Mohon tunggu...
Nia Rahman
Nia Rahman Mohon Tunggu... Konsultan - In Communication We Trust

Work Hard, Travelling a Lot. Tell your story to the world!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kena Lo

1 Mei 2023   00:38 Diperbarui: 1 Mei 2023   00:40 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bima adalah wujud nyata generasi Z yang saat ini dielu-elukan netijen dalam negeri. Pilihannya bersekolah di Luar Negeri dianggap visioner. Konten dan gaya bahasanya yang skeptis dinilai berani. Bahkan, seorang anggota DPR dalam sebuah berita mengatakan kritik Bima lahir dari kepedulian dan rasa cinta  anak muda terhadap daerahnya. Hmm...saya yakin, wakil rakyat ini hanya mengikuti isu dari berita atau paling banter dapat infromasi dari mulut ke mulut dan saat di doorstop media. Saya tidak yakin, beliau sempat mengulik konten-konten yang dipublish Bima. Seandainya ia memeriksa jejak digital Bima, maka barangkali kesimpulannya sama seperti saya, Bima hanya sekedar mengkritik, titik. Bila benar ia peduli dan cita kampung halamannya, pasti ia tidak akan pernah memikirkan permanent resident. Ia akan menimba ilmu di negeri orang, kemudian balik ke Lampung dan membangun kampung halamannya. 

Sebagaimana disampaikan banyak pakar komunikasi dan sosiologi, fenomena komunikasi Gen Z ini tidak mungkin terelakkan, sama seperti kita tidak bisa menolak teknologi dalam keseharian kita dewasa ini. Namun, hal ini pun tak bisa dibiarkan sebab sosial media sangat mempengaruhi bahkan membentuk karakter manusia generasi saat ini. Gaya komunikasi skeptis, vulgar dan minim adab seperti yang 'jual' Bima dan banyak influencer lainnya jelas membawa pengaruh buruk. Apalagi di era FYP yang dapat membawa ketenaran dalam sekejap - secara naluriah dapat membuat seseorang lupa kendali dan kebablasan. 

Sederhananya, Bima Effect telah menjadikan influencer ini ikon anak muda visioner. Jelas segala tindak tanduknya akan menjadi tolok ukur dan ditiru. Bahkan, saat ia melakukan kesalahan pun, akan dianggap wajar, bahwa seperti itulah anak muda seharusnya. Hingga pada akhirnya, beberapa hari yang lalu ia benar-benar terpeleset lidah karena menyebut mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dengan "Janda".  Seketika ia dihujat, dinasehati dan lagi-lagi muncul pertanyaan publik bagaimana orang tua mendidik Bima. "Kena Lo!" 

Meski demikian, tidak sedikit pula yang membela dengan dalih bahwa adalah fakta putri sang proklamator RI tersebut seorang janda. Jelas, yang membenarkan tindakan ini adalah fans garis keras, atau kelompok masyarakat yang yang akan melanggengkan stereotip negatif tentang janda dan berpotensi melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Bayangkan, bila fenomena ini dibiarkan, dimasa mendatang kita akan melihat kegagalan  terhadap hal-hal yang saat ini sedang diperjuangkan bersama: Revolusi Mental. Karena itu, rasanya kita perlu  mendukung  diberlakukannya  pedoman konten diseluruh platform sosial media, tidak hanya terkait kekerasan dan konten-konten membahayakan, namun juga terhadap konten-konten yang  berpotensi mendiskriminasi dan merendahkan perempuan serta kelompok minoritas misalnya. Bila kita tidak bisa menghindari sikap dan gaya komunikasi generasi yang unik ini, setidaknya kita bisa meminimalisir dampak negatif dari komunikasi tanpa kontrol di era sosial media ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun