Pagi-pagi sudah ada keramaian di depan Bentara Budaya Jakarta, titik kumpul para Kompasianer yang akan berangkat ke Bogor. Waktu itu Senin (13/11), jam sudah menunjukkan jam 6 pagi, dan sudah ada beberapa yang standby di sana. Sementara, ada juga beberapa yang harus diselingi dengan drama keterlambatan. Tapi tak jadi soal lah, asal tak jadi kebiasaan untuk seterusnya, karena yang penting adalah kebersamaan.
Save Owa Jawa, begitu tulisan yang tercetak di kaos putih yang dibagikan kepada Kompasianer. Semua yang sudah menerima, dengan sigap langsung mengenakannya. Sekali lagi, ini untuk kebersamaan. Dan hasilnya kan lebih enak dilihat pas difoto, jepret!!! (Rombongan TK Cempaka sudah siap! LoL)
Ternyata, kami masih harus melanjutkan perjalanan, namun menggunakan kendaraan khusus. Iya, benar sekali, Jip! Perjalanan dengan jarak sekitar 7 km kami tempuh dengan jip karena aksesnya yang tidak mungkin dilalui oleh kendaraan biasa. Ada lima unit jip yang akan membawa Kompasianer mengarungi medan berat menuju  Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol.
Owa Jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis kera yang tidak memiliki ekor dengan sifat yang sangat khas yaitu monogami.Ciri utama juga terlihat dari warna bulunya yang putih dan bila berjalan menggunakan kedua kakinya, tidak seperti kebanyakan primata yang menggunakan kedua tangannya untuk berjalan. Karena sifat monogami ini, Owa Jawa sangat susah bereproduksi. Pasangannya sangat setia bahkan bila salah satu mati, pasangan lainnya akan turut mati tanpa mau melakukan perkawinan lagi.
Owa Jawa ini banyak diburu untuk diperjualbelikan maupun untuk dipelihara, sehingga jumlah individu yang ada di alam semakin berkurang dan diklasifikasikan hampir punah (endangered species). Di seluruh dunia, menurut data IUCN, diperkirakan kurang dari 4000 individu yang tersisa. Sementara di Indonesia, sudah punah di daerah Jawa Timur, hanya tersisa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Masa hidup Owa Jawa sekitar 30 tahun, dengan masa reproduksi 3- 4 tahun. Tidak mudah untuk melakukan rehabilitasi terhadap primata ini.
Tantangan kepunahan ini menjadi concern bagi Pertamina EP Asset 3 Subang Field yang kemudian berinisiatif untuk bekerja sama dengan Yayasan Owa Jawa (YOJ) sejak tahun 2013. Kerjasama tersebut bertujuan untuk melakukan rehabilitasi dan rehabituasi Owa Jawa melalui penanaman seribu pohon pakan, sosialisasi dan edukasi di lebih dari 100 sekolah dan bagi masyarakat Gunung Puntang, serta sudah berhasil melepasliarkan (rehabituasi) 18 ekor Owa Jawa dan 2 ekor hasil reproduksi di Pusat Rehabilitasi Owa Jawa.
Ketika mengunjungi pusat rehabilitasi Owa Jawa pun tidak boleh dilakukan pengunjung dalam jumlah yang besar. Ini karena sifat Owa Jawa yang sangat sensitif terhadap keadaan sekitar dan untuk mengurangi tingkat stress, sehingga tidak mengganggu proses perkawinan mereka. Ada lima orang Kompasianer yang terpilih untuk mengunjungi secara langsung dan mendokumentasikan beberapa individu Owa Jawa tersebut. Terima kasih untuk kontribusi yang dilakukan oleh Pertamina EP untuk menjaga keberlangsungan hidup Owa Jawa di Indonesia.
Sore hari kami kembali ke Bogor dan menginap di Amaris Hotel Pakuan. Selepas makan malam, para Kompasianer langsung bergegas ke kamar masing-masing untuk istirahat. Dan pagi hari (Selasa, 14/11), semangat Kompasianer sudah muncul kembali. Kaos Save Owa Jawa berwarna hitam kembali dibagikan, demi kebersamaan menuju Caringin. Kali ini, Kompasianer ditantang untuk menaklukkan jeram si Sungai Cisadane.
Kegiatan raftingkali ini menjadi pengalaman pertama bagi beberapa Kompasianer. Bagi saya sendiri, ini adalah pengalaman kedua, sehingga sudah membayangkan tantangan dan perasaan seru selama berada di perahu karet dengan dayung di tangan. Untuk alasan keselamatan, setiap orang harus menggunakan helm dan pelampung, serta mengikuti briefing sebelum turun ke sungai.
"Rafting Seru!!!"teriak pemandu kami. "Luar biasa!!!" seru setiap kami sambil mengangkat dayung masing-masing. Sesekali juga kami akan menyerang perahu lain dengan cipratan-cipratan air menggunakan dayung. Seru dan menyenangkan. Basah-basahan tidak jadi soal, demi kebersamaan. Jeram selanjutnya adalah jeram kerinduan, jeram yang paling sering diingat dan membuat orang kembali ke Cisadane.
Di jeram ketiga, disebut sebagai jeram kuda loncat, karena goncangan perahu ketika melaluinya seperti gerakan mengendarai kuda. Di jeram ini, ada 2 kompasianer yang jatuh ke air sehingga harus ditolong oleh tim rescue, namun tetap bersemangat untuk mengarungi jeram hingga perhentian terakhir.
Di jeram terakhir, berada di kawasan dam, dengan ketinggian 3 m dan sudutnya hampir 90 derajat. Ini tantangan terakhir yang sangat memacu adrenalin, kami harus mendorong badan hingga seperti berbaring di perahu, dan boom! Kami meluncur dengan baik tanpa ada yang terjatuh maupun perahu terbalik.
Setelah kegiatan yang memacu adrenalin tersebut, kami kembali ke Bogor untuk menikmati makan siang dan berbincang-bincang dengan pihak Pertamina EP. Kami disuguhi soto mie yang segar sekali dan menu ikan yang maknyuss!
Untuk terus mengobarkan kebaikan ekonomi melalui produksi energi yang dilakukannya,PT Pertamina EP sebagai bagian dari PT Pertamina (Persero) juga tetap berkomitmen untuk memberikan manfaat sosial bagi masyarakat, terutama yang berada di wilayah kerjanya. Sejumlah program CSR sudah dilakukan, selain pelestarian owa jawa: penanggulangan masalah HIV/AIDS dari hulu ke hilir di wilayah Pantai Utara, peternakan domba terpadu, perikanan budidaya air tawar, budidaya jamur merang, rumah inspirasi (Bank Roentah Inspirasi-Broeri dan Sanggar Inspirasi-Sari), dan produksi kopi Puntang Wangi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H