“Sisco! Apa kabar?” Budi tiba-tiba memanggilku. Lucu memang jika ia memanggilku seperti itu. Soalnya biasanya ia memanggilku dengan nama hewan yang berkeliaran di perumahan.
“Baik lah, seperti biasa. Kenapa? Tumben kamu seperti itu, biasanya segala anggota kebun binatang keluar,” kataku mengejek.
“Ya, begitulah. Akan tetapi, ada satu hal yang ingin saya katakan.”
“Apa itu? Tolong jangan membuatku takut.”
“Begini, ayahku dipindah tugaskan dari perusahaannya. Aku akan pindah ke Kalimantan mulai minggu depan. Jadi maafkan aku,” katanya dengan nada yang sedikit ditahan.
Aku langsung terdiam, tidak dapat berkata apapun. Berkas-berkas apa yang akan aku katakana di otakku serasa langsung terbakar habis. Semua hilang, aku tidak dapat membuka mulutku. Masalahnya, aku dapat dengan tenang bersekolah di sini oleh karena dia. Aku merasa diterima hanya oleh karena dia. Aku dapat menangkap pelajaran kembali hanya oleh karena dia. Aku tidak dapat berpikir bagaimana aku akan bertahan kembali tanpa saudara ku disini.
“Tapi tidak apa-apa. Kamu pasti bisa mulai masuk ke sekolah ini lagi tanpa perlu diriku lagi. Masih banyak teman-teman yang lain, kan?” Katanya mencoba menyemangatiku.
“Bahkan di waktu seperti ini, kamu masih bisa menyemangatiku,” kataku.
“Itulah gunanya…”
“Saudara,” aku memotong pembicaraan.
“Tetap semangat dan jangan sampai mati di sana!” tambahku.