Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menantang Konsep Etika Bima Yudho Saputro, Etika atau Pembangunan Infrastruktur?

2 Mei 2023   14:52 Diperbarui: 4 Mei 2023   07:25 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lagipula, Indonesia sedari awal bukan negara agama, meski hidup bangsa didasarkan pada etika dan nilai-nilai religius.

Argumentasi Bima mengenai negara yang beragama (seperti Indonesia) malah akan menghambat pembangunan, tidak berlaku bila melihat Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain bahkan Arab Saudi sendiri adalah negara-negara yang super kaya tetapi memiliki etika dan nilai-nilai bangsa berdasarkan agama, yaitu Islam. Infrastruktur dan kekayaan negara-negara ini tidak kalah dengan negara-negara yang menurut Bima 'tak beretika, tak bersopan santun, dan tak beragama' itu.

Kebebasan berpendapat seperti Australia, Eropa, Amerika dan negara-negara 'maju' lainnya, juga melalui proses pengkristalan etika dan nilai-nilai bangsa yang panjang. Amerika Serikat, dibangun dari etika agama Kristen pada awal negara itu berkembang. Begitu juga seluruh Eropa. Ketika sekarang mereka telah menerapkan pembangunan di bidang infrastruktur dan teknologi, semuanya juga didasari pada etika dan nilai-nilai yang dianut sebelumnya.

Kekesalan Bima terhadap bangsa ini adalah kekesalan bersama. Namun, dengan menuduh bahwa etika dan nilai-nilai yang dijunjung Indonesia tidak diperlukan dan cenderung menghambat pembangunan, adalah sungguh menyesatkan. Bangsa ini harus embrace konsep bernegara dengan baik sehingga masalah-masalah bangsa ini dapat ditangani dan diselesaikan, bukannya meninggalkan jati diri bangsa dan malah memeluk identitas bangsa lain. Bima adalah tipe pemuda biasa, yang silau oleh jalan layang, gedung-gedung tinggi, dan kemegahannya. Juga mungkin dengan hidup bebas dan semaunya tanpa dijulidi orang lain. Ia hanya traumatis dengan keadaannya sendiri.

Namun, melihat pola pikir Bima mengenai ketidakpahamannya tentang apa itu etika dan pentingnya memiliki tatakrama, saya hanya dapat mengatakan bahwa ia hanyalah seorang pemuda yang memiliki pola pikir sempit.

Bangsa ini hancur karena korupsi dan pemikiran sempit. Itu bukan karena etika. Sebaliknya para koruptor dan para fanatik, adalah orang-orang yang tidak melaksanakan dan menerapkan etika Pancasila dengan baik dan benar. Apa yang terjadi di Lampung bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga konsep etika dan nilai-nilai luhur Pancasila.

Kesalahan negeri ini bukanlah karena masyarakat terlalu mengagungkan etika, sebaliknya, banyak orang tidak memraktekkan etika dengan baik. Korupsi dan ketidaktaatan warga bangsa ini terhadap hukum dan aturan sesungguhnya adalah pelanggaran etika itu sendiri. Bukankah kita memiliki etika Pancasila serta etika hukum? Korupsi adalah tindakan melawan hukum dan melanggar etika Pancasila. Itu sudah jelas.

Harusnya, sebagai seorang pemuda harapan bangsa, Bima bisa membantu bangsa ini lepas dari kemelaratan jiwa dan harta. Caranya bisa dimulai dengan bertutur kata yang sopan dan berperilaku yang terpuji. Sekali lagi, iItu hanya lah langkah awal.

Cara berbicara dan berperilaku sopan hanya merupakan salah satu dari etika dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Bima nampaknya terpatri hanya dari dua poin kecil dan mula dari etika: yaitu perilaku unggah-ungguh dan berbicara sopan.

Bagus, sih. Sesuai namanya, Bima, yang merupakan sosok tokoh utama keluarga Pandawa memang tidak pandai berbasa-basi, tidak menggunakan bahasa Jawa halus ketika berbicara dengan siapapun, dan cenderung kasar dan ceplas-ceplos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun