Di lingkungan pendidikan ini, Livy tentu saja akrab dengan penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi sehari-hari serta dituntut berpikir dan berperilaku secara global karena harus berinteraksi dengan siswa-siswa lain yang berasal dari berbagai negara dan bangsa pula.
Sekali lagi, melihat latar belakang Livy yang telah dijelaskan, bisa dimaklumi bahwa 'kepolosan' Livy memang berasal dari ketidakmampuannya melihat keadaan yang ada dan keterbatasannya akan informasi itu sendiri. Kepolosannya bukan karena ia 'innocent', melainkan memang tidak akrab dengan hal-hal yang tidak pernah ada di dalam circle atau kehidupannya.
Saya ragu Livy menciptakan imej polosnya dengan sengaja. Sebaliknya, media lah yang melakukannya.
Kata media merujuk pada semua jenis saluran (channel) komunikasi. Ini berarti termasuk apapun dari kertas cetak sampai data digital. Tidak hanya sampai disitu, media juga termasuk karya seni yang memang memiliki makna dan bertujuan mengomunikasikan sesuatu, berita, konten-konten pendidikan dan lain sebagainya. Semuanya yang dapat mencapai atau mempengaruhi orang termasuk telepon, televisi, serta internet adalah bentuk dari media.
Pada tahun 1947, Max Hokheimer dan Theodor Adorno menerbitkan buku berjudul Dialektik der Aufklrung:Philosophische Fragmente, yang diterjemahkan ke dalam bahwa Inggris pada tahun 1972 dengan judul Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments.Â
Dalam buku ini, mereka membahas dengan apa yang mereka sebut dengan culture industry. Culture industry adalah hasil proses sejarah dimana akibat dari perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi massa, maka ada peningkatan kemampuan memproduksi komoditas. Tentu saja peningkatan kemampuan memproduksi komoditas ini meningkatkan konsumsi barang pula.
Nah, menurut Hokheimer dan Adorno, media seperti televisi dan radio, misalnya, adalah produk dari budaya -- cultural products - yang direproduksi secara mekanis. Produk budaya ini menciptakan formula mengenai konten-konten media yang bersifat entertainment atau hiburan belaka.Â
Masyarakat sebagai konsumen tidak mempertanyakan tujuan dari hiburan tersebut, mereka bahkan tidak paham lagi apa yang mereka inginkan. Hiburan yang mereka saksikan dan nikmati di media tidak merefleksikan kepentingan sosial, politik atau ekonomi mereka, sebaliknya mereka dibutakan oleh produk-produk tersebut sehingga tidak mampu mempertanyakan sistem yang ada.Â
Selanjutnya, media akan terus mereplikasi hiburan demi keuntungan dan ekspansi produksi dan konsumsi.
Dalam hal ini, media yang berupa konten-konten podcast dan wawancara di YouTube, televisi dan media internet lain, misalnya, menciptakan hiburan bagi para konsumen. Imej yang sudah terlanjut tercipta dan tersemat pada Livy akan terus direplikasi agar konten tersebut dikonsumsi terus-menerus. Pada akhirnya akan memberikan keuntungan pada dominant system, dalam hal ini adalah YouTuber, stasiun televisi dan penggiat media sosial seperti Instagram atau Tik Tok.
Livy Renata bukan seorang gadis polos dan lugu layaknya seorang anak kecil. Bisa dipastikan ia hidup dengan segala fasilitas dan kebutuhan yang terpenuhi dengan mudahnya. Di media sosial bisa disaksikan bahwa Livy sangat akrab dengan dugem -- dunia gemerlap, clubbing -- dan party yang merupakan bagian dari dunianya.