Aspek insentif dan pendanaan yang belum berjalan efektif juga perlu diperhitungkan, padahal hal ini berperan penting untuk meningkatkan investasi di bidang EBT. Instrumen pendanaan yang ada saat ini dinilai juga belum cukup efektif mengatasi kesulitan investor untuk mengakses pendanaan mengembangkan EBT. Komitmen pemerintah dalam memberikan dukungan anggaran atau non-anggaran untuk riset serta pengembangan EBT masih perlu ditingkatkan pula.
Diperlukan koordinasi secara proaktif antar lintas sektoral, baik pemerintah pusat, daerah, dan lembaga terkait payung hukum dan kebijakan kuat mengenai EBT. Selain itu, mengkaji dan mengkoordinasikan data EBT oleh stakeholder untuk menghasilkan data yang akurat dan andal, menyajikan data potensi awal dengan limitasinya secara komprehensif kepada investor melalui platform online perlu dilakukan oleh pemerintah.Â
'Pekerjaan rumah' ESDM tak berhenti di situ saja, urgensi skema insentif baru untuk mendorong investasi dan pengembangan infrastruktur EBT, misal subsidi bunga, pembebasan PPN jasa konstruksi hingga kemudahan perizinan. Butuh pula pengawasan dan monitoring serta evaluasi pada berbagai program EBT agar pelaksanaannya efektif dan hasil monev (monitoring & evaluasi) bisa dijadikan perbaikan berkelanjutan.Â
Indonesia memang sudah paham bahwa EBT berpotensi, namun sayangnya 'tugas rumah' di depan mata, sedangkan target 2025 tinggal sebentar lagi. Ke manakah peran pemerintah khususnya ESDM dalam menagani tugas rumah ini? Ke manakah ESDM selaku 'orangtua' bagi EBT yang merupakan 'anaknya'? Jangan sampai, EBT dianaktirikan, diambil secara paksa hanya untuk embel-embel energi keberlanjutan, namun kejelasan pengembangannya terabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H