Riuh menjelang pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 sudah semakin santer. Berita utama (headline) di media arus utama (mainstream) sudah dipenuhi dengan topik pesta demokrasi tersebut. Gerak-gerik setiap partai yang berperan sebagai instrumen politik, menjadi sasaran para kuli tinta.
Time flies. Waktu memang akan terasa sangat cepat berlalu. Meski pelaksanaan pemilu masih dilaksanakan 14 Februari 2024 mendatang, kurang lebih delapan bulan lagi, namun persiapannya harus sudah dimulai saat ini. Perlu diingat bahwa, pemilu berbicara suksesi kepemimpinan untuk periode baru.
Berbicara suksesi kepemimpinan, perlu pertimbangan yang sangat matang. Di sini, titik berat pengambilan keputusan terhadap calon presiden (capres) yang akan didaftarkan pada 19 Oktober-25 November 2023 mendatang berada pada setiap ketua umum (ketum) partai politik (parpol), baik yang sudah memiliki wakil di parlemen, maupun yang akan berjuang untuk bisa masuk ke Senayan.
Setiap ketum, meski ditopang oleh banyak pejabat teras, pun melibatkan para kader/simpatisan untuk mengambil keputusan, tidak bisa dipisahkan dari kekhilafan/kesalahan. Manusia selalu memiliki ruang untuk salah memilih atau mengambil keputusan.
Hal ini yang mungkin terjadi ketika menjelang pilpres di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1921. Partai Republik saat itu kewalahan untuk mengusung calon presiden yang potensial. Hingga ketika itu, Partai Republik memutuskan untuk mendukung Warren Harding sebagai calon presiden.
Dalam pilpres AS tersebut, Warren Harding berhasil menang dan ditetapkan menjadi Presiden Ke-29 AS. Warren Harding saat itu digambarkan sebagai seorang pemimpin yang berwibawa dengan perawakan yang tinggi besar, wajah ganteng, dan suara yang menggelegar.
Peran media saat itu sangat sentral, sehingga aura dari Warren Harding terlihat begitu baik dan layak menjadi pemimpin AS. Namun ternyata era kepemimpinannya sebagai presiden AS memilki catatan buruk dalam sejarah AS.
Warren Harding ternyata tidak sebaik pencitraan yang dimunculkan oleh media. Dalam memimpin Warren Harding dianggap tidak tegas. Ia pun ternyata suka mabuk-mabukan dan seorang perayu. Hal itu pun sebenarnya sudah terlihat ketika ia menjadi anggota senat.
Kebijakan-kebijakan yang dia ambil penuh intrik. Banyak skandal yang muncul, adanya perselingkuhan, dan ada banyak masalah administratif selama kepemimpinannya.
Meski tidak lama memerintah, hanya dua tahun karena Warren Harding meninggal dunia akibat terkena stroke. Namun kesan yang muncul akibat kesalahan memilih pemimpin tersebut dikenang sebagai 'Warren Harding Error'. Sebuah ironi karena salah memilih pemimpin yang hanya tampak dari luar saja.
Begitupun dengan pilpres 2024 mendatang, para ketum parpol jangan sampai salah memilih calon pemimpin bangsa apalagi sampai mengulangi Warren Harding Error seperti yang terjadi di AS. Para ketum parpol harus menyadari beban moral mereka sebagai aktor demokrasi yang utama menjelang pilpres 2024 mendatang.
Jangan hanya terpesona dengan tampak luar calon pemimpin yang dibangun citranya oleh media. Perlu pendalaman visi dan misi, juga konsisten dan komitmen terhadap kepentingan bangsa dan negara. Meski masih harus cawe-cawe, bangun silaturahmi, dialog, dan beragam komunikasi politik lainnya, segenap bangsa menaruh harapan bahwa keputusan para ketum parpol akan semakin transparan dan akuntabel.
Pemilu 2024, serentak antara pilpres dan pemilihan legislatif (pileg), akan menjadi wajah demokrasi Indonesia di mata dunia. Apakah kita sudah semakin matang mengelola demokrasi atau malah mundur. Pesta demokrasi 2024, apakah menjadi kegembiraan untuk merayakan demokrasi atau malah sebaliknya.
Pesan kami kepada ketum parpol, kesalahan tingkat nol alias zero error! Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H