Nah, gejala bahasa ini disebut sebagai gaya bahasa atau majas metonimia pada ranah ilmu Semantik, atau cabang dari ilmu bahasa atau Linguistik yang membahas mengenai makna kata. Metonimia, atau metonymy dapat didefinisikan sebagai: “A figure of speech used in rhetoric in which a thing or concept is not called by its own name, but by the name of something intimately associated with that thing or concept.” Atau juga secara sederhana dapat dijelaskan, “Majas yang menggunakan ciri atau lebel dari sebuah benda untuk menggantikan benda tersebut.” Dalam hal ini kedua definisi menunjukkan bahwa gaya bahasa metonimia ini menggunakan kata untuk menunjukkan sesuatu tetapi dengan ciri atau hal yang berasosiasi atau berhubungan erat dengan hal yang ingin kita sampaikan. Dalam hal ini bisa saja merk dagang yang sudah terlanjur melekat pada produk deororan misalnya, seperti dalam kasus saya dan pelayan toko. Atau dapat pula dengan hal-hal lain. Sebagai contoh, penggunaan kata Rinso yang merujuk pada semua jenis deterjen, Aqua pada semua jenis minuman botol, atau Baygon untuk menjelaskan semua jenis obat nyamuk.
Tentu saja, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa penggunaan merk-merk tersebut adalah pelabelan pada sebuah benda atau hal dengan ciri yang paling terkenal dan terlanjut melekat. Contoh lain adalah kata Hollywood yang merujuk pada semua film Amerika, karena memang Amerika terkenal dengan Hollywood-nya yang merupakan salah satu sumber bisnis film Amerika dan dunia, meskipun belum tentu semua film Amerika dibuat di dan oleh Hollywood.
Namun, ternyata gejala bahasa ini kadang tidak sesederhana kasus saya. Saya memiliki sebuah kasus metonimia yang melibatkan fenomena sosial, terutama di Pontianak [saya menggunakan kata ‘fenomena’ untuk merujuk pada bentuk jamak, karena dipinjam dari bahasa Inggris: Phenomena (tunggal) dan phenomenon (jamak)]. Fenomena ini berhubungan dengan pola pikir, asosiasi dan konotasi bahasa.
Dijelaskan oleh J.M.M. Verhaar dalam bukunya Asas-Asas Lingustik Umum, pemakaian bahasa yang berdasarkan asosiasi tertentu dikenal sebagai metonim atau metonimis, dimana pemakaian bahasa’nonkanonik’ atau ‘nonliteral’ ini bukan bereferensi pada bentuk fisik atau yang terlihat dari sebuah benda atau hal yang dirujuk, melainkan pada asosiasi atau hal-hal yang lain yang melekat padanya. Gejala bahasa ini juga dapat disebuat sebagai denotasi yang merujuk pada sebuah kata tertentu dan konotasi atau akibat yang mucul pada penutur akibat penilaian afektif atau emosional [Verhaar, 2001]. Misalnya, kata ‘penjara’ adalah denotasi, yaitu sebuah penjara yang berbentuk fisik, sebuah tempat hukuman para pelaku kriminal. Sedangkan konotasi kata ‘penjara’ adalah bersifat negatif, yaitu keadaan atau tempat dimana seseorang merasa menderita dan tidak bebas.
Nah, berikut ini adalah sebuah kasus kehidupan sosial, khususnya di Pontianak, Kalimantan Barat, yang melibatkan metonimia, denotasi dan konotasi.
Pontianak dan Kalimantan Barat secara umum terdiri atas beragam kelompok etnis. Tercatat etnis dayak, melayu dan tionghoa sebagai kelompok etnis terbesar. Sedangkan terdapat pula etnis bugis, madura, batak dan jawa yang juga memiliki porsi yang tersebar. Saya kerap sekali mendengar penggunaan bahasa yang merujuk pada suku dan agama namun dengan asosiasi yang tidak terlalu tepat. Misalnya penggunaan kata Melayu yang berasosiasi pada semua [atau hampir semua] orang yang memeluk agama Islam, sedangkan kata Cina yang berasosiasi dengan semua orang dengan latar belakang keturunan etnis tionghoa dan nonmuslim. Jadi tidak heran bila seseorang dapat saja mengatakan, “Si Aheng bukan Islam, dia Cina.” Atau, “Dia Cina, tapi Islam.” Sehingga dapat pula terjadi sebuah ekspresi seperti “Dia Cina masuk Islam,” atau “Dia Melayu masuk Kristen” untuk menjelaskan mengenai konversi agama dari seseorang dengan latar belakang etnis tertentu ke agama lain.
Padahal menurut logika semantis atau sense relation menurut Palmer [Semantics, Palmer, 1991], ada dua hal yang tidak logis dalam pemakaian bahasa ini:
- Agama tidak langsung berhubungan dengan suku tertentu. Memang bisa saja mayoritas etnis tionghoa beragama nonmuslim, seperti Kristiani, Konghucu, Buddha atau Tao. Namun tidak sedikit pemeluk agama Islam dari etnis tionghoa, apalagi bila melihat fakta sejarah bahwa etnis tionghoa termasuk kelompok etnis penyebar agama Islam di Indonesia [silahkan lihat buku berjudul Runtuhnya Majapahit dan Munculnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia terbitan LKiS Yogyakarta].
- Istilah Melayu kemudian menjadi rancu dan tidak tepat karena merujuk pada agama Islam, padahal penganut agama Islam yang dirujuk pada kenyataannya banyak pula yang dari etnis bugis, atau bahkan padang, madura dan sebagainya. Ini serupa dengan kasus sewaktu saya di Yogyakarta, dimana almarhumah mbah putri [nenek] yang sulit berbahasa Indonesia menggunakan istilah jowo [jawa] untuk merujuk pada orang-orang Indonesia, tak peduli dari beragam etnis di pulau Sumatra, Kalimantan, atau Sulawesi. Nenek saya hanya mengenal londo [untuk orang-orang kausasia, atau dikenal dengan ‘bule’, mungkin kata londo berasal dari kata ‘Belanda’], irian [untuk orang-orang dari daerah timur Indonesia], cino [etnis tionghoa, mungkin juga bagi orang-orang dari negara Jepang, Korea, bahkan mungkin Vietnam, Mongolia atau orang-orang dengan ciri serupa], dan jowo [seperti yang saya jelaskan sebelumnya].
Dari penjelasan ini, dapat dilihat bahwa kata Cina yang merujuk pada etnis tionghoa adalah denotasi, yaitu merujuk pada seseorang atau kelompok orang dengan ciri fisik etnis tionghoa, seperti kulit putih, mata sipit, rambut lurus, termasuk bahasa dan budaya khas. Sedangkan kata Cina berkonotasi lebih pada reliji, yaitu nonmuslim. Sedangkan kata Melayu adalah denotasi yang merujuk pada semua orang [atau banyak orang] dengan ciri-ciri ‘non-tionghoa’ dan memiliki konotasi sebagai pemeluk agama Islam dan non-Kristiani, meskipun ternyata tidak sedikit yang kadang-kadang dapat membedakan dengan jelas istilah Melayu dengan Jawa atau Madura dan mengkonotasikannya lagi dengan hal yang berbeda [tidak saya bahas disini]. Kristen kemudian dikonotasikan dengan etnis dayak atau tionghoa, sehingga etnis dayak pun memiliki asosiasi yang erat dengan non-muslim, atau Kristiani tepatnya. Sebagai contoh, dalam sebuah percakapan dapat saja terjadi hal seperti ini:
A: “Dia beragama apa, Melayu atau Dayak?”
B: “Dia Dayak?”
Dalam hal ini, pembicara A telah mendapatkan jawaban, yaitu pasti bahwa orang yang sedang mereka bicarakan pastilah beragama Kristiani, atau paling tidak nonmuslim. Percakapan yang bila ditilik dan dianalisis dengan baik ini kemudian sebenarnya terdengar rancu. Kerancuan ini kemudian karena telah terbiasa dalam kehidupan sosial masyarakat, menjadi tidak rancu lagi, atau bisa dijelaskan bahwa metonimia ini tidak menjadi metonimia lagi. Walaupun ada pernyataan seperti “Dia dayak bukan Islam,” “Dia cina, bukan Islam,” “Dia dayak masuk Islam,” “Dia cina masuk Islam,” “Dia melayu masuk Kristen,” tidak ada pernyataan seperti “Dia melayu masuk cina,” atau “Dia melayu masuk dayak.” Ini dikarenakan kesadaran yang ‘mendua’ bahwa etnis tidak mungkin diubah, sedangkan agama dapat terjadi konversi. Tetapi sulit disadari bahwa agama tidak selalu melekat pada etnis, sehingga dengan menyatakan bahwa seseorang berasal dari etnis melayu sudah pasti dia merupakan seorang muslim, dan sebaliknya, seseorang berasal dari etnis dayak, cina atau etnis lainnya [yang membawa konotasi dan asosiasi nonmulsim], pastilah ia nonmuslim.