Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Gagasan Perdamaian Indonesia: Tidak Perlu Jauh-Jauh, Sudah Ada Sedari Lama

12 Desember 2023   08:10 Diperbarui: 12 Desember 2023   08:12 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.voicesofyouth.org/

Charles T. Call, seperti halnya para filsuf seperti Paul Tillich dan David L. Coppola, mengajukan ide bahwa perdamaian bukanlah sebuah situasi dengan ketiadaan perang, konflik atau kekerasan, melainkan sebuah konsep positif dan dinamis yang dibangun dari kerjasama dan rasa saling mengerti. Meskipun begitu, perdamaian adalah sebuah social goal atau tujuan bersama yang digunakan untuk mempromosikan ketiadaan perang, konflik dan kekerasan tersebut dan menciptakan sebuah kondisi untuk mencegah konflik-konflik yang mungkin terjadi di masa depan (Call & de Coning, 2017). 

Perdamaian adalah sebuah force yang aktif dan dinamis. Maka komitmen individu dan kelompok sangat diperlukan untuk memberikan kekuatan dalam tujuan merespon segala jenis konflik. Komitmen untuk mencapai perdamaian memerlukan pelbagai tindakan, terutama ketika menghadapi tantangan. Rasa saling mengerti dan memahami dari individu kepada komunitas, dari komunitas ke masyarakat, dari masyarat ke negara dan bangsa, serta dari satu negara ke negara lain adalah landasan dasarnya (Carter & Kumar, 2010). Dan ini telah terjadi dari masa purba sampai sekarang serta akan terus berlanjut.

Indonesia adalah sebuah negara majemuk dengan latar belakang budaya dan politik yang kompleks. Untuk mencapai perdamaian dalam suatu kompleksitas tersebut, diperlukan pendekatan multi-segi dengan memperhatikan tantangan-tantangan unik dan khusus dari negeri ini. Dalam skala global, Indonesia telah berkonstribusi dalam aksi peacekeeping PBB sejak tahun 1957, bahkan tidak lama setelah kemerdekaannya (Alexandra, 2017). Ini merupakan sebuah pencapaian dan prestasi bangsa ini dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Namun begitu, sepertinya tantangan yang dihadapi Indonesia adalah untuk memahami perdamaian dalam konteks yang meliputi peacekeeping, peacemaking dan peacebuilding. Peacebuilding atau pembangunan perdamaian di Indonesia lebih dipahami dalam konteks yang lebih luas. Dibandingkan sebagai usaha-usaha langsung untuk mencegah konflik di masa depan, peacebuilding diinterpretasikan sebagai berbagai macam aktifitas atau tindakan dalam sebuah manajemen konflik, serupa dengan peacekeeping.

Peacemaking dilakukan sebagai upaya diplomatik untuk mengakhiri kekerasan dan konflik diantara pihak yang bertikai. Lebih jauh, menurut Murray dan Lacey (Murray & Lacey, 2009), peacemaking dapat didefinisikan sebagai sebagai proses identifikasi untuk mendukung struktur yang akan memperkuat perdamaian di masyarakat. Dalam prosesnya, peacemaking memerlukan usaha menyeimbangkan kepentingan-kepentingan antar kelompok yang berbeda, membangun insfrastruktur dan lembaga perwakilan, termasuk diplomasi dan bantuan ekonomi.

Sebagai hasilnya, Indonesia dapat menerapkan beberapa gagasan untuk menciptakan perdamaian di dalam negeri, yang tentu saja melibatkan unsur-unsur peacekeeping, peacebuilding dan peacemaking sehingga perdamaian menjadi sebuah kekuatan yang dinamis dan aktif.

Pertama, Indonesia tidak menerapkan kebijakan demokrasi dengan konsep "one-size-fits-all", dimana memang setiap negara memiliki konteks dan latar belakangnya sendiri. Kesadaran akan hal ini dapat menjadi kunci pembangunan perdamaian yang sukses. Konsep "Bhineka Tunggal Ika" yang merupakan semboyan bangsa Indonesia yang berarti "berbeda-beda tetapi tetap satu jua", sudah merefleksikan pentingnya toleransi dan rasa hormat terhadap perbedaan. Pancasila sebagai dasar negara telah sedari awal merumuskan karakter bangsa yang sopan, santun, bertatakrama dan penuh rasa hormat. Konflik yang terjadi sudah sewajarnya diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat yang lagi-lagi mengedepankan komunikasi serta rasa saling pengertian.

Kedua, bangsa Indonesia yang telah menjadikan seni dan budaya sebagai denyut nadi mereka, dapat menggunakannya untuk mempromosikan toleransi, meminimalisir konflik dan bahkan membasmi kejahatan terorisme. Ini pada akhirnya juga membawa bangsa untuk meningkatkan hubungan kohesif antar suku bangsa dan umat beragama. Konsep bahwa seni dan budaya dapat menjaga dan membangun perdamaian, sejatinya selaras dengan gambaran Branagan (2024) yang melihat bahwa seni dan budaya memiliki potensi besar untuk menciptakan masyarakat yang menikmati perdamaian yang positif dan berkesinambungan. Seni dan budaya dapat pula mempromosikan pemahaman, empati, dan rasa hormat terhadap perbedaan (Jeong, 2021).

Bagi bangsa Indonesia yang sangat kaya akan seni dan budaya, mempertahankan, menjaga dan membangun perdamaian antar individu dan kelompok yang berbeda-beda sudah menjadi sebuah keniscayaan. KH Adurrahman Wahid atau yang kita kenal sebagai Gus Dur, mantan presiden Republik Indonesia yang keempat, dalam sebuah dialog bersama Daisaku Ikeda, seorang filsuf Buddha asal Jepang, menjelaskan bahwa sebuah dialog dapat memberikan wajah kemanusiaan tanpa memandang etnis, perbedaan budaya atau latar belakang sejarah. Dialog juga dapat membuka jalan bagi promosi nilai-nilai kebersamaan dan komitmen terhadap budaya perdamaian serta harmoni global. Hal ini adalah sesuatu yang kita ketahui di Indonesia dari pengalaman pribadi (Wahid & Ikeda, 2009).

Beberapa mungkin menuduh bahwa keberagaman dan perbedaan itu sendiri merupakan sumber dari konflik dan permasalahan. Namun, seni dan budaya yang kental sebagai bagian dari nafas kehidupan bangsa, juga memiliki ciri yang sama dengan perdamaian itu sendiri, yaitu dinamis dan berproses. Seperti dijelaskan sebelumnya, perdamaian bukanlah ketiadaan konflik, sebaliknya merupakan cara untuk menemukan kesepahaman, komunikasi yang baik dan pengertian antar individu dan kelompok melalui proses peacekeeping, peacebuilding, dan peacemaking yang berkesinambungan dan dinamis.

Ketiga, peran agama.

Sebuah artikel berjudul "Indonesia's Islamic Peace Diplomacy: Crafting a Role Model for Moderate Islam" (Seeth, 2023) membahas mengenai usaha-usaha yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam Indonesia untuk mempromosikan Islam yang moderat dan damai. Artikel ini menyoroti perlunya lembaga pengembangan internasional dan jaringan akademik untuk lebih serius mengambil tindakan para figur tersebut yang berorientasi pada perdamaian. Hal ini kelak dapat terintegrasi dalam kemitraan yang konstruktif. Dijelaskan bahwa jika hal ini dilakukan, maka akan mendukung narasi kaum relijius moderat melawan citra dan tren agama yang dikenal intoleran dan anti-pluralistik. Meskipun Indonesia menghadapi tantangan dalam mempromosikan Islam moderat dan damai, negara ini menjadi rumah bagi sejumlah tokoh relijius dari lembaga-lembaga Islam besar seperti Nadhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang benar-benar berkomitmen untuk menyebarkan perdamaian.

Agama menjadi aspek penting di Indonesia dalam mencapai, menjaga dan membangun perdamaian. Islam sebagai agama mayoritas, telah memberikan sumbangsih besar dalam dinamika perdamaian di Indonesia. Permasalah utama atas skeptisisme terhadap agama, sebenarnya lebih kepada organisasi dan praktik-praktik lembaga keagamaan yang tidak menggambarkan nilai-nilai suci dan baik secara moral. Sedangkan kepercayaan dan keimanan di dalam sebuah agama itu sendiri jelas mengandung semua unsur kebaikan yang diperlukan untuk sebuah perdamaian.

Santo Agustinus dari Hippo berargumen bahwa perdamaian adalah sebuah hadiah dari Tuhan. Hal ini hanya dapat dicapai melalui transformasi hati manusia. Ia percaya bahwa perdamaian adalah hasil atau akibat dari hubungan yang benar antara manusia dengan Tuhan (Tornau, 2020). Ini berarti bahwa hubungan yang benar tersebut adalah mematuhi segala perintah-Nya dan menghindari segala larangan-Nya, dalam arti lain semuanya berasal dari aturan dan nilai-nilai kebaikan di dalam ajaran agama.

Lagi-lagi, menurut percakapan antara Gus Dur dan Daisuke Ikeda, Ikeda mengatakan, "It is peace. All religions should work together in the service of peace. The purpose of religion is human happiness. Though their specific doctrines may differ, all religions can cooperate for the sake of the peace of humanity," (Wahid & Ikeda, 2009, p. 2). Dalam percakapan tersebut, Gus Dur menyatakan bahwa beliau juga mendukung ide-ide Mahatma Gandhi tentang anti kekerasan. Bagi Gus Dur, dialog yang terus-menerus antar agama dapat menciptakan perdamaian dan mencegah konflik di masa depan. Buktinya, Gus Dur mengakui bahwa memang ada perbedaan bahkan pertentangan alami antara Islam dan Kristiani. Namun, apabila kaum Muslim menghormati umat Kristen dan sebaliknya, maka akan tercipta rasa saling hormat, sehingga mereka mampu menghadapi competitive nature mereka dalam sebuah cara yang positif.

Maka sesungguhnya, tidak perlu mencari-cari dan meraba-raba gagasan dan cara baru untuk menjaga serta membangun perdamaian. Bangsa ini sudah mengenalnya, hanya perlu menggali lebih dalam dan melaksanakannya di kehidupan kebangsaan. Pancasila telah menyediakannya.

Pancasila adalah dasar, falsafah dan ideologi negara yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti tercantum pada Pembukaan UUD 1945 (Sutam, 2021). Pancasila menjadi perekat dan titik simpul bagi Indonesia yang terdiri dari banyak suku, agama, golongan serta pemikiran. Pancasila sebagai ideologi dinamis berarti menjadi ideologi yang berkelanjutan, ideologi yang kontekstual serta aktual dan faktual. Ini berarti ideologi Pancasila mampu berinteraksi dengan perubahan zaman, sehingga ideologi dinamis ini sesuai dengan proses peacekeeping dan peacebuilding yang berproses terus-menerus. Ideologi Pancasila yang dinamis mampu mencari cara untuk mengedepankan perdamaian dalam mengatasi beragam permasalahan dan mencegah konflik di masa depan.

Menurut Pamen Mako Akademi TNI, Mayor Laut Elyah Musarovah (2017), Pancasila dianggap mampu mewujudkan kerukunan dan kebersamaan yang sejati karena Pancasila memiliki konsep hidup bernegara yang mengikat semua anggota kelompok sosial. Mengikat disini tidak dalam artian negatif, melainkan sebagai landasan filosofis dan common platform. Pancasila itulah yang menjadi jati diri bangsa Indonesia yang sejati. Maka setiap warga Indonesia hendaknya mewujudkannya di dalam hati nurani.

Beliau juga menyampaikan bahwa sistem berbangsa dan bernegara telah mengalami perubahan yang signifikan, dimana terjadi pergeseran realitas politik, ekonomi dan demokrasi. Dengan keanekaragaman agama dan budaya, tentu saja Indonesia memiliki kecenderungan yang kuat terhadap identitas individu dan kelompok sehingga memiliki potensi besar untuk munculnya berbagai konflik. Pancasila mampu untuk menghadapi dinamika ini untuk menjaga dan membangun perdamaian. Dari beragam aspek, Pancasila menjamin kebersamaan, keberagaman, dan eksistensi seluruh komponen bangsa dalam rangka berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak hanya itu, seperti disebutkan di awal tulisan ini, Indonesia juga berkomitmen dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Hal ini merupakan bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia yang mengadopsi prerspektif realisme untuk menjelaskan partisipasi Indonesia dalam pasukan perdamaian PBB (2019). Paradigma peacebuilding realisme merujuk pada sebuah perspektif dalam hubungan internasional yang menekankan pada kekuasaan, keamanan dan kepentingan nasional dalam mencapai perdamaian. Dalam pandangan ini, perdamaian dapat dicapai melalui keseimbangan antar negara dimana tiap negara memaksimalkan keamanan dan kepentingan mereka masing-masing (Hosang, 2011; Carey, 2020).

Namun begitu, Pancasila sendiri adalah fondasi negara dan berlaku sebagai dasar sistem hukum, sistem politik dan norma-norma sosial. Pancasila adalah paradigma yang komprehensif dan inklusif  yang menekankan pada keadilan sosial, hak asasi manusia, dan persatuan Indonesia. Maka, Pancasila adalah sebuah paradigma unik yang memainkan peran dalam membangun masyarakat Indonesia beserta nilai-nilainya. Dengan menggunakan paradigma peacebuilding Pancasila, Indonesia mampu menunjukkan gagasan dan falsafah bangsa dalam hal manajemen konflik dan pembangunan perdamaian kepada dunia. Dengan mengadopsi perpsektif realisme, Indonesia merespon dunia dalam usaha pembanguan perdamaian bersama. Artinya, perdamaian untuk Indonesia juga merupakan perdamaian untuk semua: peace for Indonesia, peace for all. Dengan terlibat di dalam misi-misi perdamaian dunia, Indonesia memperkuat falsafah dan gagasan bangsa demi menjaga, memelihara dan membangun perdamaian.  

Daftar Pustaka

Alexandra, L. A. (2017). Offering Support and Sharing Experiences: Indonesia's Approach to Peacebuilding. In C. d. Charles T. Call, Rising Powers and Peacebuilding (pp. 39-64). Palgrave Macmillan.

Branagan, M. (2024). The Cultural Dimensions of Peacebuilding. Anthem Press.

Call, C. T., & de Coning, C. (2017). Rising Powers & Peacebuilding. Breaking the Mold? Palgrave Macmillan.

Carey, H. F. (2020). Peacebuilding Paradigms: The Impact of Theoretical Diversity on Impelenting Sustainable Peace. Cambridge University Press.

Carter, C. C., & Kumar, R. (2010). Peace Philosophy in Action. Palgrave Macmillan.

Hosang, L. G. (2011). Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme terhadap ASEAN Political Security Community 2015 Sebagai kerjasama Keamanan di Kawasan Asia Tenggara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Hubungan Internasional Depok.

Indonesia, K. L. (2019, January 29). Indonesia dan Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB. Retrieved from kemlu.go.id: https://www.kemlu.go.id/portal/id/read/91/halaman_list_lainnya/indonesia-dan-misi-pemeliharaan-perdamaian-pbb

Jeong, H.-W. (2021). Transition to Peace. Between Norms and practice. Rowman & Littlefield.

Mayor Laut Elyah Musarovah, S. (2017). Pemantapan Nilai-Nilai Pancasila Kepada Generasi Muda Sebagai Jati Diri Bangsa yang Sejati. In M. I. Pertahanan, WiRA (pp. 6-10). Puskom Publik Kemhan.

Murray, W., & Lacey, J. (2009). The Making of Peace. Rulers, States, and the Aftermath of War. Cambridge University Press.

Seeth, D. A. (2023, February). GIGA Focus Asia. Retrieved from giga-hamburg.de: https://www.giga-hamburg.de/en/publications/giga-focus/indonesia-s-islamic-peace-diplomacy-crafting-role-model-for-moderate-islam

Sutam, I. (2021, June 1). Pancasila, Ideologi Dinamis dan Nasionalisme Kontekstual. Retrieved from Media Indonesia: https://mediaindonesia.com/opini/408679/pancasila-ideologi-dinamis-dan-nasionalisme-kontekstual

Tornau, C. (2020, March 21). Saint Augustine. Retrieved from The Stanford Encyclopedia of Philosophy: https://plato.stanford.edu/entries/augustine/

Wahid, A., & Ikeda, D. (2009). The Wisdom of Tolerance. I.B.Tauris.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun