Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Politik adalah "Perfectly Imperfect"

23 Agustus 2024   11:34 Diperbarui: 23 Agustus 2024   12:19 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir, media arus utama termasuk juga media sosial menampilkan unggahan poster "Peringatan Darurat" berupa gambar Garuda dengan latar belakang biru. Diketahui bahwa gerakan ini adalah bentuk dari perlawanan publik terhadap keputusan Badab Legislatif DPR.

Apa yang sesungguhnya terjadi?

Berita ini muncul setelah Baleg DPR (Badan Legislasi DPR) mengesahkan RUU Pilkada (Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah) yang dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. RUU Pilkada tersebut dinilai tidak sepenuhnya mengakomodasi putusan MK, terutama soal batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur di Pasal 7. Baleg DPR memilih mengadopsi putusan Mahkamah Agung (MA) yang berbeda dengan putusan MK, dimana MK adalah badan yang dianggap lebih tinggi dibanding MA.

Perubahan syarat ambang batas pencalonan Pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD, sementara partai yang mempunyai kursi di DPRD tetap harus memenuhi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara pemilu sebelumnya. Kondisi ini membuat publik merasa tidak puas dan mengunggah poster "Peringatan Darurat". Sumber

Selain itu, secara etika politik dan falsafah kebangsaan, ditengarai bahwa DPR hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri demi syahwat kekuasaan kelompok. Tidak sedikit yang menyangkut-pautkan Presiden Jokowi dan kekuasaannya terlibat dalam skenario ini. Jokowi dan kroni-kroninya dituduh mengatur sistem politik Indonesia sedemikian rupa untuk memenangkan keinginannya, termasuk memperkuat posisi partai-partai pendukung dan sanak saudara sebagai bagian dari kekuasaan yang 'gendut' tersebut.

Publik menunjukkan perlawanan dengan mengunggah poster "Peringatan Darurat" tersebut yang mirip dengan sistem peringatan kedaruratan nasional Amerika. Poster ini digunakan sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan Baleg DPR.

Partisipasi masyarakat ini dilakukan tidak hanya oleh mahasiswa dan aktivis, melainkan musisi, sutradara, dan komedian juga mengunggah poster senada di akun media sosial mereka.

Memang masyarakat perlu mengawal proses demokrasi dengan berperan serta secara aktif dan merespon dengan cara tertentu, termasuk turun ke jalan atau bersuara di media sosial, sebagai sarana media modern yang mudah, gratis dan juga efektif.

Hanya saja, masyarakat juga dituntut harus cerdas dalam berpartisipasi di dalam gerakan sosial dan politik ini. Ada yang tulus untuk kepentingan bangsa, tetapi tidak bisa dipungkiri ada juga yang menggunakan gerakan ini untuk kepentingannya sendiri.

Ada tuduhan bahwa penolakan terhadap pengesahan RUU Pilkada itu didorong oleh kepentingan partai dan tokoh tertentu yang 'kalah' di dalam kontestasi presidensial sebelumnya. Tuduhan ini menganggap bahwa ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan isu ini untuk menggerakkan masyarakat dalam 'menyerang' penguasa, yaitu Presiden Jokowi, dan 'antek-anteknya', dalam hal ini partai pendukung serta pemerintahan selanjutnya dimana anak kandungnya sendiri, yaitu Gibran, adalah wakil presiden resmi periode berikutnya. Tuduhan lainnya, adalah bahwa mereka yang terlibat di dalam gerakan ini hanyalah terbawa tren, atau yang disebut dengan FOMO (Fear Of Missing Out: ketakutan kehilangan momen, atau sederhananya, ikut-ikutan tren yang sedang terjadi saat ini). Sumber

Demokrasi adalah sistem politik yang dianggap paling ideal saat ini, walaupun demokrasi juga memiliki banyak wajah, bentuk dan aplikasinya di dalam kehidupan negara. Maka, wajar rasa-rasanya bila gerakan masyarakat semacam ini terjadi. Namun, dalam perspektif lain, wajar pula bila gerakan-gerakan tersebut dimungkinkan juga ditunggangi atau digunakan pihak-pihak tertentu yang memiliki agenda dan misi demi kepentingan mereka sendiri pula.

Masyarakat dituntut cerdas dalam menanggapinya, serta menghilangkan tuduhan-tuduhan FOMO, atau ikut-ikutan, atau lebih parah lagi, memiliki agenda tersendiri yang sama bersifat politis.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya sendiri, apakah ada sistem politik sempurna, atau paling tidak ideal di dunia ini, sehingga gerakan politik di Indonesia mendapatkan pembenaran dalam pelaksanaannya? Apakah jangan-jangan sistem politik Indonesia "belum dewasa" atau memang "begitu adanya".

Menurut sebuah artikel di Global Times (Sumber), sesungguhnya tidak ada yang dimanakan sistem politik yang sempura. Sistem politik modern harus menyeimbangkan demokrasi, efisiensi dan stabilitas tetapi juga mengakui bahwa setiap sistem memiliki problematikanya sendiri. Artikel tersebut menyimpulkan bahwa sistem politik yang idel pun tidak bisa menyelesaikan masalah politik, sedangkan sistem politik terbaik tidak ada di dunia ini.

Senada dengan Global Times, penelitian di Pew Research Ceter mengindikasikan bahwa demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung memang sangat didukung dan dilaksanakan, tetapi tidak ada konsesnus sistem politik tunggal yang paling ideal. Memang pemerintahan otoriter dan di bawah kekuasaan militer secara umum tidak populer dan cenderung dihindari, tetapi ada negara-negara minoritas secara signifikan mendukung sistem ini. Aplikasi bentuk sistem politik yang berbeda-beda ini sangat beragam, didasari pada faktor-faktor seperti pendidikan, ekonomi dan ideologi. Sumber

Tidak ada sistem politik yang ideal, apalagi sempurna. Politik kesempurnaannya berasal dari ketidaksempurnaannya itu sendiri, perfectly imperfect.

Kita dapat mempelajari sistem-sistem politik dari negara-negara lain, tetapi itu dalam batas-batas tertentu. Tak jarang kita cenderung cherry picking, atau tebang pilih. Misalnya sistem politik Nordik di negara-negara Skandinavia yang menempatkan pajak yang tinggi kepada masyarakatnya tentu tidak mungkin diaplikasikan di Indonesia. Walau kita tahu bahwa negara-negara tersebut terkenal sebagai negara yang adem ayem, kaya, damai, dan selalu dalam keadaan stabil. Lebih sangat tidak mungkin bila Indonesia mengadopsi sistem politik Tiongkok dengan satu partainya, yaitu Partai Komunis (walau Tiongkok sekarang merupakan salah satu negara adidaya di dunia, hampir-hampir menyaingi Amerika Serikat).

Jadi, sistem politik seperti apa yang sedang kita 'bela' dan perbaiki jalannya? Bagaimana bila sistem politik di Indonesia memang seperti ini, yang menempatkan dan mengetengahkan penokohan sebagai unsur utama? Sukarno, Soerharto dan kali ini Jokowi, masih dibawa-bawa di dalam setiap kampanye partai politik atau tokoh-tokoh politik tertentu di dalam kontestasi mereka.

Apakah ini salah? Mungkin sekali tidak, toh dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada sistem politik yang sungguh ideal di muka bumi ini. Atau bisa juga salah, bila penokohan digunakan hanya untuk mengeruk keuntungan sendiri dengan tidak bertanggungjawab di dalam kekuasaan.

Yang membuat saya khawatir adalah bagaimana kita tahu bahwa gerakan masyarakat melawan sistem politik penokohan (dan kekeluargaan) Jokowi adalah demi jalannya demokrasi yang bersih dan (diusahakan) ideal, atau hanya demi kepentingan sendiri? (mengingat sudah ada Megawati dan Puan yang berasal dari trah Sukarno, atau AHY dari trah SBY). Atau bagaimana kita tahu bahwa sistem politik penokohan yang digunakan bangsa ini sungguh bekerja, atau makin memerosokkan bangsa ini ke dalam jurang kehancuran yang lebih dalam?

Tidak heran ada perlawanan dari pihak lain pula (yang dituduh sebagai ulah para buzzer pembela penguasa), yang mengunggah poster serupa, tetapi dengan narasi "Indonesia Baik-Baik Saja" yang seakan menguatkan tuduhan bahwa gerakan "Peringatan Darurat" adalah gerakan lebay masyarakat yang tidak terima atas kekalahan tokoh mereka di kontestasi sebelumnya, atau hanya merupakan bentuk ekspresi kebencian pada penguasa saja.

Sumber: https://kabar6.com/akun-ketua-dprd-lebak-diserbu-netizen-gegara-posting-garuda-biru-bertuliskan-indonesia-baik-baik-saja/
Sumber: https://kabar6.com/akun-ketua-dprd-lebak-diserbu-netizen-gegara-posting-garuda-biru-bertuliskan-indonesia-baik-baik-saja/

Untuk menghindari tuduhan-tuduhan semacam ini, satu-satunya cara bukanlah sistem politik yang ideal, melainkan kedewasaan dan kecerdasan masyarakat. Toh, memang sistem politik ideal tidak pernah ada, tetapi masyarakat yang dewasa dan cerdas, dapat menghindari pembodohan dari politisi, isu-isu kompleks yang bisa saja dimainkan oleh penguasa, atau sekadar FOMO itu tadi. Dengan pendidikan, masyarakat dapat menelaah beragam konsep dengan lebih baik, memahami beragam isu dan berita dengan lebih dalam dan terukur. Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi dapat menelaah apa yang sedang terjadi secara politik di negeri mereka dan melakukan tindakan yang bijak sesuai dengan hak dan kewajiban mereka.

Dengan begitu, mungkin sistem politik penokohan yang sangat menonjol di negeri ini dapat kembali dievaluasi, bukan untuk mendapatkan sistem politik, tetapi dengan cerdas masyarakat dapat memutuskan mana yang baik bagi negara mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun