Aku merasa, genap lima tahun aku menyukaimu selama ini. Namun, sepertinya rasa cinta ini sudah ada lebih dari itu. Aku benar-benar menyukaimu. Menyayangimu. Mencintaimu. Maukah kamu jadi pacarku, Nad? aku akan berusaha menjadi yang kamu inginkan.”
Betapa senangnya hatiku mendengar pengakuannya. Iya… inilah cinta yang aku tunggu-tunggu selama ini. Pipiku merona memerah.
“Do, kamu gak perlu jadi apa yang aku inginkan kok. Karena, kamu sudah sangat special menjadi dirimu sendiri. Terima kasih sudah mencintai aku selama ini. Aku juga menyukaimu kok.”
“Apa berarti, kita sekarang berpacaran?” jawab Edo dengan raut muka senang.
Aku tersenyum malu. “Menurutmu?”
Edo memelukku erat sekali. Dia sudah berhasil menjadi seorang pemenang. Dan aku beruntung, bisa mendapatkan laki-laki seperti Edo. Ia sudah membuktikan padaku bahwa di dunia ini, cinta tidak pernah lari dari hidup kita. Siapa yang akan menyangka, orang yang tidak kita inginkan, yang tidak kita sadari, malah menjadi manusia paling berharga yang selalu ada dihidup kita. Dia seperti bayangan, tapi lebih indah dan lebih bermakna. Aku bodoh tidak menyadari kehadiran cinta sejati sedari dulu. Tapi, aku berharap, kalian tidak mengalami kebodohan yang sama sepertiku. Jadi, mulailah menghargai orang yang ada di sekelilingmu. Siapa tahu, disanalah, kamu benar-benar menemukan cinta sejati. Seperti aku ini. Berjuanglah. Ingat, cinta tidak pernah tidur. Dia selalu mengawasimu.
Selesai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H