Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Menilik Kerangka Gender, Genre, dan Globalisasi yang Membentuk Sinema Bertajuk Superhero

21 Juli 2022   08:02 Diperbarui: 29 Juli 2022   04:30 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Film-film bertajuk superhero, orang-orang dengan kekuatan istimewa yang bertarung melawan kejahatan dan dipenuhi dengan adegan-adegan aksi bertabur teknologi CGI (Computer-Generated Imagery), telah mendulang kesuksesan besar dalam dunia bisnis dan hiburan. 

Akibatnya, kebutuhan yang meningkat akan film-film bertema superhero dua puluh tahun terakhir ini membuat film-film yang sampai sekarang masih dikuasai Marvel dan DC ini tidak lagi dianggap sebagai bagian dari bisnis hiburan semata. 

Banyak film-film superhero yang menawarkan semangat ideologi atau gerakan-gerakan tertentu, dari nasionalisme dan patriotisme, hak asasi manusia, kebebasan, feminisme sampai queer.

Interpretasi atas makna yang terkandung di dalam film-film superhero ini telah sampai pada taraf critical analysis. Seperti yang dijelaskan oleh William Palmer di bagian bab Introduction buku ini.

Semenjak kehadiran para New Historicists yang berargumentasi bahwa fakta-fakta sejarah adalah sesuatu yang lebih kompleks dibanding dengan yang digambarkan ahli-ahli sejarah konvensional, maka kenyataan sejarah itu sendiri sulit bahkan tidak mungkin diciptakan ulang, terutama di dalam penggambaran sinema atau karya sastra lainnya (halaman 4). 

Dengan pernyataan ini, menegaskan bahwa bahkan film bergenre fantasi seperti superhero ini pun diperlakukan dengan analisis dan kritik yang mendalam. 

Nilai moral, akurasi sejarah, logika dan ideologi menjadi bagian tak terlepas dari unsur-unsur intrinisik maupun ekstrinsik film-film superhero tersebut.

Buku yang ditulis dari generasi awal kesuksesan film-film superhero, jauh sebelum kesuksesan Avengers: Endgame (2019) atau Zack Snyder's Justice League (2021).

Ini terdiri atas tiga bagian utama: beragam esai yang membahas mengenai hubungan film-film superhero dengan globalisasi, gender dan genre.

Bab pertama yang ditulis oleh Anthony Peter Spanakos, menggunakan contoh film The Incredible Hulk (2008), Iron Man (2008), Iron Man 2 (2010) dan Avatar (2009). 

Ia menjelaskan dengan dengan cara yang apik bahwasanya keempat film berlatar superhero tersebut mengartikulasikan dengan baik dilema yang dihadapi Amerika setelah serangan terorisme 11 September tahun 2001 (9/11). 

Penokohan para superhero pemberontak terhadap kekuasaan ini seakan menggambarkan bentuk protes dan pertentangan antara pemerintah atau otoritas dan masyarakatnya. 

Bruce Banner dan Hulk sebagai bentuk alter ego nya, menjadikan negara sebagai musuh rakyatnya sendiri. Otoritas dengan kekuatan militernya mendisriminasi warga dengan latar belakang kecurigaan ras dan agama serta menempatkannya dalam alasan national security. 

Sumber foto:  amazon.com 
Sumber foto:  amazon.com 

Lebih jauh Tony Stark sebagai Iron Man dan Jake Scully di dalam avatar suku Na'Vi nya jelas merupakan gambaran pertentangan yang dihadapi Amerika secara global terhadap tuduhan imperialisme modern yang lagi-lagi disembunyikan dibalik alasan keamanan nasional negara.

Paruh kedua dan ketiga bab yang sama, esai oleh Johannes Schhlegel dan Frank Habermann (halaman 29-45) serta Christine Muller (halaman 46-59) mempertanyakan ambiguitas tema good vs evil di dalam film-film superhero yang diwakili oleh tokoh Batman dalam Batman Begins (2005) dan The Dark Knight (2008). 

Setelah kejadian 9/11 yang sangat memukul Amerika itu, bangsa Amerika seakan ingin sekali memercayai nilai-nilai mengnai kebaikan yang pasti akan menang melawan kejahatan. 

Namun gambaran tentang batasan yang kabur antara yang baik dan yang jahat, kembali membuat mereka mempertanyakan segala posisi Amerika dalam kancah perpolitikan global.

Bagian kedua buku ini adalah ranah isu gender dan feminisme. Betty Kaklamanidou melihat bahwa film pun masih membawa serta konsep patriarkal dalam Mythos, yang menurut Roland Barthes, "which is constructed to uphold its hegemonic interests and perpetuated via the widely popular film medium," (Halaman 62-63). 

Ia kemudian mencoba menganalisa lintasan para superhero perempuan (superheroine) di empat film X-Men: X-Men (2000), X2: X-Men United (2003), X-Men: The Last Stand (2006), dan X-Men Origins: Wolverine (2009).

Walaupun memiliki kemampuan super yang luar biasa, tetap saja dilucuti tidak hanya kekuatannya, namun juga presence-nya di dalam film-film tersebut oleh, tentu saja, kekuatan patriarkal.

Tidak kalah menarik, Richard J. Gray II, menulis tentang superheroine yang hampir selalu dikaitkan dengan image pesona seksualitas dan 'hotness' mereka. 

boredpanda.com
boredpanda.com

Para superhero perempuan selalu digambarkan dengan keseksian mereka secara heteroseksual. Ini menyebabkan seakan-akan film-film superhero adalah sebenarnya diperuntukkan untuk konsumsi para pria. 

Namun,di esai berikutnya, Christina Adamou menyasar tema evolusi penggambaran maskulinitas di film-film superhero. Ia mengambil contoh film Hancock (2008) dan menganalisanya dengan pendekatan semiotika.

Di film tersebut, tidak hanya superheroine yang harus tunduk pada struktur masyarakat yang memaksa seorang perempuan untuk tetap inferior di bawah kaum laki-laki, seperti menjadi istri dan berada di rumah mengurus anak, tetapi juga laki-laki yang dilarang menunjukkan kelemahannya. 

Maskulinitas Hancock sang superhero dalam film ini dipertanyakan, karena ia memiliki kelemahan, kehidupan yang tidak terhormat untuk seseorang dengan kemampuan istimewa serta perilaku yang kurang terpuji.

Bagian terakhir dari buku ini mengetengahkan tentang genre di dalam film-film superhero itu sendiri. 

Namun, alih-alih sekadar menjelaskan aliran-aliran dalam jenis film ini, esai-esai di bagian ketiga buku ini malah lebih mencoba untuk menjelaskan tentang konsep hero (pahlawan) dan heroism (kepahlawanan). 

Misalnya esai pertama oleh Vincent M. Gaine mengunakan Batman sebagai titik tolak penjelasan mengenai ciri-ciri superhero, baik fisik, kekuatan, ciri khas, maupun perspektif mereka tentang moral, kebaikan dan kejahatan atau hukum dan keadilan, misalnya.

Bagian kedua, menggunakan contoh film Spider-Man franchise dan Kick-Ass, Sang penulis esai, Justin S. Schumaker genre film superhero yang memokuskan pada perkembangan karakter dalam hal kedewasaan, tanggung jawab serta identitas. 

Di sini, perjuangan pribadi seorang superhero didiskusikan lebih mendalam, terutama mengenai konsep heroisme yang dianutnya dan masalah-masalah psikologis atau kepribadian yang dialaminya.

Lebih jauh, Phillip Davis di esai berikutnya yang berjudul The Watchmen, Neo-Noir and Pastiche (Halaman 144), menyorot film superhero beraliran neo-noir, yaitu The Watchmen (2009).

Sekali lagi, itu merupakan pengejawantahan tragedi 9/11, dimana keraguan, misteri dan pertanyaan-pertanyaan besar menjadi bagian utama permasalahan para superhero. Bahkan termasuk code and conduct yang mereka maknai sebagai para pembela kebenaran dan keadilan.

Esai paling terakhir dari bagian ketiga buku ini, oleh Shariar Fouladi, khusus membahas Smallville (2001), sebuah serial televisi mengenai Superman yang dibawakan dengan gaya remaja. 

Di sini, konsep heroisme dilihat melalui kacamata remaja yang sedang dalam masa pubertasnya. Clark Kent harus berjuang tidak hanya melawan villain, atau musuh-musuhnya, melainkan juga diri sendiri yang sebenarnya adalah yang paling berbahaya. 

Bisa dikatakan, genre film superhero semacam ini menitikberatkan pada identitas diri, termasuk nilai-nilai apapun yang dipercayai oleh sang superhero.

Film-film superhero yang memang digawangi oleh industri perfilman Amerika Serikat nampaknya merupakan dampak langsung dari fenomena pemikiran masyarakat Amerika sendiri terhadap kejadian 9/11 yang memang cukup traumatis tersebut. 

Pemikiran ulang tentang nilai-nilai kebangsaan seperti freedom of speech, Hak Asasi Manusia dan rasisme sepertinya mengejawantah di dalam karya-karya film superhero dua dasawarsa terakhir.

Maka, bisa dikatakan bahwa buku ini masih sangat relatable dengan keadaan satu dekade setelah ia diterbitkan. Film-film superhero merajai papan box office dan menjadi sesuatu yang fenomenal serta masuk ke ranah perbincangan tidak hanya industri hiburan dan seni, namun juga ideologi, filsafat, bahkan sosial dan politik. 

Bisa dipahami, ketika sebuah film superhero dirilis, pembahasan bahkan perdebatan mengenai film ini ramai di dunia maya. 

Dari tema black lives and culture seperti pada Black Panther (2018), feminisme pada Wonder Woman (2017) atau Captain Marvel (2019), serta Homoseksualitas di serial The Umbrella Academy (2019) dan The Boys (2019). 

Buku ini seakan menunjukkan bahwa identitas, permasalahan dan dilema bangsa Amerika digambarkan dengan gamblang melalui film-film superhero. 

Bagaimana tidak, Amerika Serikat selama puluhan tahun sudah memosisikan diri mereka sebagai polisi dan penyelamat dunia. 

Bisa dikatakan, Amerika Serikat merasa sebagai superhero itu sendiri yang melawan musuh serta selalu bergumul dengan masalah dirinya sendiri.

Judul: The 21st Century Superhero. Essays on Gender, Genre and Globalization in Film.
Editor: Richard J. Gray II dan Betty Kaklamanidou
Penerbit: McFarland & Company, Inc. Publishers
Tahun Terbit: 2011
Halaman: 204 (plus Index)
ISBN: 978-0-7864-6345-9
Bahasa: Inggris

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun