Sejak lahir, tentu kita senang sekali bila dimotivasi oleh  orang tua kita. Seperti yang saya rasakan, orang tua saya selalu memberikan dorongan dalam setiap hal yang saya lakukan. "Anakku ini sangat pintar!" Begitu kata-kata motivasi yang sering mereka sampaikan sambil mengelus-elus punggung saya. Tanpa sadar, ternyata itu memberikan afirmasi kepada alam bawah sadar saya memang bisa pintar.
Ya. Saya merasa termotivasi dan melakukan segala sesuatu dengan tujuan untuk membuktikan bahwa apa yang mereka ucapkan terbukti adanya. Dan, meskipun tidak jenius, saya bersyukur bisa mengikuti jenjang pendidikan dari dasar hingga tinggi.
Tetapi sebaliknya, saya pun mengingat bahwa ketika saya melakukan kesalahan, saya menerima konsekuensi yang membuat saya harus jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Hukuman yang paling mendidik memang datang dari orang tua yang tulus untuk memberikan pendidikan yang terbaik dan terutama dalam keluarga.
Setelah beranjak dewasa, kita bisa memahami bagaimana pendidikan di keluarga membentuk kita. Bila orangtua dengan segala ketulusannya sudah memberikan yang terbaik, maka keturunannya pun harus bisa menunjukkan kebaikan. Orangtua pun tidak harus memaksakan kehendaknya, namun bisa memaklumi keinginan anak karena sudah menyiapkan bekal yang baik.
Dengan demikian, kita menjadi bagian sebuah pendidikan yang komprehensif dan ketika keluar rumah, kita bisa menjaga sikap. Menjaga nama baik keluarga.
Tidak ada keluarga yang sempurna! Pun tak ada manusia yang sempurna. Ungkapan yang menunjukkan bahwa setiap keluarga dan individu yang terdapat di dalamnya memiliki ciri khas masing-masing. Tidak dapat dipaksakan, cukup untuk dimengerti.
Lalu apa hubungannya dengan judul di atas? Saya ingin menyoroti bahwa peran orangtua memang sangat besar dalam pertumbuhan anak. Namun, ketika beranjak dewasa, hubungan orangtua dan anak sebaiknya jadi partner untuk sama-sama membangun dan menjaga nama baik keluarga.
Agus Harimurti Yudhoyono (SBY) menjadi viral karena menjadi bagian dari keluarga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sepuluh tahun sudah menjadi bagian kepemimpinan puncak di negeri ini. Sehingga, apa pun yang dikerjakan oleh AHY, mau tidak mau, suka tidak suka, pasti akan dihubungkan dengan pengaruh SBY.
Manuver-manuver yang dilakukan AHY belakangan ini menjadi cerminan pengaruh SBY. Ayah selalu punya harapan dan keinginan bahwa anaknya bisa melanjutkan apa yang ia kerjakan. Bahkan mungkin sejak kecil, ada yang dipersiapkan untuk bisa menjadi fotokopi sang ayah. Ini terlihat dari gaya AHY yang ditata sedemikian menjadi penerus SBY.
Dan menjelang tahun politik ini, AHY semakin dipacu untuk ikut dalam kontestasi politik ini. Apapun tantangannya, SBY sebagai ayah sudah siap menjadi backing. SBY mengambil peran sebagai King Maker yang all out memunculkan pemimpin baru. Alhasil, AHY harus siap sebagai yes man untuk setiap strategi yang sudah dirancang.
Penggemblengan AHY dalam "kawah candradimuka" SBY bermuara pada pertanyaan: "siapa yang berambisi? " atau bahkan "apakah merupakan obsesi?". Bila menilik semua rangkaian loncatan-loncatan yang diperagakan oleh AHY, kita bisa melihat think tank nya adalah SBY. Ambisi maupun obsesi milik AHY atau SBY. Jawaban pertanyaan ini memang sepenuhnya adalah domain SBY dan AHY.
Dalam praktiknya, AHY sebagai seorang anak harus patuh terhadap nasihat orangtuanya.
 "Nak, relakan karir militermu, ayah punya sesuatu yang lebih besar untukmu!"
"Tapi ayah, aku masih di tengah perjalanan menuju puncak?"
"Ikuti kata ayah saja, ini adalah waktu yang tepat, ayah menaruh harapan besar terhadap kamu!"
"Iya, ayah. Saya ikut saran ayah."
Dialog imajiner di atas bisa saja memang terjadi dan bisa saja tidak terjadi. Namun, kita harus pahami perhitungan strategi SBY ketika mengambil keputusan.
Ketika masuk menjadi calon gubernur, AHY muncul di saat-saat terakhir yang memberi kejutan. SBY tetap punya bargaining power yang tinggi ketika berkomunikasi secara politik. Kalah. Ya, secara kontestasi AHY menjadi pecundang, tetapi SBY selalu punya strategi yang terukur.
DKI Jakarta menjadi medan latih yang sangat ideal untuk kemudian beradu di medan tempur secara nasional. Tahun 2019 pun bisa jadi menjadi medan latih kedua dengan sparring partner yang sangat tangguh, incumbent. Tahun 2024 adalah medan tempur yang sesungguhnya.
Lalu kita bisa paham, bahwa kini menjadi ideal untuk melangkah nanti. Entah itu ambisi atau obsesi, yang pasti SBY punya strategi yang jitu, terkontrol dan terukur.
Selamat kepada AHY yang sudah diset panggungnya secara nasional. Kita memang tidak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga yang mana. Namun, kita bisa memilih untuk bisa memberikan yang terbaik demi nama baik keluarga.
Salam kekuatan!
-karena muda adalah pemborosan-:)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H