Perusahaan minyak asing AS, Inggris dan negara lain tetap beroperasi tetapi harus tunduk pada kontrol pemerintah. Proyek politik ganyang Malaysia mendorong pemerintah lebih ketat mengawasi perusahaan migas asing. Kebijakan ini diterjemahkan dalam Keputusan Kabinet Dwikora No. Aa/D/26/1965 yang menempatkan Caltex, Shell dan Stanvac di bawah pengawasan sementara Pemerintah Republik Indonesia. Alasan Pertahanan dan pembangunan berada di balik pengawasan tersebut.
Dalam surat kepada Caltex, Stanvac, PAN AM dan Shell, Â 19 Maret 1967, Â Wakil Perdana Menteri 3, Chairul Saleh menulis bahwa "Pemerintah menyadari tanggungjawabnya dan mengakui vitalnya peran industri perminyakan dalam pembangunan dan pertahanan negara. Khususnya pada tahap ini ada kebijakan konfrontasi kami dengan proyek "Malaysia". Pemerintah harus melindungi kepentingannya dan pada saat bersamaan, dalam derajat tertentu, memenuhi aspirasi dan potensi dari rakyat"
Kontrol negara tetap kuat di bawah pemerinntan Suharto. Â Sementara UU No.1/1967 membuka invetasi asing di sektor lain, sektor migas tetap dalam kontrol negara. Pasal 7 UU tersebut mengatur pertambangan migas perusahaan asing melalui kontrak karya. Kontrol negara atas migas diperkuat UU No. 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Negara (PERTAMINA).
UU baru ini  memperkuat penguasaan negara atas eksplorasi, ekploitasi, penyulingan, distribusi dan pemasaran migas. Poin a bagian pertimbangan UU ini menyebutkan bahwa "minyak dan gas bumi adalah bahan galian strategis, baik untuk perekonomian negara maupun untuk kepentingan pertahanan dan keamanan nasional".
Negara diwakili Pertamina. Dengan demikian, kedudukan Pertamina di atas perusahaan asing. Dalam pidato peresmian rumah sakit Pertamina, 6 Januari 1972, Suharto memberi dua tugas pada Pertamina. Pertama, Â menjamin keamanan energi melalui penyediaan pasokan bahan bakar. Kedua, menghasilkan pemasukan untuk membiayai pembangunan.
Semua berakhir pasca krisis 1998, saat dilakukan liberalisasi besar-besaran di sektor migas. Sebagai bagian syarat bantuan keuangan IMF, pemerintah menjanjikan melakukan reformasi sektor migas dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) yang dikirim ke IMF, 20 Januri 2000. Artikel 80 menjelaskan bahwa pemerintah berkomitmen  reformasi Pertamina; mengizinkan harga produk domestik mencerminkan tingkat harga internasional; membangun kerangka kebijakan yang koheren dan sehat untuk mempromosikan pola penggunaan energi domestik yang efisien dan berkelanjutan.
UU Migas No.22/2001 mengubah total posisi Pertamina menjadi sama dengan perusahaan swasta. Kontrak dengan perusahaan asing migas tidak lagi melalui Pertamina, tetapi dengan Badan Pengelola Migas. Badan ini berubah menjadi SKK Migas setelah pengajuan judicial review oleh beberapa organisasi sosial.
Liberalisasi berdampak pada keamanan pasokan. Sebagai perusahaan swasta, Pertamina harus menerapkan prinsip 'budget constraint' (hambatan anggaran) di mana ukuran pendapatan menjadi dasar keputusan investasi baru. APBN hanya dipakai untuk membayar kewajiban domestik yang dibebankan pemerintah  yakni pengadaan dan penyaluran  distribusi BBM.
Dampaknya adalah terhambatnya kegiatan eksplorasi sumber migas baru karena prinsip kehati-hatian anggaran. Resiko kegagalan eksplorasi dan eksplotasi harus diperhitungkan betul sehingga tidak memboroskan keuntungan yang ditabung. Sebelumnya sebagai perusahaan negara., kerugian Pertamina dapat disubsidi dengan APBN.
Di tengah keengganan perusahaan asing masuk ke sektor hulu karena biaya eksplorasi besar, seharusnya Pertamina dapat ditugaskan dengan sokongan APBN. Dukungan finansial ini tidak lagi bisa dilakukan karena perubahan kedudukan Pertamina. Dampaknya adalah kemandegan sektor hulu yang direfleksikan stagnannya angka lifting minyak pasca tahun 2000. Pasokan minyak domestik untuk keamanan energi juga ikut terpengaruh.
Penutup