Dalam kasus LCS, Â strategi bertahap nampaknya juga diterapkan. Â Klaim Cina sudah lama. Pendudukan atas Mischie Reef, atol yang diklaim Philipina, sudah dilakukan sejak 1995.Â
Sikap lunak AS dan negara-negara pengklaim mendorong negara tersebut terus 'menyeberangi sungai ambil  membangun pijakan'. Sungai itu adalah LCS.
Di Mischie Reef, Cina sedang membangun pangkalan militer. Sementara US Naval War College melaporkan Cina sedang membangun sebuah kota di kepulauan Paracel, gugus kepulauan di LCS yang masuk dalam wilayah sengketa (https://www.cnbcindonesia.com).Â
Reaksi AS dan Inggris dengan mengirim armada AL ke LCS sebenarnya terlambat. Posisi Tiongkok sudah jauh lebih kuat dan karenanya berani menantang kekuatan AL AS. Jika sejak awal AS mencegah Cina membangun beberapa pulau karang, posisi Cina tak akan sekuat sekarang.
Perluasan klaim Cina  ke zona maritim Indonesia bukan tidak mungkin setelah pijakan kuat di LCS. Kemampuan AL People Liberation Army belum mampu menandingi Armada ke 7 AS. Hanya soal waktu.Â
Pembangunan kapal induk ke tiga menunjukkan ambisi memperluas wilayah pengaruh dan kemampuan mengontrol lautan Hindia dan LCS. Indonesia tidak bisa menjaga jarak dari konflik di kawasan penting tersebut.
Apa yang bisa dilakukan?
Presiden baru pemenang pemilu harus menempatkan isu LCS sebagai agenda prioritas. Perkembangan di kawasan maritim ini membutuhkan respons kebijakan yang komprehensif dan berjenjang.Â
Pertama, di tingkat regional, Indonesia perlu  mendorong peran ASEAN yang lebih aktif. Upaya bersama ASEAN dalam mengintroduksi gagasan 'ASEAN Outlook of  Indo-Pacific'(AOIP) bisa diperkuat.Â
Berbeda dengan gagasan Indo-pacific yang menempatkan Cina sebagai 'musuh' yang harus dikurung. AOIP menyodorkan Indo-pasicif sebagai kawasan kerjasama yang terbuka.
Sedangkan di dalam negeri, gabungan antara pendekatan politik dan militer dapat ditempuh untuk mengantisipasi perluasan konflik di LCS di masa depan. Presiden Jokowi sudah memulainya.Â