Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Politik adalah "Perfectly Imperfect"

23 Agustus 2024   11:34 Diperbarui: 23 Agustus 2024   12:19 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi adalah sistem politik yang dianggap paling ideal saat ini, walaupun demokrasi juga memiliki banyak wajah, bentuk dan aplikasinya di dalam kehidupan negara. Maka, wajar rasa-rasanya bila gerakan masyarakat semacam ini terjadi. Namun, dalam perspektif lain, wajar pula bila gerakan-gerakan tersebut dimungkinkan juga ditunggangi atau digunakan pihak-pihak tertentu yang memiliki agenda dan misi demi kepentingan mereka sendiri pula.

Masyarakat dituntut cerdas dalam menanggapinya, serta menghilangkan tuduhan-tuduhan FOMO, atau ikut-ikutan, atau lebih parah lagi, memiliki agenda tersendiri yang sama bersifat politis.

Hal ini menimbulkan pertanyaan bagi saya sendiri, apakah ada sistem politik sempurna, atau paling tidak ideal di dunia ini, sehingga gerakan politik di Indonesia mendapatkan pembenaran dalam pelaksanaannya? Apakah jangan-jangan sistem politik Indonesia "belum dewasa" atau memang "begitu adanya".

Menurut sebuah artikel di Global Times (Sumber), sesungguhnya tidak ada yang dimanakan sistem politik yang sempura. Sistem politik modern harus menyeimbangkan demokrasi, efisiensi dan stabilitas tetapi juga mengakui bahwa setiap sistem memiliki problematikanya sendiri. Artikel tersebut menyimpulkan bahwa sistem politik yang idel pun tidak bisa menyelesaikan masalah politik, sedangkan sistem politik terbaik tidak ada di dunia ini.

Senada dengan Global Times, penelitian di Pew Research Ceter mengindikasikan bahwa demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung memang sangat didukung dan dilaksanakan, tetapi tidak ada konsesnus sistem politik tunggal yang paling ideal. Memang pemerintahan otoriter dan di bawah kekuasaan militer secara umum tidak populer dan cenderung dihindari, tetapi ada negara-negara minoritas secara signifikan mendukung sistem ini. Aplikasi bentuk sistem politik yang berbeda-beda ini sangat beragam, didasari pada faktor-faktor seperti pendidikan, ekonomi dan ideologi. Sumber

Tidak ada sistem politik yang ideal, apalagi sempurna. Politik kesempurnaannya berasal dari ketidaksempurnaannya itu sendiri, perfectly imperfect.

Kita dapat mempelajari sistem-sistem politik dari negara-negara lain, tetapi itu dalam batas-batas tertentu. Tak jarang kita cenderung cherry picking, atau tebang pilih. Misalnya sistem politik Nordik di negara-negara Skandinavia yang menempatkan pajak yang tinggi kepada masyarakatnya tentu tidak mungkin diaplikasikan di Indonesia. Walau kita tahu bahwa negara-negara tersebut terkenal sebagai negara yang adem ayem, kaya, damai, dan selalu dalam keadaan stabil. Lebih sangat tidak mungkin bila Indonesia mengadopsi sistem politik Tiongkok dengan satu partainya, yaitu Partai Komunis (walau Tiongkok sekarang merupakan salah satu negara adidaya di dunia, hampir-hampir menyaingi Amerika Serikat).

Jadi, sistem politik seperti apa yang sedang kita 'bela' dan perbaiki jalannya? Bagaimana bila sistem politik di Indonesia memang seperti ini, yang menempatkan dan mengetengahkan penokohan sebagai unsur utama? Sukarno, Soerharto dan kali ini Jokowi, masih dibawa-bawa di dalam setiap kampanye partai politik atau tokoh-tokoh politik tertentu di dalam kontestasi mereka.

Apakah ini salah? Mungkin sekali tidak, toh dijelaskan sebelumnya bahwa tidak ada sistem politik yang sungguh ideal di muka bumi ini. Atau bisa juga salah, bila penokohan digunakan hanya untuk mengeruk keuntungan sendiri dengan tidak bertanggungjawab di dalam kekuasaan.

Yang membuat saya khawatir adalah bagaimana kita tahu bahwa gerakan masyarakat melawan sistem politik penokohan (dan kekeluargaan) Jokowi adalah demi jalannya demokrasi yang bersih dan (diusahakan) ideal, atau hanya demi kepentingan sendiri? (mengingat sudah ada Megawati dan Puan yang berasal dari trah Sukarno, atau AHY dari trah SBY). Atau bagaimana kita tahu bahwa sistem politik penokohan yang digunakan bangsa ini sungguh bekerja, atau makin memerosokkan bangsa ini ke dalam jurang kehancuran yang lebih dalam?

Tidak heran ada perlawanan dari pihak lain pula (yang dituduh sebagai ulah para buzzer pembela penguasa), yang mengunggah poster serupa, tetapi dengan narasi "Indonesia Baik-Baik Saja" yang seakan menguatkan tuduhan bahwa gerakan "Peringatan Darurat" adalah gerakan lebay masyarakat yang tidak terima atas kekalahan tokoh mereka di kontestasi sebelumnya, atau hanya merupakan bentuk ekspresi kebencian pada penguasa saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun