Seperti definisi politic: acting or judging wisely, well-judged, prudent, politik hadir di dalam kehidupan kita sehari-hari. Bila misalnya saja kita bermasalah dengan tetangga yang menyebalkan, tukang penggosip dan ghibah, bahkan memfitnah, maka kita memerlukan cara untuk meresponnya.Â
Beberapa orang dengan lantang dan berani langsung saja mendatangi sang tetangga, memarahinya, dan sengaja menantangnya untuk menyelesaikan masalah. Yang lainnya mungkin akan mencari cara yang lebih bijak, terukur dan dengan resiko yang lebih kecil, yaitu melaporkan kepada Pak RT untuk mendapatkan solusi yang terbaik. Mungkin orang tersebut akan menuntut Pak RT untuk melakukan sebuah tindakan tegas berupa teguran atau bahkan peringatan.
Contoh tersebut merupakan politik tetangga dalam menyelesaikan masalah.
Namun begitu, tidak perlu harus ada masalah untuk hadirnya politik. Bahkan untuk memutuskan membeli rumah, kendaraan, menawar barang di pasar, atau menentukan sekolah yang tepat untuk anak, semua melibatkan politik. Politik adalah kebijaksanaan dalam berpikir dan mengambil keputusan. Nah, bila setting politik dibawa ke ranah nasional, maka politik yang melibatkan partai, suara, pemilihan umum, perdebatan, sistem pemerintahan, dan sebagainya itulah yang terjadi.
Tentu, tidak kerapkali politik menjadi ajang kelicikan, kesewang-wenangan, ketidakadilan, dan hal-hal buruk nan negatif lainnya. Lagi-lagi, ini alami dalam kehidupan manusia yang serba sosial. Namun begitu, bukan tidak mungkin politik dapat dilaksanakan dengan cara normal, wajar, bahkan cerdas dan masuk akal.
Sudah banyak contoh secara global dimana politik dan proses politik melibatkan masyarakat secara aktif dan menghasilkan keputusan politik yang solutif, bermanfaat, serta berada di pihak masyarakat. Menurut saya, ini karena politik adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat yang juga sudah cerdas. Â
Harusnya, berbicara politik tak ubahnya seperti berbicara mengenai klub sepakbola favorit dan pertandingan sepakbola kemarin malam. Berbicara politik bisa dibandingkan ketika dua orang sedang membahas siapa grup idol K-Pop mereka yang terbaik, dan mengapa.Â
Berbicara politik sama saja dengan berbagi film atau musik favorit. Memang, kerapkali ada pertentangan, tetapi hanya pada taraf ide dan gagasan, bukan fisik. Bila ditambahkan dengan kedewasaan pemikiran dan pengetahuan, maka perbincangan politik akan menjadi suatu hal yang wajar, tetapi sama pentingnya dengan tema-tema lain. Bila ghibah saja bisa diterima, mengapa membahas politik tidak bisa dinormalisasi?
Dengan begini, masyarakat Indonesia dapat membangun kecerdasan politik sehingga semua orang menjadi awas dan melek politik. Lalu, apa keuntungannya bila politik menjadi hal yang biasa saja dan normal? Artinya, negara ini akan mendapatkan pemimpin yang dihasilkan dari budaya melek politik itu sendiri. Kita tidak akan terus-menerus dihadapkan dengan politik identitas, fanatisme agama yang berlebihan, chauvinisme dan sifat kedaerahan bahkan sampai ke separatisme, atau ditakuti oleh budaya serta pola pikir liberalisme serta asing dan kebarat-baratan.
Ketika ingin memilih diantara Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto atau Anies Baswedan, kita tidak perlu resah dan ketakutan karena alasan-alasan primordial seperti latar belakang agama, ideologi atau pemujaan penokohan belaka, melainkan pada perdebatan cerdas seperti ide, rekam jejak, rencana dan solusi nyata.Â
Bila hasilnya juga didapatkan kelak, tidak ada yang terbawa perasaan alias baper, dan menanggapinya dengan dewasa dan cerdas. Tidak perlu melanjutkan permusuhan terus-menerus karena masalah politik, sekali lagi harusnya menjadi hal yang biasa dan normal.