Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, tentunya sektor pertambangan dan kegiatannya menjadi yang dominan dalam menggerakkan putaran roda perekonomian Indonesia. Namun, kegiatan pertambangan yang dikelola oleh salah satu lembaga pemerintah nyatanya tak berjalan mulus. Buktinya, masih banyak pertambangan tanpa izin (PETI) yang masih marak di Indonesia. Â
Akan tetapi, memangnya semarak apa kegiatan PETI di Indonesia? Berdasarkan data Kementerian ESDM, per kuartal III/2022, masih ada sekitar 2.700 lokasi tambang ilegal dengan rincian 96 lokasi tambang energi dan 2.645 lokasi pertambangan mineral.
Pertambangan ilegal tak hanya terjadi satu wilayah yang menyimpan sumber daya alam melimpah saja, namun hampir di berbagai wilayah Indonesia. Contohnya, di bulan Agustus 2022 kemarin, Polda Kalimantan Tengah berhasil mengungkap 4 kasus pengoperasian PETI di wilayahnya dan menetapkan 9 orang sebagai tersangka.Â
Pulau Sulawesi juga sama. Bahkan di tahun ini juga, Balai Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum LHK) Wilayah Sulawesi bersama tim gabungan berhasil menangkap pelaku penambangan ilegal di juga dalam kawasan hutan di Mamuju Tengah, Sulawesi Barat dan Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. PETI yang ada di Parigi Moutong merupakan 1 dari 13Â PETI yang dilaporkan terjadi di Sulteng oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) Sulawesi Tengah.
Sedangkan di Pulau Jawa, baru-baru ini Polda Jateng juga mengungkap 23 kasus pertambangan ilegal batu bara dan menetapkan 22 tersangka. Yang fantastis, diketahui kerugian dari pertambangan ilegal di Jateng bisa mencapai Rp7,2 M!
Dari 2.700 PETI yang tersebar di Indonesia, tentunya ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Kementerian ESDM. Namun, daripada mengasihani FAKTA LAPANGAN yang terjadi, seharusnya masyarakat mengajukan pertanyaan; bagaimana bisa Kementerian ESDM kecolongan hingga ribuan tambang ilegal?
Apakah karena Kementerian ESDM hanya mengurus soal perizinan, jadinya lembaga yang dipercaya untuk mengelola kekayaan alam Indonesia tersebut merasa tak perlu melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap kegiatan tambang yang ada di lapangan?
Sudah dapat dipastikan, PETI merugikan tak hanya masyarakat sekitar namun juga negara! PETI tentunya berbeda dengan pertambangan dengan izin resmi. Di PETI, pelaku usaha menambang dan memproduksi olahan sumber daya alam tanpa izin dan pengawasan. Belum lagi jika ternyata mereka tak punya prinsip penambangan yang baik. Bisa-bisa, malah membawa dampak buruk bagi lingkungan dan perekonomian masyarakat sekitar.
Pemicu banyaknya PETI di Indonesia diungkap oleh Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi). Menurut Rizal, PETI bisa tumbuh besar karena lemahnya penegakan hukum disaat harga komoditas tambang meroket. Lemahnya hukum juga dilihat dari meski adanya ancaman pidana maupun perdata, PETI tetap berlangsung tanpa kendala.Â
Bahkan ternyata tak hanya masyarakat dan ahli pertambangan yang menyadari kurangnya pengawasan negara, dari pihak Kementerian ESDM juga mengamini bahwa upaya mereka belum maksimal.Â
Rida Mulyana selaku Sekjen Kementerian ESDM mengatakan pengawasan pengelolaan sumber daya energi dan juga sumber daya mineral yang dilakukan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) belum cukup. ESDM pun juga berencana membentuk unit baru yang berfokus pada penegakan hukum kepada pelaku pertambangan melakukan penyimpangan.
Loh, apakah ini bagian dari pengakuan dosa atau hanya sebatas pembenaran tanpa kebenaran di dalamnya?
Ribuan PETI yang masih berlangsung di Indonesia dari dulu hingga tahun ini, kira-kira akan membutuhkan waktu berapa lama lagi bagi Kementerian ESDM untuk menyelesaikan permasalahan, yang tak hanya merugikan negara dalam soal materi tetapi juga dari segi lingkungan hidup dan kesehatan?
Pasalnya, kalau dibiarkan terus menerus, bukannya negara untung dari kekayaan alam Indonesia yang selanjutnya bakal diolah industri guna mengerek perekonomian, eh malah jadi boncos sana-sini. Kita gak mau hal tersebut terjadi, bukan? Lalu, pandanganmu sendiri bagaimana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H