Meski kasus Johnny Depp dan Amber Heard masih berlangsung di persidangan dan belum diputuskan secara hukum siapa yang kalah atau bersalah, sudah ada beberapa fakta yang terungkap.Â
Sejak tulisannya di Washington Post pada bulan Maret 2019 yang menyatakan bahwa selama pernikahan mereka, Amber Heard kerap mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh sang suami, Johnny Depp harus menderita berbagai macam kerugian, terutama pemutusan kontrak sepihak dari Walt Disney Company dalam industri perfilmannya.Â
Sebagai hasilnya, Johnny Depp menuntut sang mantan istri sebanyak US$50 juta atau setara dengan Rp. 715,26 miliar karena mencemarkan nama baiknya.
Fakta-fakta mengejutkan menunjukkan bahwa kemungkinan besar malah Amber Heard yang melakukan kekerasan pada Johnny Depp. Sebuah rekaman yang diputar menjelaskan bahwa Heard lah yang sebenarnya memukul dan melakukan beragam kekerasan kepada Depp. Dalam hal ini dicurigai Heard memang melakukan banyak kebohongan dan berlaku drama dalam kasus ini.
Kekerasan di dalam rumah tangga bagi kita sebenarnya bukan hal yang asing. Di Indonesia Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), sepanjang tahun 2004-2021 mencatat ada sebanyak 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga atau ranah personal. (Sumber).Â
KDRT secara umum didefiniskan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau/penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. (Sumber)
Yang unik dalam definisi ini adalah catatan mengenai frasa 'terutama perempuan'. Bahkan ketika saya search di laman Google, halaman pertama menampilkan definisi KDRT yang diberikan oleh Komnas Perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa di Indonesia, KDRT hampir selalu diidentifikasikan sebagai beragam kekerasan yang dilakukan laki-laki sebagai suami kepada perempuan sebagai istrinya.
Bila menilik definisi KDRT menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), KDRT yang dalam bahasa Inggris disebut domestic abuse atau domestic violence, secara umum memiliki penjelasa yang serupa, hanya dengan tambahan,
 "Domestic abuse can happen to anyone of any race, age, sexual orientation, religion, or gender. It can occur within a range of relationships including couples who are married, living together or dating. Domestic violence affects people of all socioeconomic backgrounds and education levels." (Sumber)
Dalam penjelasan di atas saya melihat ada perbedaan dalam skala budaya dan nilai, dimana secara umum KDRT dapat terjadi tidak hanya di dalam rumah tangga yang legal secara hukum, namun juga segala bentuk hubungan, termasuk tinggal bersama atau bahkan sekadar berkencan/pacaran.
Selain itu, istilah 'terutama perempuan' bertolak belakang dengan definisinya, yang menjelaskan bahwa KDRT dapat terjadi pada segala jenis gender atau jenis kelamin.
Satu hal yang mungkin tidak akrab bagi kita, sesuai dengan latar belakang budaya dan sejarah pula, sepertinya KDRT terhadap kaum laki-laki sangat jauh dari pantauan. Hampir tidak bisa diterima bila seorang suami, misalnya, melaporkan KDRT yang dilakukan oleh sang istri.Â
Sebenarnya ini juga terjadi pada kasus Johnny Depp vs Amber Heard, dimana di dalam sebuah rekaman, setelah melakukan kekerasan fisik terhadap Depp, Heard juga mengancam dan melakukan kekerasan verbal dengan menantang Depp untuk mengatakan hal ini kepada dunia.Â
Heard yakin bahwa ia akan lebih dipercaya dibanding Depp karena ia adalah seorang perempuan yang lebih mungkin mendapatkan kekerasan dibanding Depp yang logikanya adalah seorang laki-laki yang jauh lebih kuat secara fisik dibanding dirinya.
Tidak main-main, terbukti bahwasanya image kelemahan seorang perempuan ini diterima dengan cepat oleh publik, sampai-sampai perusahaan Walt Disney memutuskan memutuskan kontrak dengan Johnny Depp sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan antikekerasan, terutama terhadap perempuan.
Laki-laki memang menurut penelitian memiliki harapan hidup yang lebih pendek dibanding perempuan. Menurut Harvard Health Publishing dari Harvard Medical School, rata-rata perempuan memiliki kecenderungan lima tahun hidup lebih lama dibanding laki-laki, di Amerika, sedangkan secara global, perempuan memiliki umur tujuh tahun lebih lama dibanding laki-laki (Sumber).
Ini karena beberapa alasan. Secara biologis, laki-laki memiliki lobus frontal di otak (bagian untuk bernalar dan mengambil keputusan) yang tumbuh lebih lambat dibanding perempuan. Ini membuat laki-laki memiliki kecenderungan tinggi menjadi korban kekerasan, kecelakaan dan pembunuhan.Â
Laki-laki juga memiliki kencenderungan memiliki pekerjaan yang berbahaya, termasuk sebagai tentara, pemadam kebakaran atau bekerja di konstruksi bangunan. Ini karena laki-laki dianggap memiliki fisik yang lebih kuat dibanding perempuan.Â
Alasan lain berhubungan dengan keadaan psikologis, dimana laki-laki lah yang paling banyak melakukan tindakan bunuh diri karena depresi. Laki-laki juga adalah korban penyakit jantung terbesar, yang lagi-lagi juga memiliki pengaruh psikologis yang signifikan.
Fakta bahwa umur laki-laki lebih pendek dibanding perempuan harusnya memberikan kita beberapa pelajaran.
Laki-laki selama berabad-abad seakan dirancang untuk menjadi pemimpin dan melakukan banyak perubahan. Peperangan yang dikobarkan kaum laki-laki pada nantinya menciptakan apa yang dinamakan negara, nasionalisme, demokrasi, sistem ekonomi, bahkan kemajuan dan peradaban.Â
Laki-laki kemudian dibentuk secara khusus oleh keadaan sosial untuk menjadi sosok yang kuat dan tangguh. Tugas laki-laki adalah untuk menguasai dunia dan menaklukkan perempuan sekaligus melindunginya. Ini tercermin hampir di seluruh budaya dunia.
Laki-laki kemudian kerap dituduh sebagai orang yang memiliki kemampuan dan kecenderungan untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan yang dianggap inferior dan lemah dibanding mereka. Memang, hal ini tidak bisa dinafikan atau diingkari.Â
Dalam banyak kasus, laki-laki memegang peranan sentral dalam beragam bentuk kekerasan. Tidak hanya terhadap perempuan, tapi juga terhadap laki-laki lain -- misalnya perampokan, perkelahian, atau pembunuhan.
Budaya dan anggapan seperti itu pada akhirnya menciptakan gender yang kuat di luar dan rapuh di dalam. Laki-laki selama berabad-abad harus menanggung beban ini. Laki-laki dilarang menangisi hal-hal sepele, karena itu menunjukkan kelemahan mereka.Â
Laki-laki akan dituduh sebagai seorang banci bila sampai terlihat lemah. Dalam percekcokan dengan perempuan, misalnya, laki-laki jelas tidak boleh kalah atau terlihat kalah. Maka, KDRT hampir tidak mungkin terjadi pada seorang laki-laki karena anggapan ini.
Johnny Depp yang kerap memainkan peran yang begitu manly dan macho di dalam film-filmnya, tentu tidak memungkinkan ia menjadi sasaran kekerasan di dalam rumah tangga oleh seorang perempuan. Padahal, fakta di persidangan menunjukkan hal yang sebaliknya. Depp tidak hanya mendapatkan kekerasan fisik -- dimana ia tidak membalasnya -- namun juga verbal.
Nah, khusus kekerasan verbal, ini lebih susah lagi untuk diterima masyarakat dengan latar belakang budaya seperti kita. Ucapan padahal juga dapat menyakiti lebih dari tindakan fisik.
Sebagai contohnya, seorang istri menyumpahserapahi suami karena uang belanja yang kurang, atau secara seksual dianggap kurang memuaskan, bisa pula karena hal-hal yang lebih sepele lainnya. Ucapan-ucapan ini akan mengendap di dalam hati laki-laki dan mengakibatkan permasalah psikologis seperti depresi bahkan bunuh diri.Â
Sebabnya, karena banyak laki-laki kerap tidak bisa melakukan apa-apa sebagai respon atau menanggapi kata-kata menyakitkan pasangan mereka tersebut, apalagi melaporkannya.
Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk membuka wawasan dan perspektif tentang Kekerasan secara umum dan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga secara khusus. Hastag #justiceforjohnnyedepp harusnya menjadi salah satu pioneer dalam gerakan justiceformen juga.Â
Kebohongan-kebohongan Amber Heard yang secara sengaja menggunakan kelemahan laki-laki dan keunggulan perempuan di mata publik itu sudah harus dibuka selebar-lebarnya. Amber Heard lies can't be unheard.Â
Bahkan secara pribadi, saya ingin melihat kaum feminis yang mengklaim berjuang demi equality untuk ikut andil dalam kasus ini dan bersuara keras, sebagai bentuk pemahaman mereka atas hak yang sama atas laki-laki maupun perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H