Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Gagasan Perdamaian Indonesia: Tidak Perlu Jauh-Jauh, Sudah Ada Sedari Lama

12 Desember 2023   08:10 Diperbarui: 12 Desember 2023   08:12 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketiga, peran agama.

Sebuah artikel berjudul "Indonesia's Islamic Peace Diplomacy: Crafting a Role Model for Moderate Islam" (Seeth, 2023) membahas mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia untuk mempromosikan Islam yang moderat dan damai. Artikel ini menyoroti perlunya lembaga pengembangan internasional dan jaringan akademik untuk lebih serius mengambil tindakan para figur tersebut yang berorientasi pada perdamaian. Hal ini kelak dapat terintegrasi dalam kemitraan yang konstruktif. Dijelaskan bahwa jika hal ini dilakukan, maka akan mendukung narasi kaum relijius moderat melawan citra dan tren agama yang dikenal intoleran dan anti-pluralistik. Meskipun Indonesia menghadapi tantangan dalam mempromosikan Islam moderat dan damai, negara ini menjadi rumah bagi sejumlah tokoh relijius dari lembaga-lembaga Islam besar seperti Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang benar-benar berkomitmen untuk menyebarkan perdamaian.

Agama menjadi aspek penting di Indonesia dalam mencapai, menjaga dan membangun perdamaian. Islam sebagai agama mayoritas, telah memberikan sumbangsih besar dalam dinamika perdamaian di Indonesia. Permasalah utama atas skeptisisme terhadap agama, sebenarnya lebih kepada organisasi dan praktik-praktik lembaga keagamaan yang tidak menggambarkan nilai-nilai suci dan baik secara moral. Sedangkan kepercayaan dan keimanan di dalam sebuah agama itu sendiri jelas mengandung semua unsur kebaikan yang diperlukan untuk sebuah perdamaian.

Santo Agustinus dari Hippo berargumen bahwa perdamaian adalah sebuah hadiah dari Tuhan. Hal ini hanya dapat dicapai melalui transformasi hati manusia. Ia percaya bahwa perdamaian adalah hasil atau akibat dari hubungan yang benar antara manusia dengan Tuhan (Tornau, 2020). Ini berarti bahwa hubungan yang benar tersebut adalah mematuhi segala perintah-Nya dan menghindari segala larangan-Nya, dalam arti lain semuanya berasal dari aturan dan nilai-nilai kebaikan di dalam ajaran agama.

Lagi-lagi, menurut percakapan antara Gus Dur dan Daisuke Ikeda, Ikeda mengatakan, "It is peace. All religions should work together in the service of peace. The purpose of religion is human happiness. Though their specific doctrines may differ, all religions can cooperate for the sake of the peace of humanity," (Wahid & Ikeda, 2009, p. 2). Dalam percakapan tersebut, Gus Dur menyatakan bahwa beliau juga mendukung ide-ide Mahatma Gandhi tentang anti kekerasan. Bagi Gus Dur, dialog yang terus-menerus antar agama dapat menciptakan perdamaian dan mencegah konflik di masa depan. Buktinya, Gus Dur mengakui bahwa memang ada perbedaan bahkan pertentangan alami antara Islam dan Kristiani. Namun, apabila kaum Muslim menghormati umat Kristen dan sebaliknya, maka akan tercipta rasa saling hormat, sehingga mereka mampu menghadapi competitive nature mereka dalam sebuah cara yang positif.

Maka sesungguhnya, tidak perlu mencari-cari dan meraba-raba gagasan dan cara baru untuk menjaga serta membangun perdamaian. Bangsa ini sudah mengenalnya, hanya perlu menggali lebih dalam dan melaksanakannya di kehidupan kebangsaan. Pancasila telah menyediakannya.

Pancasila adalah dasar, falsafah dan ideologi negara yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti tercantum pada Pembukaan UUD 1945 (Sutam, 2021). Pancasila menjadi perekat dan titik simpul bagi Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama, golongan serta pemikiran. Pancasila sebagai ideologi dinamis berarti menjadi ideologi yang berkelanjutan, ideologi yang kontekstual serta aktual dan faktual. Ini berarti ideologi Pancasila mampu berinteraksi dengan perubahan zaman, sehingga ideologi dinamis ini sesuai dengan proses peacekeeping dan peacebuilding yang berproses terus-menerus. Ideologi Pancasila yang dinamis mampu mencari cara untuk mengedepankan perdamaian dalam mengatasi beragam permasalahan dan mencegah konflik di masa depan.

Menurut Pamen Mako Akademi TNI, Mayor Laut Elyah Musarovah (2017), Pancasila dianggap mampu mewujudkan kerukunan dan kebersamaan yang sejati karena Pancasila memiliki konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial. Mengikat disini tidak dalam artian negatif, melainkan sebagai landasan filosofis dan common platform. Pancasila itulah yang menjadi jati diri bangsa Indonesia yang sejati. Maka setiap warga Indonesia hendaknya mewujudkannya di dalam hati nurani.

Beliau juga menyampaikan bahwa sistem berbangsa dan bernegara telah mengalami perubahan yang signifikan, dimana terjadi pergeseran realitas politik, ekonomi dan demokrasi. Dengan keanekaragaman agama dan budaya, tentu saja Indonesia memiliki kecenderungan yang kuat terhadap identitas individu dan kelompok sehingga memiliki potensi besar untuk munculnya berbagai konflik. Pancasila mampu untuk menghadapi dinamika ini untuk menjaga dan membangun perdamaian. Dari beragam aspek, Pancasila menjamin kebersamaan, keberagaman, dan eksistensi seluruh komponen bangsa dalam rangka berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak hanya itu, seperti disebutkan di awal tulisan ini, Indonesia juga berkomitmen dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia yang mengadopsi prerspektif realisme untuk menjelaskan partisipasi Indonesia dalam pasukan perdamaian PBB (2019). Paradigma peacebuilding realisme merujuk pada sebuah perspektif dalam hubungan internasional yang menekankan pada kekuasaan, keamanan dan kepentingan nasional dalam mencapai perdamaian. Dalam pandangan ini, perdamaian dapat dicapai melalui keseimbangan antar negara dimana tiap negara memaksimalkan keamanan dan kepentingan mereka masing-masing (Hosang, 2011; Carey, 2020).

Namun begitu, Pancasila sendiri adalah fondasi negara dan berlaku sebagai dasar sistem hukum, sistem politik dan norma-norma sosial. Pancasila adalah paradigma yang komprehensif dan inklusif  yang menekankan pada keadilan sosial, hak asasi manusia, dan persatuan Indonesia. Maka, Pancasila adalah sebuah paradigma unik yang memainkan peran dalam membangun masyarakat Indonesia beserta nilai-nilainya. Dengan menggunakan paradigma peacebuilding Pancasila, Indonesia mampu menunjukkan gagasan dan falsafah bangsa dalam hal manajemen konflik dan pembangunan perdamaian kepada dunia. Dengan mengadopsi perpsektif realisme, Indonesia merespon dunia dalam usaha pembanguan perdamaian bersama. Artinya, perdamaian untuk Indonesia juga merupakan perdamaian untuk semua: peace for Indonesia, peace for all. Dengan terlibat di dalam misi-misi perdamaian dunia, Indonesia memperkuat falsafah dan gagasan bangsa demi menjaga, memelihara dan membangun perdamaian.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun