Mohon tunggu...
Nikolas Mauladitiantoro
Nikolas Mauladitiantoro Mohon Tunggu... Lainnya - hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan

Seorang introvert pecinta kuliner dan terkadang mengamati permasalahan yang ada di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Ekspor Nikel akan Diterapkan, Picu Kerugian bagi Pebisnis?

23 Agustus 2022   16:51 Diperbarui: 23 Agustus 2022   17:11 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi kemarahan. Sumber: unsplash.com

Pada awal Agustus 2022, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, memaparkan jika pajak ekspor nikel masih menjadi wacana dan perlu didiskusikan lebih lanjut. Sebab, hal ini membutuhkan diskusi teknik dan formula secara mendetail serta momen dalam penerapannya, dikutip Liputan6.com, Selasa (2/8). 

Namun, seorang pejabat senior pemerintah mengatakan pada 1 Agustus, bahwa pemerintah berencana untuk mengeluarkan kebijakan pajak ekspor nikel pada kuartal ketiga tahun 2022. 

Dalam penerapan pajak ekspor nikel, menurut Wakil Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Septian Hario Seto, dikutip dari Katadata pada Sabtu (20/8), Indonesia hanya mengenakan pajak NPI dan Feronikel berdasarkan harga nikel dan batu bara yang digunakan dalam produksi sebagai sumber energi. 

Namun, berdasarkan beberapa sumber pemberitaan, pemerintah telah merilis PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Di dalam beleid yang diterbitkan 15 Agustus 2022 ini, pajak ekspor diberlakukan untuk semua jenis komoditas nikel kandungan nikel rendah selain Nickel Pig Iron (NPI), Feronikel (FeNi).

Pada lampiran PP RI No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada halaman 18, semua komoditas pemurnian seperti Nickel Matte, Ferro Nickel (FeNi), Nickel Oksida, Nickel Hidroksida,  Nickel MHP, Nickel HNC, Nickel Sulfida, Kobalt Oksida, Kobalt Hidroksida, Kobalt Sulfidal, Krom Oksida, Logam Krom, Mangan Oksida, Magnesium Oksida, Magnesium Sulfat pada akhirnya juga dikenakan pajak ekspor!

For your information, jumlah pajaknya pun tidak main-main, semua komoditas hasil pengolahan nikel tersebut dimeteraikan pajak ekspor sebesar 5% per ton dari harganya, tapi ingat, harga nikel di pasar internasional tidak pasif dan terus bergejolak seiring dengan perkembangan situasi global.

Angka 5% ini begitu tinggi, apalagi pajak ekspor yang diterapkan bersifat progresif. Sudah menjadi rahasia umum, industri pertambangan dapat menghasilkan berpuluh-puluh bahkan jutaan ton. Jika dalam setiap hari volume produksinya tidak berkepastian, dari point of view pebisnis, tentu penghitungan pajak tersebut akan membebani proses produksi.

Jika boleh bergeser pada sudut pandang masyarakat dan pebisnis, rencana pemerintah mengenai kebijakan pajak ekspor nikel ini cukup menyulitkan langkah pebisnis. Apalagi jika pajak yang diterapkan bersifat progresif! Walau kebijakan ini diyakini akan menciptakan keadilan usaha di industri pertambangan dalam negeri, tapi perlu diingat bahwa dalam berbisnis ada beberapa pihak yang terlibat yakni negara, investor, dan pengusaha. 

Rizal Kasli, Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, menerangkan jika pajak ekspor progresif diterapkan maka akan menimbulkan risiko. Pemerintah harus memikirkan dan mendiskusikan dengan matang dan bijak.

Sebab, industri mineral khususnya bidang yang bergerak pemurnian mineral nikel serta turunannya, memiliki karakteristik yang unik. Mulai dari teknologi canggih yang memiliki nilai investasi cukup mahal, risiko investasi yang cukup besar, dan harga nikel di pasar global juga memiliki tingkat pergolakan yang cukup tinggi.

Perlu diingat, bahwa jika harga nikel nantinya jatuh, maka risiko investasinya cukup tinggi. Lalu siapa yang akan terbebani jika kondisi tersebut terjadi? Ya, perusahaan tersebut yang akan menanggung semua risiko tanpa embel-embel pertolongan dari pemerintah. Menurutnya, pemerintah tidak bisa serta merta mengenakan pajak ekspor terhadap produk nikel yang bahannya berasal dari nikel tipe saprolite, jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga ekonomis, imbuhnya. 

Sebenarnya pajak ekspor nikel sah saja jika diterapkan, namun jangan sampai ketika harga nikel melorot dan jatuh, pemerintah kemudian seperti 'pura-pura' tak mendengar jeritan pebisnis. Alih-alih memberikan bantuan, pemerintah malah hadir bak juruselamat ketika harga komoditas sedang tinggi-tingginya yakni pemberian pajak ekspor. 

Jika diibaratkan seperti tulang manusia, investor dan pebisnis pertambangan adalah tulang punggungnya. Mereka tak lelah untuk membantu Indonesia sebagai tulang keseluruhan tubuh untuk terus bangkit dan berdiri tegap. Jika tulang punggungnya saja sudah tidak dihiraukan, bagaimana mau berjalan dengan baik?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun