Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Stan Culture dan Hubungannya dengan Mental Health

12 Oktober 2022   11:13 Diperbarui: 12 Oktober 2022   15:31 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan diciptakannya Internet, platform online dan media sosial, memudahkan setiap orang mendapatkan informasi yang paling cepat, akurat dan terbaru mengenai tokoh-tokoh yang mereka gemari. Kehidupan selebritas dan artis seperti musisi, bintang film, figur publik atau content creator di platform online lain, membuat para penggemar (fans) dapat memonitor kehidupan orang-orang terkenal itu dengan mudah. Sebagai akibatnya, fanatisme para penggemar di kala ini telah naik ke level yang berbeda.

Jangankan para penggemar selebitas tertentu, orang-orang biasa pun dapat dengan mudah terikat dengan para kegiatan, kepribadian dan pola pikir tokoh-tokoh tersebut. Hal ini kemudian menuntun pada lahirnya sebuah fenomena internet yang disebut dengan 'Stan culture'.

Kata stan berasal dari gabungan kata stalker (penguntit) dan fan (penggemar). Kata ini diciptakan oleh seorang rapper terkenal, Eminem, pada tahun 2000 di dalam sebuah lagu berjudul 'Stan" yang menceritakan tentang seorang penggemar ekstrim yang merongrong seorang artis karena tidak membalas emailnya. Awalnya, kata stan ini merupakan sinonim dari terobsesi atau terlalu fanatik menyukai sesuatu atau seseorang (Sumber).

Namun, saat ini, yaitu lebih dari dua puluh tahun kemudian, stan culture bahkan berubah dari sesuatu konsep yang dahulu dianggap buruk menjadi sebuah kebanggaan para penggemar garis keras. Para fans ini, yang terpapar kehidupan para artis pujaan mereka setiap hari bahkan setiap saat tersebut, mengembangkan sebuah sikap dan sifat pemujaan dan defensif: membela mati-matian para artis mereka di dalam beragam kasus dan isu, sehingga mereka beranggapan bahwa para artis yang mereka puja tersebut sempurna adanya.

Tumbuhlah istilah untuk para pengemar Justin Bieber yang disebut dengan Beliebers, Lady Gaga dengan Little Monsters, atau kelompok idol asal Korea BTS dengan Army nya.

Padahal, seperti diulas pada sebuah artikel di The Stanford Daily oleh Maya Nelson, stan culture adalah sebuah budaya yang berbahaya bagi kejiwaan seseorang (Sumber).

Dijelaskan bahwa generasi muda yang masih labil, mengambangkan hubungan parasosial yang tidak sehat dengan para tokoh yang mereka gemari tersebut.

Para artis, termasuk misalnya content creator di YouTube, hanya menampilkan dan membagikan secuil gambaran kehidupan mereka saja. Ada persona dari content creator yang sengaja diciptakan untuk audiens atau penonton, dan ini sama sekali tidak mewakili diri mereka sejatinya di dunia nyata.

Para fans akan terjebak dalam kepercayaan mereka kepada para pujaan, sehingga mengaburkan hubungan mereka dengan orang-orang 'nyata' yang ada di kehidupan mereka sebenarnya.

Mereka kemudian cenderung membela habis-habisan tokoh pujuaan mereka sehingga menghilangkan obyektifitas bahkan moralitas dan nilai-nilai tertentu yang dianut secara budaya.

Sebut saja kasus Pamungkas, seorang musisi Indonesia yang mendapatkan banyak reaksi negatif akibat tindakannya di atas panggung yang dianggap tidak senonoh, yaitu menggosok ponsel seorang penggemar ke kelaminnya.

Aksi ini, selain tidak disesali oleh sang artis sendiri, malah didukung dan dibela oleh para penggemarnya yang memang mengelu-elukannya. Mereka beranggapan bahwa tindakan itu tidak boleh dibahas diluar konteks sebagai sebuah fan service belaka, serta masih banyak alasan lainnya.

Hal ini jelas tidak sehat, minimal secara kejiwaan, dimana pembahasan pembelaan dan argumentasi yang terjadi di media sosial, seperti twitter, semakin membuat stan culture menonjol.

Di media sosial, dimana stan culture tumbuh dengan subur, semua orang dapat dengan bebas berpendapat dan berargumentasi. Para pengguna yang bisa dikatakan lebih muda dan belum stabil kejiwaan dan kepribadiannya akan melihat dunia hanya dari dua sisi, yaitu benar dan salah atau baik dan buruk. Mudah sekali bagi mereka untuk terbakar amarah karena hinaan dan cacian yang ditujukan kepada para pujaan mereka.

Media sosial akhirnya sekadar menjadi ajang perdebatan dan pembenaran belaka. Mengejek, mencemooh dan menghakimi tokoh tokoh atau orang lain menjadi sangat biasa. Sebut saja kasus 'drama' perselisihan keluarga Tasyi-Tasya yang dikonsumsi publik serta membelahnya menjadi dua kubu.

Masalahnya, tidak sedikit pelaku debat kusir versi dunia maya ini secara ironis tidak siap secara mental untuk diserang balik, entah karena penyampaian pendapat atau perilaku online.

Bila ini sudah terjadi, maka istilah cyberbullying atau shaming akan digunakan secara subyektif merujuk kepada perlakukan orang lain yang tidak mengenakkan kepada diri mereka, tanpa sadar bahwa orang-orang yang mengaku sebagai 'korban' tersebut sebenarnya merupakan para pelaku perundunggan dan penghinaan kepada orang lain.

Lebih jauh, muncul pula yang disebut dengan self diagnosis. Generasi muda yang di masa ini mendapatkan informasi dari internet dengan cepat dapat juga dengan mudah berasumsi bahwa mereka terkena suatu penyakit (termasuk masalah mental atau kejiwaan) berdasarkan pengetahuannya sendiri, dan ini sangat berbahaya karena pengetahuan tersebut tidak berasal dari sumber yang terpercaya atau melalui metode langsung yang tepat. (Sumber).

Tidak hanya bagi para generasi muda, setiap orang dari berbagai latar belakang umur, budaya, status dan pekerjaan, dapat menjadi korban permasalahan mental yang disebabkan oleh stan culture.

Kasus Lesti Kejora dan Rizky Billar juga menjadi contoh bahwa stan culture dapat membuat orang menilai hubungan kedua selebritis itu sebagai cerminan kehidupan di dunia. Para istri merujuk pada perselingkuhan Rizki Billar, Adam Lavine dan Reza Arap dengan beranggapan bahwa bila itu dapat terjadi pada para selebritis yang 'sempurna' tersebut, maka sangat mungkin hal tersebut dapat menimpa mereka juga.

Padahal, kehidupan para selebritis tidak bisa dijadikan patokan bagi kehidupan masyarakat. Seperti yang dijelaskan di artikel Maya Nelson diatas, para artis dan selebritas atau bisa juga disebut public figure, memang tidak menunjukkan setiap sisi dalam kehidupan mereka.

Apa yang dipertontonkan di media sosial adalah apa yang mereka ingin perlihatkan. Hanya karena Adam Lavine terlihat romantis dengan istrinya di media sosial, bukan berarti itu yang sebenarnya terjadi. Inilah bukti yang kuat bahwa stan culture mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Banyak orang yang mulai meragukan sebuah hubungan dan konsep kesetiaan. Para istri mulai mencurigai suaminya tanpa alasan yang jelas dan hanya didasarkan pada ekposur kehidupan para artis artis.

Entah bagaimana dengan para penggemar figur politik yang sama-sama memuja tokoh-tokoh tersebut secara membabibuta. Apakah itu termasuk stan culture? Mungkin ya, karena pengaruhnya terhadap kesehatan kejiwaan atau mental health masyarakat juga sangat besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun