Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pola Pikir Birokrasi dan Daya Saing Global

7 Februari 2023   22:47 Diperbarui: 7 Februari 2023   22:51 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pendahuluan

Proses globalisasi telah mengubah pola pengorganisasian ruang dan aktivitas ekonomi. Jika sebelumnya aktivitas produksi, distribusi dan konsumsi cenderung dibatasi teritori nasional, proses globalisasi mendorong deteritorialisasi ekonomi. Akibat ikutannnya adalah denasionalisasi ekonomi di mana kegiatan produksi dan distribusi berjalan dalam jaringan produksi global yang menyatukan faktor produksi, tenaga kerja, kapital dan lokasi di negara dan lokasi berbeda. Jaringan produksi ini menspesialisasikan diri di jenjang produksi yang berbeda untuk mengejar efisiensi dan nilai tambah.

Dalam proses ini, competitivenes, (daya saing) menjadi kata kunci. Negara berkompetisi satu sama lain untuk menarik investasi dan menjadi bagian dari jaringan produksi global. Tulisan ini hendak mendiskusikan jawaban atas pertanyaan (1) bagaimana  hubungan antara mind-set (pola pikir) birokrasi dengan tingkat daya saing Indonesia? Strategi apa yang ditempuh untuk mengubah pola pikir yang mendukung daya saing global Indonesia?

Daya saing global Indonesia

Posisi daya saing global Indonesia terus mengalami fluktuasi beberapa tahun belakangan ini. World Competitive Year Book 2022 yang diterbitkan oleh Institute of Management Development (IMD) menempatkan daya saing Indonesia di urutan 44. (Kompas, 2022).  Posisi ini turun dari nomor 37 di tahun 2021. Indeks daya saing Indonesia pernah mencapai posisi 32 di tahun 2019, naik dari posisi 43 di tahun 2018. Pada tahun 2020 menurun menjadi 40 lalu melorot menjadi 44 di tahun 2022.

Untuk Asia Tenggara, posisi Indonesia di tahun 2022 lebih rendah dari Malaysia (32) dan Thailand (33). Hanya lebih baik dari Philipina yang berada di posisi 48 dan jauh di bawah Singapura yang berada di posisi ke 3. Index diukur berdasarkan empat variabel yang meliputi kinerja ekonomi, efiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan insfrastruktur.

Penurunan index daya saing menunjukkan bahwa daya tarik Indonesia  sebagai lokasi aktivitas ekonomi, investasi atau perdagangan, belum mengalami perbaikan.. Kekurangan ini kemudian mempengaruhi daya saing di pasar internasional. Rendahnya investasi menghambat peningkatan produktivitas barang dan jasa, penurunan volume perdagangan internasional dan daya tarik produk-produk Indonesia di pasar global.

Salah satu sebab penurunan daya saing adalah inefisiensi pemerintah, dalam hal ini inefisiensi birokrasi. Sementara indeks kecukupan infrastruktur mengalami kenaikan menjadi posisi 52 dari posisi 57 di tahun 2021, indeks efisiensi birokrasi justru memburuk dari 26 di tahun 2021, menjadi nomor 31 di tahun 2022.

Sebuah survei dilakukan IMD terhadap pandangan para eksekutif tentang daya tarik Indonesia. IMD meminta mereka memilih 5 dari 15 indikator daya tarik Indonesia. (IMD, 2022). Sebanyak 81,5 % memilih dinamisme ekonomi sebagai hal yang paling menarik dari Indonesia. Sikap terbuka dan positif dipilih oleh 58.0 % responden. Sedangkan kompentensi pemerintahan dipilih oleh hanya 21,0 % responden. Angka rendah ini bermakna bahwa para eksekutif memiliki persepsi bahwa birokrasi pemerintah Indonesia kurang memiliki kompetensi dalam menjalankan fungsi mereka terutama yang berhubungan dengan proses 'doing business". Rendahnya index efisiensi birokrasi nampaknya memberikan dampak pada efisiensi bisnis.

Pemerintah telah melakukan proses reformasi birokrasi. Dari segi struktur organisasi, birokrasi gemuk telah dipangkas dengan menerapakan struktur yang lebih ringkas. Prinsip pengendalian hirarkhis dikurangi, sedangkan integrasi, koordinasi dan kolaborasi horisontal diperkuat. Dari segi proses, berbagai macam aturan dan tahapan yang memperlambat proses perizinan dan kemudahan 'doing business' juga dipangkas.

Undang-Undang Cipta kerja adalah salah satu upaya komprehensif dalam memperbaiki efisiensi pemerintahan dalam meningkatkan daya saing global. Undang-undang ini menghapus, mengintegrasikan dan memangkas berbagai aturan yang salaing bersaing dan bertabrakan. Seharusnya pemberlakuan UU ini menaikkan posisi daya saing Indonesia, tetapi yang terjadi sebaliknya. Dengan demkian ada variabel lain yang belum berubah sehingga komunitas bisnis global tidak melihat perbaikan iklim bisnis dan kebijakan pro pasar di Indonesia.

Pola Pikir Birokrasi dan Daya saing Global

Salah satu sebab yang dapat diduga di balik inefisiensi birokrasi adalah pola pikir. Mind-set atau pola pikir adalah orientasi mental seseorang yang mempengaruhi pandangan seseorang terhadap sebuah persoalan. Orientasi mental ini merupakan kombinasi dari "asumsi, metode dan catatan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang tertanam sangat kuat." (Kokom Komala, 2022). Dalam orientasi mental ini terkandung apa yang digambarkan tentang sebuah persoalan yang dihadapi, cara menghadapi dan menyelesaikan malasah tersebut. Asumsi dan pilihan metode penyelesaian dipengaruhi oleh rekaman memori terhadap persoalan-persoalan sejenis di mana lalu.

Pola pikir dibentuk melalui tiga proses yakni pendidikan, pengalaman dan proses sosialisasi. Proses pendidikan yang tidak memberikan kesempatan pada anak melakukan eksplorasi akan menghasilkan individu dengan pola pikir yang stagnan, taat prosedur, kurang kreatif dan cenderung mengulang apa yang sudah dipraktekkan. Pengalaman juga menentukan pola pikir. Pengalaman dihargai karena mampu melakukan perubahan yang lebih baik akan mendorong pola pikir yang lebih kreatif, inovatif dan berani mengambil resiko. Selain itu, faktor lingkungan sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan pola pikir seseorang. Individu yang bertumbuh dalam lingkungan yang demokratis cenderung memiliki pola pikir yang terbuka pada perubahan, kreatif mendiskusikan persoal dan alternatif solusi. Sebaliknya mereka yang dididik dalam lingkungan otoroter dan tertutup cenderung pasif dan menunggu perintah.

Pola pikir birokrasi Indonesia yang sering digambarkan sebagai lamban, tidak responsif pada kebutuhan pelanggan, berbelit-belit dan pelayanan berbiaya tinggi merupakan sumber dari inefisiensi pemerintah. Pola pikir ini telah mengurangi daya tarik Indonesia bagi pelaku bisnis internasional. Akar dari pola pikir yang tidak responsif adalah warisan kultur birokrasi lama yang dibangun selama pemerintah otoriter Orde Baru.

Perluasan birokrasi Indonesia terjadi dalam tiga konteks yang kemudian melahirkan kultur dan pola pikir yang customer unfriendly seperti saat ini. Pertama, birokrasi Indonesia berkembang dalam era di mana peran negara memiliki peran yang sangat luas dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan. Negara menguasai sumber-sumber ekonomi penting dan menggunakan hasilnya untuk memberi dukungan politik. Negara omnipotent (menguasai semua bidang) juga omnipresent (hadir di mana-mana). Dalam menguasai dan hadir di mana-mana, negara menggunakan jaringan birokrasi. Dampaknya adalah pertumbuhan sebuah birokrasi dengan pola pikir sebagai alat negara dan bukan pelayan masyarakat. Kedua, perluasan peran negara ini terjadi ketika negara memiliki pendapatan dari rezeki minyak yang memungkinkan negara memperluas kesejahteraan.  Birokrasi menjadi wakil sebuah negara yang benevolent (baik hati) dengan membagi-bagikan program subsidi dan kesejahteraan. Warga dilihat sebagai penerima yang tugasnya hanya menunggu kebaikan negara. Ketiga, warisan kultur feodalistik yang mempengaruhi pola hubungan hirarkis majikan dan anak buah, atasan dan bawahan. Dampaknya adalah orientasi pelayanan bergerak ke atas, ke hirarkhi birokrasi bukan ke bawah dan ke samping yakni ke warga.

Pola pikir birokrasi yang lamban, tidak terbuka, kolusif, berorientasi ke atas tidak cocok untuk menghadapi perubahan ekonomi global yang ditandai dengan kompetisi semakin ketat. Negara-negara lain telah mengubah dirinya dari sebuah unit politik pengontrol warga menjadi negara dagang. Perubahan ini tercermin dari pemangkasan jumlah lapisan administrasi pemerintahan, penyederhanaan pelayanan, deregulasi dan liberalisasi investasi asing, digitalisasi masif, insentif pajak yang murah hati dan pemangkasan berbagai kebijakan yang menghambat investasi. Tujuannya adalah mempermudah aktivitas doing business sehingga menarik lebih banyak investasi perusahaan-perusahaan global di berbagai sektor.

Negara-negara dagang seperti Singapura, Korea Selatan dan bahkan China mengubah birokrasi mereka dari sebuah organisasi pelayan negara menjadi 'petugas pemasaran' negara. Mereka mendidik ulang para pejabat, pegawai dan staf pemerintah untuk bersikap terbuka pada perubahan, menerima hal-hal baru, memperkuat keterampilan dan literasi digital. Tujuannya adalah meningkatkan daya saing negara dalam kompetisi ekonomi global.

Mengubah Pola Pikir Birokrasi

Tanpa perubahan pola pikir birokrasi, daya saing Indonesia tidak akan mengalami peningkatan berarti. Pola pelayanan yang dikembangkan selama 32 tahun rezim otoriter Orde baru sudah menjadi mindset yang cenderung menetap. Perubahan hanya dapat dimulai melalui kombinasi pendidikan ulang, introduksi iklim kompetisi dalam organisasi birokrasi, penghargaan yang berbasis prestasi.

Banyak langkah yang telah dilakukan pemerintah dalam bentuk perampingan struktur organisasi birokrasi dan pemberlakuan promosi berbasis sistem meritokrasi. Yang muda, cakap dan berprestasi dapat dipromosikan untuk memegang jabatan tertentu sesuai dengan kapasitas intelektual, manajerial dan kemimpinan yang dimiliki.

Kunci dari reformasi birkorasi ada reformasi pola pikir. Pendidikan ulang adalah sarananya. Hanya saja model-model pendidikan melalui diklat yang ada tidak mengembangkan kemampuan kritis, kreativitas dan semangat kompetisi pegawai dan birokrat. Model yang ada terlalu monolog, klasikal dan fokus pada curahan informasi tentang regulasi kebijakan.

Efek diklat sebagai sarana edukasi ulang lebih besar jika menerapkan model-model pendidikan orang dewasa, seperti analisis kasus, permainan peran dan proyek kelompok. Dalam permainan peran misalnya, para peserta bisa memainkan peran sebagai petugas pelayanan perizinan dan investor. Peserta lain diminta mengamati apa yang terjadi dan menganalisis pola pelayanan yang ada, mind-set apa yang mendasari sikap birokrat pelayan dan aspek lain. Model-model pempelajaran lain juga dapat diterapkan dalam pendidikan dan pelatihan pegawai.

Penutup

Globalisasi ekonomi memaksa negara berubah menjadi competition state. Negara tipe ini bersaing satu sama lain untuk menjadi pemenang dalam kompetisi ekonomi global. Perubahan mind-set birokrasi menjadi satu instrumen penting dalam upaya ini. Mereka melakukan reformasi birokrasi, mendidik ulang pegawainya agar memiliki pikiran terbuka, perilaku anti-korupsi, pelayanan berorientasi pada pelanggan. Mengapa ini dilakukan? Jawabnya adalah fungsi negara sebagai penyedia kesejahteraan tidak lagi bertumpu pada peran langsung ekonomi negara, tetapi pada aktivitas ekonomi swasta. Dari kegiatan swasta negara mendapat pajak, meningkatkan pendapatn dari ekspor, menyediakan lapangan kerja dan menjalankan fungsi lainnya. Indonesia tidak bisa bebas dari kondisi ini. Reformasi pola pikir birokrasi adalah satu keharusan jika ingin memiliki daya saing global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun