Kelapa Bagi Masyarakat Talaud
'Daerah Nyiur Melambai'…... Julukan ini merupakan sebutan bagi Provinsi Sulawesi Utara.
Seperti yang kita ketahui, pohon kelapa merupakan pohon yang dapat dimanfaatkan seluruh bagian tanamannya, mulai dari akar, batang, daun, dan buahnya. Kelapa merupakan komoditas yang banyak dibudidayakan di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara.
Mayoritas masyarakat menggantungkan kehidupannya kepada kelapa. Di daerah Talaud petani kelapa dikenal dengan istilah local ‘Kopra’. Sebenarnya, selain menjadi petani kelapa, pekerjaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat setempat adalah menjadi seorang nelayan.
Selain dijual, bagian dari pohon kelapa ini juga biasa dimanfaatkan oleh warga setempat untuk aktivitas sehari-hari, seperti bagian janur pohon kelapa yang digunakan untuk menangkap ikan, ini dikenal dengan sebutan ‘Manee’ oleh masyarakat setempat.
Selain itu bagian sabut kelapa yang biasa menjadi limbah, sekarang sudah mulai diolah oleh masyarakat lokal menjadi bahan pembakaran pengasapan ikan maupun menjadi cocopid kelapa.
Dalam melakukan budidaya kelapa, terdapat aturan lokal yang harus ditaati oleh masyarakat setempat, aturan ini dikenal dengan nama “Eha’a”.
Kearifan Lokal Budaya Eha’a
Budaya Eha’a adalah suatu tradisi yang mengelola dan mengendalikan sumber daya alam agar tidak dieksploitasi dan tidak rusak, sehingga bisa dimanfaatkan oleh anak cucu mereka di kemudian hari. Budaya ini mulai dikenal sejak tahun 1961, dan masih eksis sampai saat ini.
Budaya ini harus ditaati oleh masyarakat setempat, dan jika ada masyarakat yang melanggar, maka akan dikenakan sanksi dan juga dipercaya kesialan akan menimpa lahan mayarakat tersebut. Adapun kesialan yang dapat terjadi antara lain hasil panen buah kelapa berkurang, tanaman kelapa lebih cepat mati, dll.
Sebelum budaya Eha’a ini dikenal, masyarakat memanen kelapa secara individu/ perseorangan, dan dikenal dengan sebutan ‘Manarada’. Hal ini didukung juga oleh jumlah warga desa Talaud yang bisa dibilang sangat sedikit jaman dahulu.
Namun, setelah bertambahnya jumlah penduduk dan dikenalnya Budaya Eha’a ini, proses pemanenan buah kelapa jadi dilakukan secara bersama-sama, dan buah kelapa yang dipanen dalam sekali panen ini jumlahnya sangat banyak. Proses memanen buah kelapa dalam jumlah yang banyak secara bersama-sama ini, oleh masyarakat setempat dikenal dengan istilah ‘Mako’e’.
Pada saat ingin memulai Budaya Eha’a, para tetua adat dan Ratumbanua (Ketua adat) akan berkumpul di kebun kelapa mayarakat. Biasanya para tetua adat akan mengenakan jubah berwarna ungu, dan hanya Ketua adat saja yang mengenakan jubah berwarna kuning.
Di lahan mereka akan berdiri di sekitar patok yang terbuat dari pohon kelapa yang di bagian ujungnya dilingkari kain berwarna merah.
Nahh…perlu diketahui lahan yang sudah diberi patok tidak boleh dilintasi dan buahnya tidak boleh diambi, biasanya Budaya Eha’a dilakukan selama 3 bulan.
Lalu, perwakilan dari tetua adat akan membawa patok tersebut ke tempat tetua adat, Ratumbanua, dan masyarakat berkumpul. Setelah kedua patok sampai, para tetua adat akan berkumpul dan membacakan doa dalam bahasa lokal. Dan setelah itu barulah masyarakat bisa mulai melakukan pekerjaannya, seperti memanen buah kelapa, membersihkannya, dan mengolahnya.
Aspek social budaya (People)
Dilihat dari aspek social budayanya, Budaya Eha’a dapat diterima oleh masyarakat setempat, dibuktikan dengan budaya ini tetap diturunkan dan tidak luntur. Budaya Eha’a ini akan dilakukan secara bersama-sama antar masyarakat, dimana budaya ini dapat mempererat hubungan social antar masyarakat setempat, terutama antar petani kelapa.
Makna mendasar dari budaya ini adalah keikhlasan dan ketulusan. Dimana setiap masyarakat akan saling bahu membahu atau melakukannya secara gotong-royong, mulai dari saat panen, pembersihan buah, sampai pengolahan buah kelapa. Dan secara tidak langsung sistem gotong-royong ini akan meringankan pekerjaan petani.
Namun seiring berjalannya waktu, makna dari Budaya Eha’a ini mulai bergeser, karena masyarakat terutama petani kelapa dihempit dengan kebutuhan akan uang.
Aspek Ekonomi (Profit)
Jika melihat aspek ekonomi, budaya Eha’a ini percaya tidak percaya dapat meningkatkan ekonomi masyarakat setempat, karena dengan melakukan Eha’a ini dipercaya hasil produksinya akan lebih banyak, dan ketika dijual pendapatan petani akan meningkat.
Dan juga saat panen, para petani kelapa tidak perlu menyewa orang untuk memanen, karena pada budaya Eha’a ini para petani kelapa akan saling tolong menolong untuk memanen kelapa. Selain dapat mengurangi kost pengeluaran petani, hal ini juga dapat mempertingan pekerjaan petani.
Aspek Lingkungan (Planet)
Melihat dari aspek lingkungan, dalam budaya Eha’a ini sangat mengedepankan Kesehatan lingkungan, karena tujuan dari budaya ini sendiri adalah supaya sumber daya alam yang ada tidak dimanfaatkan secara berlebihan oleh masyarakat, dan supaya keturunannya tetap dapat memanfaatkan hasil tanah kelahirannya.
Apalagi ketika Budaya Eha'a ini sedang dilaksanakan di suatu lahan, maka siapapun tidak ada yang boleh beraktivitas disana sampai proses Eha'a selesai. Hal ini juga akan dapat memperkecil peluang manusia dalam merusak alam.
Eha’a dan Pertanian Berkelanjutan
Pertanian berkelanjutan merupakan sistem usaha tani yang diusahakan dengan pengurangan imput bahan-bahan kimia, melakukan praktek pertanian konservasi, pengendalian hama-penyakit dan gulma secara bijak dengan mengutamakan penggunaan agen hayati dan pestisida nabati, melakukan pemeliharaan kesuburan tanah dengan melakukan penambahan bahan organik tanah sehingga sistem usaha ini berkelanjutan baik secara fisik/lingkungan, biologi, dan social sekonomi.
Jika melihat pernyataan pertanian berkelanjutan diatas, budaya Eha’a ini dapat mendukung sistem pertanian berkelanjutan, karena tujuan utama dari Budaya Eha’a ini adalah supaya alam tidak dieksploitasi oleh manusia, dan dapat terus dimanfaatkan sampai ke anak cucu mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H