Cerita dalam novel ini dibuka dengan Etienne Lantier, seorang pemuda pengangguran. Dia adalah mantan operator mesin kereta api. Dia berjalan tak tentu arah dari Marchiennes ke Montsou. Tak ada tujuan tertentu Etiene ini datang ke Montsou. Pemuda ini hanya ingin mencari pekerjaan untuk mengganjal perutnya yang lapar. Dia berkeliling ke setiap area pertambangan untuk mendapatkan pekerjaan, mulai dari tambang batu bara La Voreux  hingga ke tambang batu bara Montsou. Hingga akhirnya Etienne mendapatkan pekerjaan sebagai juru kemudi gerobak di tambang batu bara Montsou.
      Dari sini dia menyaksikan betapa tragisnya kehidupan para pekerja tambang batu bara di Montsou. Sudah gaji kecil, kerjanya hingga sepuluh jam per hari. Dengan durasi kerja selama itu, alih-alih kehidupan para pekerjanya menjadi sejahtera. Kehidupan mereka malah menderita dengan penuh hutang. Waw sangat jauh dengan kata-kata busuk motivator yang selalu mengatakan bekerja keraslah tanpa henti hingga kau kaya. Keadaan ini semakin parah dengan kenyataan yang mengerikan, para pekerja tambang di sini kakek buyutnya juga merupakan seorang penambang batu bara. Ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya, anak hingga cucu para pekerja tambang batu bara ini sama miskin dan melaratnya dengan bapak dan kakek mereka dulu. Sungguh mengenaskan!
      Hal ini berbanding terbalik dengan para pemegang saham batubara. Salah satunya yakni keluarga Madame Gregoire. Dahulu kala sebelum pertambangan Montsou ini dibuka, Kakek buyut Madame Gregoire, Picardy mengeluarkan tabungan lima puluh ribu franc dan menyerahkan uang sepuluh ribu franc dan menukarnya menjadi satu denier (satu lembar saham). Nilai satu denier yang awalnya setara sepuluh ribu franc berubah menjadi satu juta franc dalam waktu satu abad. Keluarga Madame Gregoire hidup mewah dengan hasil deviden perusahaan. Mme Gregore beserta istri dan anaknya yang masih gadis bernama Cecile bisa makan-makanan mewah apapun tanpa harus berpikir besok harus makan apa dan bisa bangun siang kapanpun dia mau.
      Kehidupan keluarga Mme Gregoire tentu sangat jauh berbeda dengan keluarga Maheu yang kakek buyutnya adalah penambang batubara juga. Bayangkan saja gaji mereka satu keluarga yang terdiri dari Maheu, Levaque, zacharie dan Cathrine jika ditotalkan dalam seminggu hasilnya tak lebih dari sepuluh sou. Tak jarang mereka selalu berhutang untuk membeli roti, daging dan makanan lainnya kepada Maigrat, seorang toko kelontong satu-satunya di Montsou. Keluarga ini telah berhutang sebanyak 60 franc dan tidak mungkin bisa melunasi hutang mereka yang sangat banyak. Tak hanya keluarga Maheu yang berhutang, semua keluarga penambang batubara berhutang ke Maigrat. Banyak diantara mereka bahkan merelakan hutangnya dibayar dengan tubuh istri dan anak mereka.
Lingkungan Tempat Tinggal yang Buruk
      Ini adalah salah satu hal yang saya soroti dalam novel ini. Keadaan Desa Montsou ini sangatlah buruk. Mereka memang diberikan sebuah rumah sewa yang dibayar sepenuhnya oleh perusahaan untuk mereka tinggal. Namun keadaan di sana begitu buruk. Masyarakat di sana sejak kecil terbiasa dengan kehidupan tambang yang begitu keras. Tak ada tempat hiburan gratis yang layak yang tersedia di desa itu. Satu-satunya hiburan yang ada di sana hanyalah seks. Orang-orang tua bekerja keras sepuluh jam di bawah tanah untuk memukul lapisan batubara. Ketika pulang mereka melakukan seks dengan istrinya. Sementara anak-anak? Mereka terbiasa mendengar lelucon seks dari orang dewasa sehingga mereka terbiasa berbicara dan bercanda dengan obrolan jorok.
Hal ini diperparah dengan aktifitas semua remaja di sana ketika sudah akil baligh mereka melakukan aktifitas seks mereka di semak-semak sekitar tambang atau di atap rumah ketika tidak ada orang di rumah. Dari sanalah anak-anak pertama dari setiap keluarga lahir. Eh tunggu dulu. Bukankah kondisi ini tak jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia?
Lingkungan Kerja yang Buruk
      Sebagian besar penduduk di desa adalah penambang batubara sejak kakek buyut mereka kira-kira sejak satu abad yang lalu. Gaji mereka sangat kecil yakni hanya sepuluh sou setiap bulannya. Gaji ini begitu kecil sehingga dibutuhkan empat orang dari setiap keluarga untuk bisa memakan roti, daging dan minum kopi. Tak hanya gaji, mereka yang sejak kecil bekerja di batubara memendam penyakit berbahaya di paru-paru mereka. Tak jarang ketika sudah tua, mereka bisa batuk-batuk dan mengeluarkan air ludah berwarna hitam. Kotoran batubara mereka tabung sejak anak-anak dan menumpuk hingga mereka tua. Keadaan semakin buruk karena ketika kau sudah tua dan tak mampu bekerja kau tidak akan mendapatkan uang pensiun.
      Tak cukup berhenti di sana, setiap penggalian lobang batubara yang menembus jauh ke dalam inti bumi membutuhkan kayu untuk penopang agar lobang tambang tetap bisa dilalui oleh gerobak dan kuda. Setiap kayu yang digunakan pada akhirnya dipotong dari gaji setiap penambang yang bekerja.
      Hingga pada puncaknya keadaan ekonomi dunia yang semakin memburuk menjadikan perusahaan itu mulai merugi. Kerugian ini disebabkan oleh batubara yang tidak terjual karena Kaisar Prancis pada saat itu sibuk berperang. Efek kerugian ini adalah pemotongan gaji yang harus diterima oleh para pekerja.