Penggemblengan AHY dalam "kawah candradimuka" SBY bermuara pada pertanyaan: "siapa yang berambisi? " atau bahkan "apakah merupakan obsesi?". Bila menilik semua rangkaian loncatan-loncatan yang diperagakan oleh AHY, kita bisa melihat think tank nya adalah SBY. Ambisi maupun obsesi milik AHY atau SBY. Jawaban pertanyaan ini memang sepenuhnya adalah domain SBY dan AHY.
Dalam praktiknya, AHY sebagai seorang anak harus patuh terhadap nasihat orangtuanya.
 "Nak, relakan karir militermu, ayah punya sesuatu yang lebih besar untukmu!"
"Tapi ayah, aku masih di tengah perjalanan menuju puncak?"
"Ikuti kata ayah saja, ini adalah waktu yang tepat, ayah menaruh harapan besar terhadap kamu!"
"Iya, ayah. Saya ikut saran ayah."
Dialog imajiner di atas bisa saja memang terjadi dan bisa saja tidak terjadi. Namun, kita harus pahami perhitungan strategi SBY ketika mengambil keputusan.
Ketika masuk menjadi calon gubernur, AHY muncul di saat-saat terakhir yang memberi kejutan. SBY tetap punya bargaining power yang tinggi ketika berkomunikasi secara politik. Kalah. Ya, secara kontestasi AHY menjadi pecundang, tetapi SBY selalu punya strategi yang terukur.
DKI Jakarta menjadi medan latih yang sangat ideal untuk kemudian beradu di medan tempur secara nasional. Tahun 2019 pun bisa jadi menjadi medan latih kedua dengan sparring partner yang sangat tangguh, incumbent. Tahun 2024 adalah medan tempur yang sesungguhnya.
Lalu kita bisa paham, bahwa kini menjadi ideal untuk melangkah nanti. Entah itu ambisi atau obsesi, yang pasti SBY punya strategi yang jitu, terkontrol dan terukur.
Selamat kepada AHY yang sudah diset panggungnya secara nasional. Kita memang tidak bisa memilih untuk terlahir dari keluarga yang mana. Namun, kita bisa memilih untuk bisa memberikan yang terbaik demi nama baik keluarga.