Disclaimer on: Kisah ini hanya terjadi di Republik Sulap.
Hilirisasi di sektor tambang dan perindustrian yang menyerapnya kini menjadi kunci dalam mengakselerasi perekonomian Republik Sulap. Bahkan, pemerintah republik tersebut telah membuat kebijakan lainnya yaitu melarang ekspor SDA mentah dan harus diolah dahulu di dalam negeri menjadi barang setengah jadi atau jadi.
Namun, serangkaian aksi salah satu lembaga yang memayungi sektor tersebut menimbulkan beragam opini dan persepsi sehingga membuat publik Republik Sulap bertanya-tanya. Benarkah aksi-aksi yang dilakukan lembaga tersebut menjadi bagian dari "ajang cari cuan" sebelum start?
Kalau kita sedikit flashback ke beberapa tahun belakangan, lembaga tersebut sering kali dikeluhkan oleh para pelaku usaha terkait kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Tak hanya larangan ekspor yang  bisa membuat pendapatan industri semakin sedikit karena harga domestik jomplang dengan harga global, pengusaha juga direpotkan dengan kebijakan-kebijakan terkait pajak.
Ya, lembaga tersebut beberapa kali melakukan pembicaraan kepada publik terkait wacana pengenaan pajak pada produk ini dan itu. Misalnya yang baru-baru ini masih hangat adalah pajak progresif ekspor nikel. Produk-produk turunan nikel yang kebanyakan baru berhasil diproduksi industri sekarang dengan hilirisasi akan dikenakan pajak ekspor progresif.
Menurut Pemangku Lembaga, alasan pemungutan pajak ekspor dikarenakan produk-produk turunan dari olahan nikel tersebut masih memiliki nilai tambah yang kecil sama seperti barang mentahnya. Dia mengatakan bahwa kini produk nikel bisa diproses HPAL untuk menghasilkan HPAL.
Tapi Pemangku Lembaga lupa, industri nikel dalam negeri masih memiliki keterbatasan teknologi dan pengetahuan dalam membuat produk olahan nikel di atas kedua produk tersebut. Akhirnya, meski direncanakan akan ketok palu di tengah September, nyatanya pengenaan pajak ini ditunda. Wajar saja, banyak pelaku industri yang belum setuju dan meminta Pemerintah Republik Sulap untuk meninjau ulang.
Tak hanya nikel, lembaga tersebut dikabarkan sedang membidik sektor timah. Rencananya, di Juni 2022 lalu, tarif royalti timah akan dinaikkan dari flat 3 persen menjadi progresif sesuai dengan harga yang berlaku di pasar global.Â
Lagi-lagi sama seperti nikel, kebijakan kenaikan tarif royalti timah ternyata belum ketuk palu. Salah satu pengurus di lembaga tersebut mengatakan bahwa kebijakan tarif royalti timah masih di dalam ruang diskusi. "Hal ini sedang kami diskusikan, kami akumulasikan angka-angkanya sehingga negara akan mendapat penerimaan yang lebih banyak, dan badan usaha mendapat penerimaan yang berkurang, tapi tidak terlalu banyak berkurangnya," tuturnya.
Sektor batu bara juga sama huru haranya dengan sektor mineral. Larangan ekspor (LE) batu bara sempat buat heboh di 1 Januari 2022 lalu, meski akhirnya LE tersebut dicabut. Namun pengusaha batu bara kembali dipusingkan dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) di mana mereka wajib memasok sejumlah batu bara ke dalam negeri dan dihargai lebih rendah dari harga global!