Mohon tunggu...
Nikolas Mauladitiantoro
Nikolas Mauladitiantoro Mohon Tunggu... Lainnya - hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan

Seorang introvert pecinta kuliner dan terkadang mengamati permasalahan yang ada di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aksi Menadah Cuan Sebelum Start, Benarkah?

1 November 2022   14:03 Diperbarui: 1 November 2022   14:11 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi.Sumber foto:money.kompas.com

Disclaimer on: Kisah ini hanya terjadi di Republik Sulap.

Hilirisasi di sektor tambang dan perindustrian yang menyerapnya kini menjadi kunci dalam mengakselerasi perekonomian Republik Sulap. Bahkan, pemerintah republik tersebut telah membuat kebijakan lainnya yaitu melarang ekspor SDA mentah dan harus diolah dahulu di dalam negeri menjadi barang setengah jadi atau jadi.

Namun, serangkaian aksi salah satu lembaga yang memayungi sektor tersebut menimbulkan beragam opini dan persepsi sehingga membuat publik Republik Sulap bertanya-tanya. Benarkah aksi-aksi yang dilakukan lembaga tersebut menjadi bagian dari "ajang cari cuan" sebelum start?

Kalau kita sedikit flashback ke beberapa tahun belakangan, lembaga tersebut sering kali dikeluhkan oleh para pelaku usaha terkait kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Tak hanya larangan ekspor yang  bisa membuat pendapatan industri semakin sedikit karena harga domestik jomplang dengan harga global, pengusaha juga direpotkan dengan kebijakan-kebijakan terkait pajak.

Ya, lembaga tersebut beberapa kali melakukan pembicaraan kepada publik terkait wacana pengenaan pajak pada produk ini dan itu. Misalnya yang baru-baru ini masih hangat adalah pajak progresif ekspor nikel. Produk-produk turunan nikel yang kebanyakan baru berhasil diproduksi industri sekarang dengan hilirisasi akan dikenakan pajak ekspor progresif.

Menurut Pemangku Lembaga, alasan pemungutan pajak ekspor dikarenakan produk-produk turunan dari olahan nikel tersebut masih memiliki nilai tambah yang kecil sama seperti barang mentahnya. Dia mengatakan bahwa kini produk nikel bisa diproses HPAL untuk menghasilkan HPAL.

Tapi Pemangku Lembaga lupa, industri nikel dalam negeri masih memiliki keterbatasan teknologi dan pengetahuan dalam membuat produk olahan nikel di atas kedua produk tersebut. Akhirnya, meski direncanakan akan ketok palu di tengah September, nyatanya pengenaan pajak ini ditunda. Wajar saja, banyak pelaku industri yang belum setuju dan meminta Pemerintah Republik Sulap untuk meninjau ulang.

Tak hanya nikel, lembaga tersebut dikabarkan sedang membidik sektor timah. Rencananya, di Juni 2022 lalu, tarif royalti timah akan dinaikkan dari flat 3 persen menjadi progresif sesuai dengan harga yang berlaku di pasar global. 

Lagi-lagi sama seperti nikel, kebijakan kenaikan tarif royalti timah ternyata belum ketuk palu. Salah satu pengurus di lembaga tersebut mengatakan bahwa kebijakan tarif royalti timah masih di dalam ruang diskusi. "Hal ini sedang kami diskusikan, kami akumulasikan angka-angkanya sehingga negara akan mendapat penerimaan yang lebih banyak, dan badan usaha mendapat penerimaan yang berkurang, tapi tidak terlalu banyak berkurangnya," tuturnya.

Sektor batu bara juga sama huru haranya dengan sektor mineral. Larangan ekspor (LE) batu bara sempat buat heboh di 1 Januari 2022 lalu, meski akhirnya LE tersebut dicabut. Namun pengusaha batu bara kembali dipusingkan dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) di mana mereka wajib memasok sejumlah batu bara ke dalam negeri dan dihargai lebih rendah dari harga global!

Pemerintah pun berjanji akan membentuk BLU pemungutan iuran batu bara agar harga domestik dan global bisa setara, namun kembali Pemangku Lembaga menjelaskan bahwa pihaknya saat ini masih melakukan "proses harmonisasi" dari pembentukan BLU batu bara ini.

Tak hanya pajak di sektor SDA. Pajak karbon juga sedang diinisiasi lembaga tersebut. Singkatnya, pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan kadar karbonnya. Tentu, penetapan pajak ini akan banyak berimbas ke para pelaku industri yang menggunakan bahan bakar minyak bumi, gas alam dan batu bara. 

Lembaga tersebut beralasan, pajak karbon menjadi bagian dari upaya menekan emisi karbon. Tapi yang jadi masalah, meski industri hijau sedang digalakkan di Republik Sulap, realisasi industri yang telah memperoleh sertifikasi industri hijau hingga tahun 2021 baru mencapai 0,15 persen dari 29.000 jumlah industri skala menengah dan besar yang ada.

Salah satu aksi yang dinilai masyarakat menjadi "ajang mencari celah cuan" lainnya adalah pengadaan kompor listrik untuk masyarakat, yang akhirnya dibatalkan programnya. Pasalnya, penggunaan kompor listrik berdampak pada tarif listrik rumah tangga yang akan naik. Dan, ini akan menguntungkan Lembaga tersebut bersama salah satu instansi penyelenggara karena baru saja menentukan tarif EBT terbaru lewat Peraturan tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Dari ragam kebijakan yang dikeluarkan lembaga tersebut, semuanya sama-sama belum terlaksana alias ditunda hingga dibatalkan. Lantas, mengapa bisa seperti itu? Adakah something missing di balik itu semua? 

Diduga, hal ini bisa saja terjadi karena belum adanya road map yang jelas dan lebih mementingkan hitung-menghitung dari kebijakan pemungutan pajak! Padahal jika ada road map yang jelas dan transparan, masyarakat Republik Sulap bisa memberikan saran apa-apa saja yang perlu dipungut pajak dan apa yang bisa diperbaiki. 

Ujungnya, setiap ditanya ketika mengumumkan kebijakan pemungutan pajak, pihak lembaga mengatakan kebijakan ini masih dibicarakan lebih lanjut. Bukankah seharusnya sebelum disosialisasikan kepada masyarakat sudah harus dalam kondisi siap A - Z? Tidak berubah pikiran di tengah jalan atau terkesan plin-plan.

Wajar jika masyarakat berpikir bahwa ada niat mencari cuan dari aksi-aksi yang disebut sebagai upaya mengakselerasi perekonomian. Nyatanya, rencana-rencana itu keburu bubar jalan dan gagal.

Lalu, bagaimana dengan capaian dan target-target kedepannya; target produk hilirisasi, target persebaran EBT hingga target industri hijau, jika para pelaku usaha yang sedang fokus ke arah sana malah dipusingkan dengan rentetan kebijakan pemungutan pajak ini dan itu? Apakah lembaga tersebut dapat membawa sektor SDA di Republik Sulap ke arah lebih baik atau malah sebaliknya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun