Dari semuanya kandidat yang sudah muncul di publik sejauh ini, belum ada yang menjadi pasangan calon definitif. Mengingat, rangkaian tahapan penyelenggaran untuk penetapan pasangan calon akan dilakukan pada 22 September 2024 mendatang.
Penetapan pasangan calon, selain calon perseorangan, akan menyangkut banyak faktor yang berujung kepada proses politik yang melibatkan partai-partai yang bersangkutan. Namun, bila melihat kondisi sejauh ini, para kandidat sudah meramu strategi masing-masing untuk mendapatkan elektabilitas yang tinggi.
Kita tahu bahwa elektabilitas (keterpilihan) bisa didapatkan dari akumulasi tingkat popularitas (kedikenalan) dan akseptabilitas (kediterimaan). Dengan kata lain, elektabilitas yang tinggi disokong oleh tingkat popularitas dan akseptabilitas yang tinggi pula. Meski rumus ini tidak baku, pun bisa linear dan non-linear, setidaknya bisa memberikan gambaran bagaimana strategi untuk memenangkan kontestasi.
Meski di ujung proses politik bisa muncul hasil yang mengejutkan, mari kita asumsikan bahwa strategi yang sudah mulai dijalankan saat ini, akan kemudian dibawa juga diproses berikutnya.
Misalnya,
- Bupati petahana dengan slogan kelanjutan, tentu akan merumuskan apa-apa saja yang sudah dilakukan, yang kemudian akan ditingkatkan, sembari memunculkan hal-hal baru yang relevan dengan kelanjutan.
- Pimpinan lembaga legislatif yang mengklaim diri sebagai anak kandung yang tumbuh dan berkembang di Toba, menampilkan bahwa kami paling paham akan kebutuhan daerah ini.
- Slogan-slogan terkait kesejahteraan, perubahan, kebersamaan dan pesan-pesan penting juga muncul oleh beberapa kandidat.
- Diferensiasi dari satu-satunya srikandi yang muncul: slogan-slogan yang disertai program-program yang terukur dan mudah ditagih ke depan. Sepertinya dibawa oleh kebiasaan berkontestasi di wilayah dengan pemilih yang rasional.
Tentu tidak ada benar salah dalam menjalankan strategi tersebut. Pun tidak ada strategi yang pasti menang atau pasti kalah. Semua akan menyesuaikan dengan bagaimana konstituen akan menentukan pilihan.
Sedikit gambaran, untuk Toba sendiri, dari beberapa pilkada, petahana belum pernah menang, meski maju dengan tetap berpasangan. Faktor primordial perlu dipertimbangkan, meski sangat sulit untuk mengukurnya, seperti kekerabatan (marga), asal daerah/kampung, kedekatan, dan sebagainya.
Nah, tantangan utama adalah bagaimana mendidik masyarakat untuk tidak terpikat dengan politik transaksional. Seperti celetukan warga di lapo, seperti Jokowi pun kalau tak memberi uang di Toba, pasti kalah. Tentu hal ini harus menjadi perhatian bersama. Sedikit tips dari prinsip tetangga: saya tidak akan menjual suara saya berapapun harganya.
Akhirnya, kalaulah para pemilih mengambil posisi sebagai pemberi mandat kepada para kandidat, ibarat implementasi dari agency theory, para calon kepala daerah yang terpilih nantinya adalah agen untuk memenuhi ekspektasi para pemilih. Rakyat menitipkan pengelolaan Kabupaten Toba kepada Bupati dan Wakil Bupati terpilih nantinya (to the best interest of constituents). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H