Mohon tunggu...
Niko Simamora
Niko Simamora Mohon Tunggu... Pengajar - Menulis

@nikomamora~\r\nnikosimamora.wordpress.com~\r\nniko_smora@live.com\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Dari Rehabilitasi Owa Jawa hingga Nikmatnya Kopi Puntang Wangi

21 November 2017   17:02 Diperbarui: 21 November 2017   17:04 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rehabilitasi Owa Jawa (dok: Pertamina EP)

Pagi-pagi sudah ada keramaian di depan Bentara Budaya Jakarta, titik kumpul para Kompasianer yang akan berangkat ke Bogor. Waktu itu Senin (13/11), jam sudah menunjukkan jam 6 pagi, dan sudah ada beberapa yang standby di sana. Sementara, ada juga beberapa yang harus diselingi dengan drama keterlambatan. Tapi tak jadi soal lah, asal tak jadi kebiasaan untuk seterusnya, karena yang penting adalah kebersamaan.

Save Owa Jawa, begitu tulisan yang tercetak di kaos putih yang dibagikan kepada Kompasianer. Semua yang sudah menerima, dengan sigap langsung mengenakannya. Sekali lagi, ini untuk kebersamaan. Dan hasilnya kan lebih enak dilihat pas difoto, jepret!!! (Rombongan TK Cempaka sudah siap! LoL)

Kompasianer sebelum berangkat ke Bogor (dok: Niko Simamora)
Kompasianer sebelum berangkat ke Bogor (dok: Niko Simamora)
Perjalanan lancar menuju Bogor diisi dengan bincang-bincang ringan di dalam bus. Adalah si Yosh Aditya, MC kondang yang terkenal seantero Kompasianer, membuka kesempatan untuk berbagi hadiah untuk mengisi kejenuhan di perjalanan, pun begitu Mbak Asita DK ikut ambil bagian untuk ikut bagi-bagi hadiah buku. Dan tak terasa, kami sudah berada di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango ketika bis parkir di Pusat Rekreasi Lido. Hore!

Ternyata, kami masih harus melanjutkan perjalanan, namun menggunakan kendaraan khusus. Iya, benar sekali, Jip! Perjalanan dengan jarak sekitar 7 km kami tempuh dengan jip karena aksesnya yang tidak mungkin dilalui oleh kendaraan biasa. Ada lima unit jip yang akan membawa Kompasianer mengarungi medan berat menuju  Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol.

Kendaraan khusus menuju Pusat Konservasi Bodogol (dok: Niko Simamora)
Kendaraan khusus menuju Pusat Konservasi Bodogol (dok: Niko Simamora)
Di area konservasi ini terdapat beberapa satwa yang dilindungi, terutama adalah Owa Jawa yang merupakan primata endemik Jawa Barat. Owa Jawa dibiarkan hidup bebas di habitatnya, namun karena alasan untuk pelestarian Owa Jawa yang hampir punah, di lokasi ini juga terdapat pusat rehabilitasi Owa Jawa yang dikelola oleh Javan Gibbon Center (JGC) atau Yayasan Owa Jawa.

Owa Jawa (Hylobates moloch) adalah sejenis kera yang tidak memiliki ekor dengan sifat yang sangat khas yaitu monogami.Ciri utama juga terlihat dari warna bulunya yang putih dan bila berjalan menggunakan kedua kakinya, tidak seperti kebanyakan primata yang menggunakan kedua tangannya untuk berjalan. Karena sifat monogami ini, Owa Jawa sangat susah bereproduksi. Pasangannya sangat setia bahkan bila salah satu mati, pasangan lainnya akan turut mati tanpa mau melakukan perkawinan lagi.

Owa Jawa ini banyak diburu untuk diperjualbelikan maupun untuk dipelihara, sehingga jumlah individu yang ada di alam semakin berkurang dan diklasifikasikan hampir punah (endangered species). Di seluruh dunia, menurut data IUCN, diperkirakan kurang dari 4000 individu yang tersisa. Sementara di Indonesia, sudah punah di daerah Jawa Timur, hanya tersisa di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Masa hidup Owa Jawa sekitar 30 tahun, dengan masa reproduksi 3- 4 tahun. Tidak mudah untuk melakukan rehabilitasi terhadap primata ini.

Tantangan kepunahan ini menjadi concern bagi Pertamina EP Asset 3 Subang Field yang kemudian berinisiatif untuk bekerja sama dengan Yayasan Owa Jawa (YOJ) sejak tahun 2013. Kerjasama tersebut bertujuan untuk melakukan rehabilitasi dan rehabituasi Owa Jawa melalui penanaman seribu pohon pakan, sosialisasi dan edukasi di lebih dari 100 sekolah dan bagi masyarakat Gunung Puntang, serta sudah berhasil melepasliarkan (rehabituasi) 18 ekor Owa Jawa dan 2 ekor hasil reproduksi di Pusat Rehabilitasi Owa Jawa.

Owa Jawa (dok: istimewa)
Owa Jawa (dok: istimewa)
Owa Jawa tersebut akan terus dipantau  keberadaannya di kawasan konservasi. Tugas pengawasan tersebut memerlukan komitmen yang tinggi. Butuh biaya yang besar dan tenaga yang banyak. Hal yang sudah dilakukan berupa pemantauan selama 24 jam, pemantauan konvensional chip GPS dan kerjasama dengan 7 lembaga masyarakat desa hutan untuk menjaga Owa Jawa yang keluar dari kawasan hutan lindung. Untuk ke depan, dibutuhkan Complete & Emergency Health Care untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan yang optimal bagi Owa Jawa.

Ketika mengunjungi pusat rehabilitasi Owa Jawa pun tidak boleh dilakukan pengunjung dalam jumlah yang besar. Ini karena sifat Owa Jawa yang sangat sensitif terhadap keadaan sekitar dan untuk mengurangi tingkat stress, sehingga tidak mengganggu proses perkawinan mereka. Ada lima orang Kompasianer yang terpilih untuk mengunjungi secara langsung dan mendokumentasikan beberapa individu Owa Jawa tersebut. Terima kasih untuk kontribusi yang dilakukan oleh Pertamina EP untuk menjaga keberlangsungan hidup Owa Jawa di Indonesia.

img-20171114-wa0037-5a13f8b85a676f21f20573b2.jpg
img-20171114-wa0037-5a13f8b85a676f21f20573b2.jpg
Rehabilitasi Owa Jawa (dok: Pertamina EP)
Rehabilitasi Owa Jawa (dok: Pertamina EP)
Keseruan visit masih terus berlanjut. Goncangan dalam jip, sesekali terjebak dalam lubang, lalu ban slip sehingga harus maju mundur, bahkan ada yang bawa oleh-oleh berupa cipratan lumpur dan kepala kejedot. Kami pun bergerak menuju Warso Farm untuk menikmati makan siang dan sajian duren yang jadi favorit hampir semua peserta. Ada juga kompasianer yang dengan alasan mencicip, bergerak ke semua meja dan menikmati satu-dua biji duren. Luar biasa! Pihak Pertamina EP  juga sempat memberikan beberapa informasi terkait program CSR lain yang dilakukan di kawasan sekitar daerah operasi Subang.

Sore hari kami kembali ke Bogor dan menginap di Amaris Hotel Pakuan. Selepas makan malam, para Kompasianer langsung bergegas ke kamar masing-masing untuk istirahat. Dan pagi hari (Selasa, 14/11), semangat Kompasianer sudah muncul kembali. Kaos Save Owa Jawa berwarna hitam kembali dibagikan, demi kebersamaan menuju Caringin. Kali ini, Kompasianer ditantang untuk menaklukkan jeram si Sungai Cisadane.

Kegiatan raftingkali ini menjadi pengalaman pertama bagi beberapa Kompasianer. Bagi saya sendiri, ini adalah pengalaman kedua, sehingga sudah membayangkan tantangan dan perasaan seru selama berada di perahu karet dengan dayung di tangan. Untuk alasan keselamatan, setiap orang harus menggunakan helm dan pelampung, serta mengikuti briefing sebelum turun ke sungai.

Arung Jeram di Sungai Cisadane, Bogor (dok:istimewa)
Arung Jeram di Sungai Cisadane, Bogor (dok:istimewa)
Perahu kami di urutan yang kedua ketika memasuki sungai, dan pemandu kami terlebih dahulu memberikan arahan untuk beberapa gerakan yang kami simulasikan sebelum lebih jauh lagi mengarungi Cisadane. Di samping perahu peserta visit, ada satu perahu yang bertindak sebagai rescue dan juga diisi oleh fotografer. Jeram pertama yang kami lalui adalah jeram blender, seperti blender, perahu kami berputar-putar ketika melalui jeram ini.

"Rafting Seru!!!"teriak pemandu kami. "Luar biasa!!!" seru setiap kami sambil mengangkat dayung masing-masing. Sesekali juga kami akan menyerang perahu lain dengan cipratan-cipratan air menggunakan dayung. Seru dan menyenangkan. Basah-basahan tidak jadi soal, demi kebersamaan. Jeram selanjutnya adalah jeram kerinduan, jeram yang paling sering diingat dan membuat orang kembali ke Cisadane.

Di jeram ketiga, disebut sebagai jeram kuda loncat, karena goncangan perahu ketika melaluinya seperti gerakan mengendarai kuda. Di jeram ini, ada 2 kompasianer yang jatuh ke air sehingga harus ditolong oleh tim rescue, namun tetap bersemangat untuk mengarungi jeram hingga perhentian terakhir.

Di jeram terakhir, berada di kawasan dam, dengan ketinggian 3 m dan sudutnya hampir 90 derajat. Ini tantangan terakhir yang sangat memacu adrenalin, kami harus mendorong badan hingga seperti berbaring di perahu, dan boom! Kami meluncur dengan baik tanpa ada yang terjatuh maupun perahu terbalik.

Setelah kegiatan yang memacu adrenalin tersebut, kami kembali ke Bogor untuk menikmati makan siang dan berbincang-bincang dengan pihak Pertamina EP. Kami disuguhi soto mie yang segar sekali dan menu ikan yang maknyuss!

Penjelasan tentang operasional Pertamina EP oleh Wahyu Widiatmoko (dok: Niko Simamora)
Penjelasan tentang operasional Pertamina EP oleh Wahyu Widiatmoko (dok: Niko Simamora)
Paparan dari Staf CSR Pertamina EP, Minanti Putri (dok: Niko Simamora)
Paparan dari Staf CSR Pertamina EP, Minanti Putri (dok: Niko Simamora)
Pihak Pertamina EP Asses 3 Subang Field menyambut Kompasianer dengan baik sekali. Wahyu Widiatmoko, sebagai Petroleum Engineer Pertamina EP Subang Field menjelaskan tentang operasional Pertamina EP Asset 3, yaitu Subang Field, Jatibarang Field,dan Tambun Field. Produk utamanya adalah minyak (1524 BOPD) dan gas (216.2 MMSCFD) yang sudah dialirkan ke rumah-rumah penduduk dan juga jaringan gas untuk perusahaan Pupuk Kujang dan industri besar lain seperti: PT Krakatau Steel. Instalasi jaringan gas tersebut dialiri gas secara kontinyu dan dapat dinikmati 24 jam untuk penduduk di kota.

Untuk terus mengobarkan kebaikan ekonomi melalui produksi energi yang dilakukannya,PT Pertamina EP sebagai bagian dari PT Pertamina (Persero) juga tetap berkomitmen untuk memberikan manfaat sosial bagi masyarakat, terutama yang berada di wilayah kerjanya. Sejumlah program CSR sudah dilakukan, selain pelestarian owa jawa: penanggulangan masalah HIV/AIDS dari hulu ke hilir di wilayah Pantai Utara, peternakan domba terpadu, perikanan budidaya air tawar, budidaya jamur merang, rumah inspirasi (Bank Roentah Inspirasi-Broeri dan Sanggar Inspirasi-Sari), dan produksi kopi Puntang Wangi.

Kopi Puntang Wangi (dok: Niko Simamora)
Kopi Puntang Wangi (dok: Niko Simamora)
Sejak pertama melihat kemasannya termasuk jadi oleh-oleh di dalam goody bag, hati saya menjadi riang gembira meninggalkan Bogor. Pantang Pulang Tanpa Puntang, begitu kata orang-orang. Bisa merasakan nikmatnya kopi Puntang Wangi, ibarat mimpi yang jadi kenyataan. Ini menjadi buah tangan yang akan saya nikmati sendiri, okelah, demi kebersamaan saya rela untuk berbagi cerita kenikmatannya saja. Kopi arabika khas Gunung Puntang ini emang juara, wanginya semerbak, rasanya pun mantap. Terima kasih Pertamina EP, you made my day!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun