Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

Menilik Kerangka Gender, Genre, dan Globalisasi yang Membentuk Sinema Bertajuk Superhero

21 Juli 2022   08:02 Diperbarui: 29 Juli 2022   04:30 1097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih jauh, Phillip Davis di esai berikutnya yang berjudul The Watchmen, Neo-Noir and Pastiche (Halaman 144), menyorot film superhero beraliran neo-noir, yaitu The Watchmen (2009).

Sekali lagi, itu merupakan pengejawantahan tragedi 9/11, dimana keraguan, misteri dan pertanyaan-pertanyaan besar menjadi bagian utama permasalahan para superhero. Bahkan termasuk code and conduct yang mereka maknai sebagai para pembela kebenaran dan keadilan.

Esai paling terakhir dari bagian ketiga buku ini, oleh Shariar Fouladi, khusus membahas Smallville (2001), sebuah serial televisi mengenai Superman yang dibawakan dengan gaya remaja. 

Di sini, konsep heroisme dilihat melalui kacamata remaja yang sedang dalam masa pubertasnya. Clark Kent harus berjuang tidak hanya melawan villain, atau musuh-musuhnya, melainkan juga diri sendiri yang sebenarnya adalah yang paling berbahaya. 

Bisa dikatakan, genre film superhero semacam ini menitikberatkan pada identitas diri, termasuk nilai-nilai apapun yang dipercayai oleh sang superhero.

Film-film superhero yang memang digawangi oleh industri perfilman Amerika Serikat nampaknya merupakan dampak langsung dari fenomena pemikiran masyarakat Amerika sendiri terhadap kejadian 9/11 yang memang cukup traumatis tersebut. 

Pemikiran ulang tentang nilai-nilai kebangsaan seperti freedom of speech, Hak Asasi Manusia dan rasisme sepertinya mengejawantah di dalam karya-karya film superhero dua dasawarsa terakhir.

Maka, bisa dikatakan bahwa buku ini masih sangat relatable dengan keadaan satu dekade setelah ia diterbitkan. Film-film superhero merajai papan box office dan menjadi sesuatu yang fenomenal serta masuk ke ranah perbincangan tidak hanya industri hiburan dan seni, namun juga ideologi, filsafat, bahkan sosial dan politik. 

Bisa dipahami, ketika sebuah film superhero dirilis, pembahasan bahkan perdebatan mengenai film ini ramai di dunia maya. 

Dari tema black lives and culture seperti pada Black Panther (2018), feminisme pada Wonder Woman (2017) atau Captain Marvel (2019), serta Homoseksualitas di serial The Umbrella Academy (2019) dan The Boys (2019). 

Buku ini seakan menunjukkan bahwa identitas, permasalahan dan dilema bangsa Amerika digambarkan dengan gamblang melalui film-film superhero. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun