Kekayaan sumber daya alam Indonesia sudah terkenal di dunia, hingga menjadi incaran negara-negara global. Namun, sumber daya alam tersebut haruslah dimanfaatkan terlebih dahulu untuk hajat hidup orang banyak di Tanah Air.Â
Dan pemanfaatan sumber daya alam untuk kepentingan bersama yang dapat menopang perekonomian serta telah diatur lewat undang-undang, dan ada pula kementerian yang menaunginya yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral  (ESDM), tepatnya di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara.
Peran penting yang diemban oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara yang paling utama adalah mengelola sumber daya alam pertambangan dan menjadi regulator untuk mengarahkan pemanfaatan kekayaan dan sumber daya alam di Indonesia.
Termasuk membuat kebijakan-kebijakan untuk menjaga kepastian pemanfaatan batu bara, menjaga ketahanan energi domestik yang bisa dijadikan pembangkit listrik dan peningkatan nilai tambah di mineral seperti nikel yang bisa diubah menjadi baterai kendaraan listrik.
Program pemberian nilai tambah pada mineral ini telah diatur oleh pemerintah dalam UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Value added di produk mineral, yang bisa dilakukan dengan hilirisasi industri, dimaksudkan demi memberikan manfaat maksimal pada produk nasional yang kuat dan memiliki daya saing.
Sektor pertambangan disebut oleh Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin telah berkontribusi bagi pembangunan nasional di masa Covid-19. Daerah yang mempunyai kegiatan ekonomi berbasis industri pertambangan terlihat tetap terjaga pertumbuhannya
Namun tak selamanya jalan sektor industri pertambangan itu mulus, bahkan hal sulit ini juga diakui oleh Jenderal Minerba Ridwan Djamaluddin. Hambatan-hambatan birokrasi dalam Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara menurutnya adalah hal-hal yang harus diperbaiki.
Ya, meski menjadi tumpuan, bukan hal rahasia bahwa Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara kadang menjadi penghambat terutama bagi para pelaku usaha pertambangan. Hambatan ini parahnya datang dari jajaran di dalamnya yang bergaya bak mafia dan malah tidak pernah patuh pada aturan yang ditentukannya sendiri.
Sudah banyak contoh kasus di mana pelaku usaha pertambangan saling menggugat satu sama lain karena tumpang tindih lahan. Tidak adanya sinkronisasi dalam hal perizinan usaha menjadikan adanya kasus tumpang tindih lahan yang bisa berefek pada mampetnya pemanfaatan sumber daya alam mineral yang maksimal.
Seperti yang terjadi di Kalimantan Timur belum lama ini. Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim digugat oleh tiga perusahaan pertambangan di PN Samarinda. Alasan ketiga perusahan emas hitam ini menggugat 3 pegawai Dinas ESDM Kaltim ialah terkait izin usaha yang diperoleh dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kaltim dan perihal perusahaan mereka tak kunjung disahkan izin usaha dan tak didaftrakan ke database IUP operasi produksi batu bara di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM.