Secara pribadi, saya setuju dengan apa yang disampaikan Cinta Laura, bahwa usia pernikahan atau konsep pernikahan apapun ada dasarnya bersifat konstuksi sosial, atau pilihan yang disetujui masyarakat dan bukan bersifat wajib apalagi alami.
Di masa modern ini, konstruksi sosial seperti itu perlahan tetapi pasti sudah mulai dipertanyakan. Tidak hanya melalui gerakan semacam feminisme sampai queer, tetapi terjadi secara masif di beragam wilayah negara bangsa di dunia. Sebut saja di Korea Selatan, dimana beberapa tahun terakhir muncul sebuah tren bernama honjok dan bihon.
Honjok merujuk pada gaya hidup dimana orang-orang melakukan semua kegiatan sendirian, single, tanpa memedulikan pandangan orang lain. Sedangkan bihon adalah sebuah pilihan bagi perempuan Korea untuk tidak menikah dan hidup sendirian.
Begitu pula yang terjadi di Singapura (Sumber).Â
Makin banyak perempuan Singapura memutuskan untuk tidak menikah, dan angkanya semakin bertambah tiap tahun. Pada data yang saya ambil dari artikel tahun 2018, perempuan berusia 25 sampai 29 tahun yang menutuskan untuk tidak menikah naik sekitar 60.9 persen di tahun 2007 Â ke 68.1 persen tahun 2018.
Sedangkan perempuan-perempuan yang berumur lebih tua, 30 sampai 34 tahun, juga juga masih tetap tidak menikah. Angkanya meningkat sampai 3.9 persen dari tahun 2007 ke 2018. Perempuan berumur 40 sampai 44 tahun yang memutuskan tetapi single, angkanya sama meningkatnya sebanyak 3.9 persen.
Fenomena ini juga terjadi di banyak negara-negara besar dan maju, sebagai bentuk dari modernitas itu sendiri. Keputusan tidak menikah dianggap bentuk dari independensi perempuan yang sudah lepas dari kekakuan konstruksi sosial sebelumnya. Perempuan kini berhak bebas memutuskan cara dan jalan kehidupan mereka sendiri tanpa paksaan dari norma dan budaya masyarakat yang diciptakan sebelumnya. Negara-negara kaya dan maju menggambarkan keputusan independesi perempuan ini sebagai bentuk kecerdasan pula.
Di sisi lain, menilik kasus Korea Selatan dan Singapura, para perempuan yang memutuskan untuk tidak menikah memiliki alasan-alasan lain yang menjadi dasar keputusan mereka untuk tidak menikah tersebut.
Di Korea Selatan, ada gender gap inequality dalam bidang pendapatan, bahkan dilansir dari Glass Ceiling Index oleh The Economist, perbedaan gaji berdasarkan gender ini adalah yang terburuk diantara negara-negara OECD (The Organisation for Economic Co-operation and Development).
Para perempuan Korea Selatan memutuskan untuk tidak menikah karena enggan memiliki keluarga dan anak karena biaya yang sangat tinggi. Selain itu, perempuan akan berada di dalam posisi yang tidak menguntungkan ketika menikah kelak, misalnya posisi mereka yang selalu inferior dibandingkan para lelaki hampir di segala bidang.
Uniknya, secara ironis, menurut penelitian dalam bidang psikiatri dan kesehatan mental oleh peneliti-peneliti Korea Selatan, Myung Hun Kim, Ji Hyun An dan rekan-rekan berjudul Social Isolation, Loneliness and Their Relationships with Mental Health Status in South Korea, dari 1.700 sampel yang dipilih dari beberapa kota besar di Korea Selatan, disimpulkan bahwa isolasi sosial dan kesepian yang diakibatkan oleh kehidupan single atau tidak menikah -- yang semakin meningkat di Korea Selatan -- berdampak erat pada depresi, gejala fobia sosial dan angka bunuh diri (yang memang marak pula terjadi di negara tersebut). (sumber)