Mohon tunggu...
Nikodemus Yudho Sulistyo
Nikodemus Yudho Sulistyo Mohon Tunggu... Dosen - Menulis memberikan saya ruang untuk berdiskusi pada diri sendiri.

Saya bergabung di Kompasiana sekedar untuk berbagi mengenai beragam hal. Saya menyenangi semua yang berhubungan dengan bahasa, sosial, budaya dan filosofi. Untuk konten yang berhubungan dengan kritik sastra, dapat juga ditonton di kanal YouTube saya yang bisa diklik di link profil.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tanjidor dan Keroncong adalah Budaya Musik Asing? Sebuah Refleksi tentang Kesempatan dan Kemerdekaan bagi Generasi Muda untuk Menciptakan Budaya

20 Juni 2022   18:31 Diperbarui: 20 Juni 2022   19:02 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://majalahmanajemen.com/wp-content/uploads/2019/05/mengenal-gen-z-gbr-1400x552.png

Mari kita kembali pada kisah Tanjidor sebagai salah satu analogi saya untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Budaya kesenian Tanjidor pertama kali masuk ke Indonesia (Nusantara) pada sekitar abad ke-18 yang saat itu dimainkan untuk mengiringi atau mengarak pengantin (Sumber). Ada pula yang mengatakan musik ini dibawa pada abad ke-19, tahun 1820 tepatnya oleh Augustijn Michiels yang lebih dikenal dengan nama Mayor Jantje (Sumber). 

Ia berasal dari Belanda dan membuat kelompok musik bernama Het Muziek der Papangers dimana para pemainnya adalah budak-budaknya sendiri yang merupakan orang-orang pribumi. Maka dari itu, musik Tanjidor sangat dipengaruhi oleh musik Eropa dalam penggunaan alat musiknya itu sendiri seperti trombone, terompet, klarinet, piston, drum dan simbal. Lebih jauh, kata tanjidor berasal dari bahasa Portugis 'Tangedor' yang berarti 'alat-alat musik berdawai.

Setelah perbudakan di Nusantara dihilangkan pada tahun 1860, budak-budak merdeka ini membentuk kelompok musik sendiri yang cara bermainnya tidak berubah meski pada perkembangannya mereka tidak merujuk sepenuhnya pada alat-alat musik 'Tangedor' yang cenderung merupakan alat musik berdawai.

Maka dari itu, timbul sebuah pertanyaan. Apakah generasi muda saat itu sungguh melestarikan budaya leluhur atau sejatinya adalah bentuk dari sebuah perkembangan dan perubahan zaman layaknya generasi-generasi setelahnya?

Saat ini bangsa Indonesia sedang digempur 'budaya asing' melalui perkembangan teknologi dan informasi serta Internet yang luar biasa pesat. Kekhawatiran bangsa dan generasi sebelumnya atas generasi muda yang kehilangan arah dan identitas semakin menjadi. Korean Pop Culture, budaya keterbukaan serta kebebasan yang sulit untuk dibendung dari Barat adalah sedikit dari contoh nyatanya. Generasi muda dianggap tidak lagi memerhatikan nilai-nilai luhur warisan leluhur, identitas bangsa dan tentu saja budaya itu sendiri. Mereka cenderung menerima budaya asing yang dianggap lebih keren, gaul, dan modern dibanding budaya bangsa sendiri yang sarat akan makna filosofi yang tinggi.

Akan tetapi, menilai dari sejarah Tanjidor, bukankah itu berarti di masa lalu, seni budaya ini juga bukan merupakan budaya bangsa yang sejati?

Bila kita membawa kasus ini di masa modern, bisa-bisa generasi pendahulu kita yang menjadi pemain Tanjidor awal mula akan dituduh sebagai generasi yang kebarat-baratan. Bukan hanya dari alat musik yang memang merupakan alat-alat musik dari Eropa, tetapi juga dari latar belakang agama dan keimanan mayoritasyang  masyarakat Indonesia peluk. Ini karena kesenian Tangedor di Portugis sendiri masih digunakan untuk mengikuti pawai-pawai keagamaan Katolik seperti pesta Santo Gregorius.

Penjelasan ini sepertinya juga bisa digunakan untuk beragam contoh lain. Sebut saja kesenian keroncong yang merupakan perpaduan budaya Barat dan Timur. Kesenian ini dibawa oleh orang Mestizos, atau campuran Portugis dan penduduk pribumi yang menjadi koloni pada tahun 1661 ke tanah Betawi. Tiga jenis gitar khas yang digunakan untuk memainkan musik ini diberi nama Jitera, Prunga dan Macina. Bunyi gitar yang terdengar 'krong-krong' dan 'crong-crong' ketika dimainkan menjadi cikal bakal nama keroncong sampai sekarang (Sumber).

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang, kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya. Dalam budaya ada adat istiadat, bahasa, karya seni, sistem agama dan politik (Sumber).

Dari penjelasan ini, bisa dipahami bahwa budaya memerlukan proses perkembangan. Maka, di dalam pembentukan budaya tersebut ada asimilasi, akulturasi dan proses-proses lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun