Mohon tunggu...
Nikolas Mauladitiantoro
Nikolas Mauladitiantoro Mohon Tunggu... Lainnya - hanya manusia biasa yang tak luput dari kesalahan

Seorang introvert pecinta kuliner dan terkadang mengamati permasalahan yang ada di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ini Rincian Laporan 4 ORMAS ke BPK Soal Bisnis Tes PCR

10 November 2021   15:26 Diperbarui: 10 November 2021   15:45 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saat 4 ormas lapor BPK soal bisnis PCR. Sumber foto: twitter.com/motizenchannel

Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) yang terdiri dari LBH Kesehatan, Indonesia Audit Watch (IAW), PETISI '28, dan Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta telah menyerahkan dokumen kepada pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berisi desakan untuk melakukan audit investigasi atas kasus bisnis PCR pada Selasa (9/11/2021).

Dokumen tersebut ditujukan oleh ORMAS kepada Ketua, Wakil Ketua dan Para BPK RI untuk mengaudit uang publik akibat terbit dan terealisasinya peraturan wajib tes PCR yang berimplikasi pada belanja masyarakat sekitar Rp23 triliun. 

Pihak ORMAS menyatakan dalam surat yang ditujukan kepada BPK bahwa timbulnya beban belanja negara tersebut tidaklah adil disaat perekonomian melemah serta angka pengangguran dan kemiskinan meningkat.

Temuan publik berupa dugaan terjadinya afiliasi beberapa individu penyelenggara negara, yakni pembantu Presiden RI yang ikut menciptakan aturan wajib tes PCR dan diduga terlibat dalam putaran bisnis impor sampai tata kelola test PCR menjadi rujukan bagi LBH kepada BPK. 

Maka pihaknya memohon kepada BPK RI untuk berkenan menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai auditor keuangan negara guna mengaudit hal yang telah disampaikan.

Dalam lapornam 4 ORMAS tersebut kemudian menyinggung tentang Surat Keputusan Presiden Nomor 7 tahun 2020, tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, yang menekankan penerapan protokol kesehatan sesuai rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Semua instrumen pelaksana tersebut juga disebutkan harus mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Presiden.

Tes PCR hanya tepat bila dilakukan secara ketat terhadap pelaku perjalanan lintas negara yang bertujuan untuk mencegah strain atau jenis virus baru masuk ke Indonesia yang berasal dari luar negeri.

Perspektif epidemiologi dan ketepatan tes PCR sebenarnya sudah menjadi pengetahuan publik, namun para pembantu Presiden yang menanganinya tetap saja menerapkan aturan wajib tes PCR terhadap pengguna moda transportasi udara dan bagi pasien yang akan dilakukan tindakan medik di sarana pelayanan kesehatan. 

Berdasarkan penilaian yang mereka utarakan, perubahan-perubahan harga tes PCR dari kisaran Rp2.500.000 hingga menjadi Rp275.000 itu bisa menjadi pintu bagi BPK untuk mencocokkan terhadap pemeriksaan penggunaan dana Covid-19.

Hal tersebut menjadi pertanyaan besar bagi pihak LBH dan yang lainnya, karena harga yang di luar kelaziman itu bisa dengan mudah diturunkan. Padahal komponen pemeriksaan dalam penetapan batas tertinggi tarif PCR adalah bahan habis pakai berupa reagen hingga alat pelindung diri (APD) petugas laboratorium, komponen administrasi, serta biaya lainnya seperti biaya operasional mesin PCR dan listrik.

Pihaknya pun berharap, permohonan tersebut dapat disempurnakan oleh BPK karena kemampuan serta kewenangannya dijamin oleh Undang-undang.

4 ORMAS tersebut JUGA menyatakan bahwa jika ada persekongkolan antara BPK sebagai supreme audit dengan kartel polymerase chain reaction (PCR), maka pihaknya akan meminta bantuan kepada PWC dan yang lainnya sebagai auditor internasional.

 Mengapa Ramai-ramai Lapor BPK?

Seperti yang diketahui, sebelumnya pembantu Presiden RI ada yang diduga terlibat dalam bisnis PCR. Kasus tersebut dilaporkan oleh Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)  ke KPK dengan dugaan bisnis tes PCR. Politisi Ferry Joko Juliantono juga melaporkan kasus ini ke BPK dan DPR.

Lebih lanjut, Haris Rusly Moti mewakili PETISI 28 mengungkapkan, kala dirinya memberitahukan ke khalayak tentang rencananya melaporkan kasus bisnis tes PCR ke KPK, bahwa laporan ini dibuat mengingat hutang negara yang sudah tinggi, namun kenyataanya beberapa pejabat negara manfaatkan momen ini untuk menyelewengkan kekuasaan dan memperkaya diri sendiri.

Sekadar informasi, menurut putusan Mahkamah Konstitusi yang terbaru di UU No.2 Tahun 2020 tentang Perppu Covid-19 bahwa negara termasuk pejabatnya dapat dituntut hukum bila menyelewengkan dana penanganan Covid-19. Demikian pejabat-pejabat ini bisa diperiksa oleh BPK ataupun institusi penegak hukum lain seperti KPK dan POLRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun