Mohon tunggu...
Nia Rahman
Nia Rahman Mohon Tunggu... Konsultan - In Communication We Trust

Work Hard, Travelling a Lot. Tell your story to the world!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kena Lo

1 Mei 2023   00:38 Diperbarui: 1 Mei 2023   00:40 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lampung belakangan menjadi propinsi terpopuler sejagad dunia maya. Bila sebelumnya propinsi di ujung pulau Sumatra ini  hanya populer  bagi para perantau asal Sumatera - termasuk saya - karena menjadi rute yang mau tidak mau harus dilewati bila ingin pulang ke kampung halaman. Kini, jempol-jempol warganet dari seluruh penjuru Indonesia rajin mengetik kata "Lampung"  atau "Bima Lampung" di laman pencarian google. 

Hal ini tak pelak akibat ulah seorang pemuda asal Lampung bernama Bima Yudho Saputro yang menayangkan konten bernada kritik. Dalam unggahan video berdurasi sekitar 3 menit tersebut, Bima membeberkan alasan kenapa Lampung tidak maju yang erat kaitannya dengan infrastruktur seperti jalanan rusak yang diabaikan pemerintah setempat, pendidikan yang tidak merata, tata kelola birokrasi, kriminalitas dan ketergantungan terhadap sektor pertanian. 

Jelas saja, hal ini membuat pejabat pemprov Lampung bergeming. Bima sempat di polisikan, dan keluarganya di usik, sang ayah dituduh tidak bisa mendidik anak. Beruntung  saat menayangkan konten itu ternyata ia sedang berada di Negeri Kanguru. Jika tidak, mungkin ia sudah diangkut dan oknum-oknum akan meneriakinya "Kena Lo!". 

Tapi berkat laporan itu pula, Bima justru meraup dukungan. Netijen ramai-ramai menguliti Lampung. Intinya apa yang disampaikan Bima benar adanya. Singkat cerita, Lampung akhirnya dibenahi. Dalam beberapa hari jalanan rusak segera di aspal. Bima effect - istilah baru yang akhirnya muncul di jagad dunia maya untuk menggambarkan dampak dari perubahan-perubahan yang kini dilakukan oleh Pemprov Lampung. 

Sebelum ramai kasus tersebut, konten Bima tentang kesehariannya di luar Negeri beberapa kali lewat di timeline saya. To be honest, selain model rambutnya yang unik - konten yang ditayangkannya  tidak terlalu menjadi perhatian saya. Mungkin informasi yang disampaikannya penting bagi orang-orang yang tertarik belajar ke luar negeri. Namun cara penyampaiannya menurut saya tidak tepat. Sikap skeptis sekaligus sinis, gaya bahasa dan penyampaian yang cenderung minim adab yang membuat  konten ini tak lebih dari hiburan semata ketimbang aspek informatifnya. Tapi, bagi sebagian besar pengguna sosmed, konten-konten seperti ini ternyata lebih digandrungi dibanding konten-konten yang lebih informatif dan disampaikan dengan cara lebih rapi. Bahkan, tidak sedikit saya temukan komentar yang memuji "Public speakingnya bagus," - bukti bahwa masyarakat Indonesia memang jauh dari literate. 

Sebelum menguliti lebih jauh soal gaya komunikasinya, perlu sedikit kita mengenal latar belakang pemuda cerdas ini. Ia lahir sekitar tahun 1999 - 2000 (saat ini berusia 23 tahun) dari keluarga berada. Sejak lahir hingga remaja sepertinya Bima tinggal di Lampung, baru kemudian lepas SMA ia melanjutkan pendidikan di  Malaysia dan sekarang belajar di salah satu kampus di Australia, jurusan Digital Communication and Media/ Multimedia. 

Saya mencoba merangkum sedikit cerita hidup Bima dari konten-konten yang ia tayangkan di akun Tiktoknya. Bima seorang yang cerdas dan tekun. Kenyataan bahwa ia lolos tes sejumlah universitas di Luar Negeri dan kemampuan berbahasa asing yang baik tak bisa ditampik. Dalam sebuah kontennya ia juga mengatakan di terima di universitas negeri di Indonesia, tapi ia lebih memilih sekolah di Luar Negeri. Selain karena financial keluarga mendukung, pilihan tersebut karena menurutnya ia tidak akan sukses bila tetap berada di Lampung/ Indonesia. Bima bahkan bercita-cita untuk mendapatkan permanent resident di Australia - yang artinya memang Bima sudah tidak ingin kembali ke Indonesia. Bisa jadi suatu hari nanti ia mengajukan pindah menjadi WN Australia? wallahu a'lam bishawab

Dilema Komunikasi Gen Z Yang Tidak Terelakkan

Dengan profil seperti itu - terutama secara rentang usia ia tergolong generasi Z - segala tindak tanduk Bima di sosial media menjadi beralasan. Generasi Z lahir periode 1995 - 2010. Mereka lahir dan tumbuh besar di era teknologi yang semakin mapan, sehingga mereka juga dikenal sebagai iGeneration/  generasi net/ generasi internet. Sebutan tersebut melekat  karena kesehariannya  yang selalu bersentuhan dengan gadget  dan mendominasi komunikasi dalam media sosial. Sayangnya, relasi mereka yang terjalin kuat dengan dunia maya membuat mereka seringkali terputus konektivitas dengan dunia nyata. 

Hal tersebut semakin memperjelas adanya fenomena komunikasi baru yang terbangun pada Generasi Z yang terlihat  bahwa tidak ada jurang pemisah antara diri mereka di dunia maya dan dunia nyata. Percakapan intens secara online namun pertemuan fisik dengan orang lain berkurang;  dan bahkan jika dalam pertemuan, gadget tetap tidak terlepas dari tangan. 

Saya mengutip penjelasan dr.Miryam A. Sigarlaki, M.Psi, pakar sosial dan psikologi dari Universitas Jenderal Ahmad Yani bahwa  Generasi Z  bersifat skeptis dan sinis, menjunjung tinggi privasi, memiliki kemampuan multi-tasking yang hebat, mengalami ketergantungan terhadap teknologi, serta memiliki pola pikir yang sangat luas dan penuh kewaspadaan. 

"Gadget seharusnya menghantar mereka menjadi generasi yang lebih cerdas dibanding generasi sebelumnya karena informasi tersedia oleh perangkat tersebut. Namun sayangnya, Generasi Z justru mengalami adiksi yang menyebabkannya tidak dapat lepas dari gadget sehingga berdampak pada kurang sosialisasi, menjadi pribadi yang tidak fokus, dan memiliki kompetensi sosial yang sangat kurang," - dr.Miryam A. Sigarlaki, M.Psi

Bima adalah wujud nyata generasi Z yang saat ini dielu-elukan netijen dalam negeri. Pilihannya bersekolah di Luar Negeri dianggap visioner. Konten dan gaya bahasanya yang skeptis dinilai berani. Bahkan, seorang anggota DPR dalam sebuah berita mengatakan kritik Bima lahir dari kepedulian dan rasa cinta  anak muda terhadap daerahnya. Hmm...saya yakin, wakil rakyat ini hanya mengikuti isu dari berita atau paling banter dapat infromasi dari mulut ke mulut dan saat di doorstop media. Saya tidak yakin, beliau sempat mengulik konten-konten yang dipublish Bima. Seandainya ia memeriksa jejak digital Bima, maka barangkali kesimpulannya sama seperti saya, Bima hanya sekedar mengkritik, titik. Bila benar ia peduli dan cita kampung halamannya, pasti ia tidak akan pernah memikirkan permanent resident. Ia akan menimba ilmu di negeri orang, kemudian balik ke Lampung dan membangun kampung halamannya. 

Sebagaimana disampaikan banyak pakar komunikasi dan sosiologi, fenomena komunikasi Gen Z ini tidak mungkin terelakkan, sama seperti kita tidak bisa menolak teknologi dalam keseharian kita dewasa ini. Namun, hal ini pun tak bisa dibiarkan sebab sosial media sangat mempengaruhi bahkan membentuk karakter manusia generasi saat ini. Gaya komunikasi skeptis, vulgar dan minim adab seperti yang 'jual' Bima dan banyak influencer lainnya jelas membawa pengaruh buruk. Apalagi di era FYP yang dapat membawa ketenaran dalam sekejap - secara naluriah dapat membuat seseorang lupa kendali dan kebablasan. 

Sederhananya, Bima Effect telah menjadikan influencer ini ikon anak muda visioner. Jelas segala tindak tanduknya akan menjadi tolok ukur dan ditiru. Bahkan, saat ia melakukan kesalahan pun, akan dianggap wajar, bahwa seperti itulah anak muda seharusnya. Hingga pada akhirnya, beberapa hari yang lalu ia benar-benar terpeleset lidah karena menyebut mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri dengan "Janda".  Seketika ia dihujat, dinasehati dan lagi-lagi muncul pertanyaan publik bagaimana orang tua mendidik Bima. "Kena Lo!" 

Meski demikian, tidak sedikit pula yang membela dengan dalih bahwa adalah fakta putri sang proklamator RI tersebut seorang janda. Jelas, yang membenarkan tindakan ini adalah fans garis keras, atau kelompok masyarakat yang yang akan melanggengkan stereotip negatif tentang janda dan berpotensi melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan.

Bayangkan, bila fenomena ini dibiarkan, dimasa mendatang kita akan melihat kegagalan  terhadap hal-hal yang saat ini sedang diperjuangkan bersama: Revolusi Mental. Karena itu, rasanya kita perlu  mendukung  diberlakukannya  pedoman konten diseluruh platform sosial media, tidak hanya terkait kekerasan dan konten-konten membahayakan, namun juga terhadap konten-konten yang  berpotensi mendiskriminasi dan merendahkan perempuan serta kelompok minoritas misalnya. Bila kita tidak bisa menghindari sikap dan gaya komunikasi generasi yang unik ini, setidaknya kita bisa meminimalisir dampak negatif dari komunikasi tanpa kontrol di era sosial media ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun