Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Soal Laut China Selatan, Indonesia Tak Bisa Lagi Pasifis

24 Januari 2024   23:45 Diperbarui: 26 Januari 2024   10:15 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat Capres ke-3, 7 Januari 2024, membahas  kebijakan HANKAM, Geopolitik dan Hubungan internasional. Dalam debat ini,  ada pertanyaan tentang bagaimana mereka merespon masalah Laut Cina Selatan (LCS). 

Jawaban dari para capres, pada hemat saya tidak memuaskan. Prabowo menekankan kekuatan pertahanan konvensional. Anis Baswedan mengusung sentralitas ASEAN. Ganjar merencanakan menyediakan tanker untuk memasok logistik angkatan laut.  

LCS adalah sebuah isu yang kompleks. Dari sisi aktor, kawasan ini melibatkan klaim tumpang tindih dari beberapa negara ASEAN, Taiwan  dan Cina. Vietnam, Philipina, Malaysia dan Brunai adalah negara-negara yang memiliki klaim teritorial di LCS.

Cina bilang  seluruh wilayah LCS sebagai bagian dari kedaulatan teritorialnya. Negara ini lalu bikin "nine dash line' (sembilan garis putus-putus yang memasukkan seluruh kawasan LCS. 

Salah satu dasar klaim Cina adalah LCS merupakan 'adjacent water" (perairan dekat) untuk menjadi dasar klaim. Sebuah istilah yang tidak dikenal dalam hukum internasional tentang Laut.

Masuknya AS menambah kompleksitas konflik di  LCS. Salah satu tujuan pembentukan pakta pertahanan dengan Australia dan Inggris adalah untuk merespon sepak terjang Cina di LCS, selain mengantipasi perubahan keseimbangan strategis di kawasan Indo Pasifik. 

Keterlibatan AS memang satu kebutuhan untuk mengimbangi sepak terbang Cina. Tanpa AS, tidak ada kekuatan yang mampu meredam perluasan klaim Cina keluar dari kawasan LCS. Kehadiran AS memastikan LCS tetap menjadi jalur pelayaran damai dan terbuka bagi kapal-kapal dari negara mana pun.

Dari sisi ekonomi, LCS adalah satu urat nadi perekonomian global. Negara-negara Asia Timur, Jepang, Korea Selatan dan ASEAN adalah mesin pertumbuhan ekonomi global. Konflik terbuka di kawasan ini akan mengganggu jalur dagang dan pasokan energi kawasan Asia. Dampaknya bisa sangat buruk pada stabilitas ekonomi global.

Dari segi sumber daya, LCS diduga memiliki kandungan gas alam, minyak dan metana. Kandungan energi yang besar membuat Cina berkeras mengangkangi seluruh perairan di LCS.

 Mesin industri yang berputar cepat dan otot militer yang makin perkasa jelas butuh pelumas, yakni minyak dan gas. Produksi energi dalam negeri Cina  tidak cukup. Potensi minyak dan gas di LCS dapat menjawab kebutuhan energi negara ini.

Sumber daya perikanan adalah potensi lain. Ada miliaran mulut yang harus diberi makan, tidak hanya di Cina, tetapi juga di negara-negara ASEAN. Menguasai kawasan LCS berarti menguasai sumber protein penting untuk mengisi perut penduduk yang jumlah terus bertumbuh.

Indonesia tidak bisa lagi Pasifis.

Sumber gambar: maritimnews.com
Sumber gambar: maritimnews.com

Awalnya, Indonesia selalu berusaha menarik jarak dari konflik LCS. Argumen pemerintah karena kita bukan pihak pengklaim. Argumen ini tidak tepat. 

Indonesia tidak bisa lagi 'pasifis', diam menunggu perang rebutan wilayah terjadi di LCS. Pertama, konflik terbuka di LCS akan mengganggu keamanan dan stabilitas ekonomi ASEAN di mana Indonesia menjadi negara penting. Meski bukan pengklaim, Indonesia harus terlibat langsung dalam upaya pencegahan konflik dan penyelesaian sengketa teritorial.

Kedua, Cina memasukkan sebagian kawasan Laut Natuna Utara ke dalam sembilan garis imajiner terputus-putus (nine dash line). Tahun 2021, Tiongkok mengirim nota diplomatik kepada pemerintah RI. 

Nota ini intinya meminta Indonesia menghentikan pemboran eksplorasi Migas di ZEE di perairan Natuna Utara. Tiongkok mengklaim lokasi pemboran adalah wilayah teritorialnya. Selain itu, beberapa kali kapal penjaga pantai Cina memasuki zona ekonomi ekslusif Indonesia di Perairan Natuna.  

Nota protes dapat menjadi menuntut perubahan respon politik dan keamanan yang lebih asertif soal LCS.  'Indonesia tak bisa lagi bersikap pasifis' memiliki makna bahwa sikap diam dan menarik jarak dari konflik di LCS tak lagi relevan. Soal waktu saja klaim Tiongkok akan melebar ke Natuna.

Pola penguasaan Tiongkok atas LCS harus menjadi pelajaran bagi Indonesia. "Crossing the river by feeling the stones" (menyeberangi sungai sambil merasakan batu-batuan) adalah strategi Cina dalam merumuskan berbagai kebijakan. Frasa ini pertama kali dibuat oleh salah Chen Yun, salah satu tokoh PKC tahun 1950.

Intinya adalah lakukan sesuatu secara bertahap. Seperti orang menyeberangi sungai, rasakan dulu pijakan. Jika kuat, teruskan langkah selanjutnya. 

Deng Xiao Ping mengadopsinya dalam proses reformasi ekonomi pada tahun 1980-an. Ia memulai dengan membuka tiga propinsi di selatan untuk investasi asing, lalu disusul daerah lain dan juga membuka sektor ekonomi lain lain.

Dalam kasus LCS,  strategi bertahap nampaknya juga diterapkan.  Klaim Cina sudah lama. Pendudukan atas Mischie Reef, atol yang diklaim Philipina, sudah dilakukan sejak 1995. 

Sikap lunak AS dan negara-negara pengklaim mendorong negara tersebut terus 'menyeberangi sungai ambil  membangun pijakan'. Sungai itu adalah LCS.

Di Mischie Reef, Cina sedang membangun pangkalan militer. Sementara US Naval War College melaporkan Cina sedang membangun sebuah kota di kepulauan Paracel, gugus kepulauan di LCS yang masuk dalam wilayah sengketa (https://www.cnbcindonesia.com). 

Reaksi AS dan Inggris dengan mengirim armada AL ke LCS sebenarnya terlambat. Posisi Tiongkok sudah jauh lebih kuat dan karenanya berani menantang kekuatan AL AS. Jika sejak awal AS mencegah Cina membangun beberapa pulau karang, posisi Cina tak akan sekuat sekarang.

Perluasan klaim Cina  ke zona maritim Indonesia bukan tidak mungkin setelah pijakan kuat di LCS. Kemampuan AL People Liberation Army belum mampu menandingi Armada ke 7 AS. Hanya soal waktu. 

Pembangunan kapal induk ke tiga menunjukkan ambisi memperluas wilayah pengaruh dan kemampuan mengontrol lautan Hindia dan LCS. Indonesia tidak bisa menjaga jarak dari konflik di kawasan penting tersebut.

Apa yang bisa dilakukan?

Presiden baru pemenang pemilu harus menempatkan isu LCS sebagai agenda prioritas. Perkembangan di kawasan maritim ini membutuhkan respons kebijakan yang komprehensif dan berjenjang. 

Pertama, di tingkat regional, Indonesia perlu  mendorong peran ASEAN yang lebih aktif. Upaya bersama ASEAN dalam mengintroduksi gagasan 'ASEAN Outlook of  Indo-Pacific'(AOIP) bisa diperkuat. 

Berbeda dengan gagasan Indo-pacific yang menempatkan Cina sebagai 'musuh' yang harus dikurung. AOIP menyodorkan Indo-pasicif sebagai kawasan kerjasama yang terbuka.

Sedangkan di dalam negeri, gabungan antara pendekatan politik dan militer dapat ditempuh untuk mengantisipasi perluasan konflik di LCS di masa depan. Presiden Jokowi sudah memulainya. 

Dalam bidang politik, misalnya, Indonesia memberi nama 'Laut Natuna Utara' untuk  perairan di sekitar Natuna. Ini adalah 'language political game'.

Penggunaan nama 'Natuna' memperkuat klaim teritorial Indonesia. 'Natuna' berbeda dengan 'Cina' dalam nama 'Laut Cina Selatan'. Kira-kira yang mau disampaikan begini "Natuna itu berada di luar dari LCS karena itu jangan ganggu Natuna.

Selain, itu pertahanan dan keaman di Natuna perlu diperkuat. Langkah-langkah yang ditempuh adalah meningkatkan kapasitas kapal badan keamanan laut, peningkatan patroli, dan penambahan kapal perang. Rencana pemerintah akan membangun pangkalan TNI-AL di Natuna sudah tepat. 

Mabes TNI AL sudah mensurvei lokasi pangkalan di tahun 2022. Penempatan helikopter serang, Apache, yang dibeli dari AS ikut meningkatkan kemampuan respons TNI terhadap pelanggaran kedaulatan dan ancaman keamanan lain.

Strategi penting lain adalan meningkatkan kehadiran nyata. Langkah ini dilakukan dengan mempercepat kontrak eksplorasi dan eksploitasi migas di Natuna. 

Jika Pertamina belum mampu, kehadiran perusahaan-perusahaan migas asing dapat memperkuat kehadiran real Indonesia di zona maritim Natuna.

Pemberdayaan nelayan lokal adalah cara lain menghadirkan 'Republik Indonesia' di laut Natuna Utara. Bantuan kapal, peralatan navigasi memampukan nelayan Riau beroperasi lebih jauh ke zona ekonomi eksklusif. 

Mereka bukan kombatan, tetapi mereka bisa menjadi 'mata dan telinga' TNI AL. Nelayan bisa melaporkan pelanggaran batas wilayah, penangkapan ikan secara ilegal dan ancaman lain.

Pengalaman kehilangan Sipadan dan Ligitan harus menjadi pelajaran. 'Kehadiran nyata' menjadi salah satu alasan di balik keputusan Mahkamah Internasional untuk memenangkan klaim Malaysia atas dua pulau tersebut. Malaysia, katanya, membangun destinasi wisata dan sanktuari penyu di kedua pulau tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun