Tentu saja penelitian ini menjadi berkebalikan dengan konsep 'kebahagiaan' yang diusung para perempuan (atau laki-laki) Korea Selatan yang memutuskan untuk hidup sendiri. Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Bila dilihat lagi, tidak semua keputusan perempuan untuk hidup seorang diri, tanpa menikah, memang sejatinya karena independensi atau demi kebebasan yang merupakan konsep yang semakin populer di masa modern ini. Banyak dari perempuan di Korea Selatan dan Singapura pada dasarnya terpaksa untuk tidak menikah untuk menghindari kesukaran dalam bidang finansial dan tanggung jawab lainnya.
Kembali kepada pernyataan Cinta Laura mengenai keinginannya untuk tidak terikat pada konstruksi sosial dan memutuskan untuk menikah pada usia yang tidak ditentukan oleh masyarakat pada umumnya, atau tidak menikah sama sekali.
Yang ingin saya katakan adalah bahwasanya pernyataan Cinta Laura tersebut mungkin tidak ada salahnya, tetapi sesuai dengan konsep konstruksi sosial yang dipaparkan sebelumnya, timbullah pertanyaan. Apakah Cinta Laura yakin bahwa keputusannya itu adalah murni keinginan diri sendiri, atau pada dasarnya adalah bentuk dari keterpaksaan, atau lebih parah lagi adalah bentuk dari konstruksi sosial lainnya?
Begini. Di berbagai belahan dunia lain, di banyak negara maju dan modern, sudah ada perubahan sosial yang cukup radikal yang dapat dinilai baik secara positif maupun negatif. Sebut saja misalnya gerakan LGBTQ+ yang mulai dapat diterima di banyak negara dengan latar belakang budaya dan sosial yang berbeda. Banyak masyarakat pula yang telah menuntut dan menerima kesetaraan gender, dimana perempuan mendapatkan tempat yang setara dengan laki-laki.
Maka bisa dikatakan dunia juga perlahan membentuk konstruksi sosial yang baru. Nilai-nilai lama dipertanyakan, dipertentangkan dan diperbaharui. Muncul makna-makna baru untuk semua hal, dan itu tentu saja membutuhkan persetujuan dari kelompok masyarakat tertentu.
Cinta Laura saya rasa memang tumbuh di dalam lingkungan berpendidikan dan modern, mengingat latar belakang keluarga yang berbeda bangsa serta ia sendiri menuntut pendidikan Sekolah Menengah Atas di Jakarta International School dan pendidikan tinggi di Columbia University Amerika Serikat. Bisa jadi, latar belakang budayanya itulah yang membentuk Cinta Laura yang sekarang. Pernikahan mungkin tidak menjadi suatu topik atau isu yang penting untuk dibicarakan di lingkungannya.
Lebih jauh, jangan-jangan tidak menikah sebenarnya adalah sebuah tren yang terbentuk di beragam komunitas masyarakat dunia sebagai respons dari perubahan konstruksi sosial tersebut pula. Maka, saya bisa membayangkan apa yang Cinta Laura sebut sebagai konstruksi sosial juga sebenarnya terjadi di lingkungannya.
Tidak heran bila kelak pernikahan menjadi sesuatu yang dianggap kuno dan mewakili nilai-nilai tradisional. Bisa saja seorang perempuan yang memiliki pikiran ingin menikah di usia tertentu malah akan dicemooh oleh teman-teman dan lingkungannya. Tidak menikah, atau paling tidak, menikah tidak di usia yang dituntut masyarakat sebelumnya, akan menjadi sebuah tren dan mungkin keharusan bagi para perempuan bila ingin dinilai sebagai perempuan yang mandiri atau independen, cerdas dan bebas.
Ironis saya pikir.
Keputusan untuk tidak menikah adalah kehendak pribadi yang harus dihargai dan menurut saya prbadi sama sekali tidak bermasalah. Yang menjadi pertanyaan saya adalah, apakah keputusan tidak menikah sejatinya merupakan bentuk keterpaksaan dan pembenaran semata?