Mohon tunggu...
Nikolaus Loy
Nikolaus Loy Mohon Tunggu... Dosen - Dosen HI UPN Veteran Yogyakarta

Menulis artikel untuk menyimpan ingatan. Menulis puisi dan cerpen untuk sembuh. Suka jalan-jalan ke gunung dan pantai. Suka masak meski kadang lebih indah warna dari rasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

EBT Butuh EBT

19 Agustus 2022   09:36 Diperbarui: 19 Agustus 2022   09:47 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah serius meningkatkan penggunaan EBT (energi baru dan terbarukan).  Energi baru adalah energi yang dihasilkan dari energi fosil atau bukan, dengan menggunakan teknologi. Masuk adalam kelompk ini adalah nuklir, batubara cair, batubara yang digasifikasi. Sedanga energi terbarukan dihasilkan dari sumber yang bisa memproduksi energi secara terus menerus. Mauk dalam jenis ini adalah tenaga surya, tenaga bayu, hidro, bio-energi  dan tenaga samudera.

 Porsi EBT dalam bauran energi nasional ditargetkan sebesar 23 % (2025) dan 31 % (2050).  Porsi minyak diturunkan dari 25 % (2025), menjadi 20 % (2050). Batubara dari 35 % ke 20 30 % di dua tahun yang sama.

Transisi ke EBT didorong oleh beberapa alasan. Pertama,  potensi sumber daya EBT yang sangat kaya. Kementerian ESDM melaporkan total potensi EBT sebesar 3.868 Gigawatt, tetapi pemanfaatanya baru sebesar 0,3 %. Sejauh ini, potensi

Kedua, penurunan produksi minyak, Siaran pers kementerian ESDM pada Agustus 2021 menyebut angka 661 ribu barrel per hari. Sedangkan tingkat konsumsi BBM di atas 1 juta barrel per hari.

Impor minyak dilakukan untuk memenuhi konsumsi. Badan Pusat Statisitik mencatat impor minyak mentah 1,58 juta ton di bulan Maret 2021. Bulan sebelumnya hanya sebesar 519,4 ribu ton. Juni 2022, nilai impor migas mencapai 319,2 juta dollar AS.

Kedua, subsidi dan beban APBN. Di pasar internasional, harga minyak sensitif terhadap  konflik. Begitu 'mercon' meletus di zona penghasil minyak seperti Timur Tengah,  harga minyak terus memanjat grafik. Di dalam negeri, harga minyak sensitif secara politik. Harga minyak dunia melonjak,  pemerintah 'pusing tujuh keliling' sebelum menambah harga bahan bakar minyak.

Subsidi BBM mendamaikan kenaikan harga minyak dunia dengan harga BBM domestik yang rendah. Subsidi menahan harga BBM tetap terbeli dan membujuk harga-harga bahan poko lain tetap tenang.  Volume impor minyak tinggi, membuat angka subsidi juga  besar. Menkeu Sri Mulyani dalam dengar pendapat dengan badan anggaran DPR (1/7/2022) menyebut subsidi tahun 2022 sebesar Rp 571,8 trilliun. Energi menghabiskan  Rp 293,5 Trilliun. Subsidi energi ikut memperbesar defisit APBN tiap tahun.

Dampak lingkungan juga ikut mendorong penggunaan EBT. Minyak dan batubara makin beracun bagi lingkungan. Lembaga-lembaga donor mulai enggan membiayai pembangkit listrik tenaga batubara. Uni Eropa dan Jepang tak mau lagi pinjam uang untuk proyek listrik tak ramah bumi. Cina yang sebelumnya sangat murah hati memberi pinjaman, mulai menolak  membiayai pembangkit batubara.

Dunia makin panas. Iklim dunia makin tak menentu. Musim hujan jadi kemarau. Kemarau jadi musim hujan. Negara-negara kepulauan kecil cemas karena air laut sudah sampai 'batang leher'.

Sebab utama adalah gas rumah kaca di atmosfir yakni karbondikosida dan teman-temannya. Bagaimana mereka bekerja memanggang bumi? Parkirlah mobil di luar siang hari. Panas matahari masuk ke dalam mobil. Lapisan kaca menyerap panas, tetapi menahan sebagian panas. Malam saat pintu dibuka, mobil masih panas. Kira-kira begitu cara gas rumah kaca bekerja membuat suhu bumi makin hangat.

Untuk mengurangi emisi karbon, Indonesia harus beralih ke EBT. Melalui perjanjian Paris yang diratifikasi than 2016, Republik ini sudah membuat janji yang bernama NDC (National Determined Contribution). Ini adalah besaran kontibusi nasional dalam pengurangan emisi. Target Indonesia adalah pengurangan emisi sebesar 29 % di tahun 2030 tanpa bantuan Internasional. Dengan uluran tangan dunia, target NDC penurunan emisi naik menjadi 41 % di tahun yang sama.

Energi Butuh Transfer

Proses transisi tidak berjalan cepat. Siaran pers kementerian ESDM (17/1/2022) menyebutkan porsi EBT baru mencapai 11,5 % di tahun 2021. Raihan ini  jauh dari target 23 % (2025). Salah satu sebabnya adalah beban pemerintah pusat  terlalu besar. Sudah saatnya pemerintah daerah (pemda) berperan lebih besar dalam pengembangan EBT.

Mengapa Pemda?. Kedaulatan energi menuntut tata kelola berjenjang. Urusan sebaiknya energi dibagi di antara pihak swasta dan pemerintah, antara pusat dan daerah. Dalam sistem ini, lembaga lokal bisa menyediakan energi dari sumber-sumber setempat. Lagipula, sumber EBT seperti tenaga hidro, bayu dan tenaga surya   tersebar dan  tidak bisa ditransport. Karena itu, pengelolaannya sebaiknya  didesentralisasi.

Pemda dapat melakukan banyak hal. Pertama, membangun pembangkit EBT lokal misalnya listrik fotovoltaik atau mikro-hidro. Jika skala pembangkit besar,  kabupaten  bisa bekerjasama satu sama lain dan membagi beban pembiayaan. Kedua, mendorong adopsi teknologi di tingkat lokal. Misalnya, teknologi bio-gas, mini dan mikro hidro, atau biomassa. Pemda juga dapat mengembangkan literasi dan edukasi EBT untuk menumbuhkan budaya EBT di tingkat lokal.

Ketiga, EBT memerlukan pemeliharaan rutin.  Pembangkit EBT, seperti PLTS,  tidak bertahan lama karena tidak dirawat. Jakarta terlalu jauh. Demikian juga, ibu kota propinsi. Pemeliharaan EBT harusnya diserahkan ke intansi yang paling dekat dengan pembangkit. Misalnya kepada unit pelaksana teknis di kabupaten.

Peran Pemda dalam  EBT (Energi Baru dan Terbarukan) menuntut  EBT (Energi butuh transfer). Yang ditransfer adalah Pertama, wewenang untuk mengelola pembangkit  EBT yang berskala menengah dan kecil. Pemerintah pusat bisa berkonsentrasi  mengurus jenis EBT berskala besar seperti tenaga hidro berbasis waduk.

Kedua, transfer anggaran untuk membangun, memelihara atau mengembangkan sistem pendukung bisnis EBT. Pemerintah pusat  membangun instalasi EBT khususnya listrik tenaga surya di daerah-daerah 3 T (terluar, tertinggal dan terpencil). Perpres No. 47/2027 mewajibkan pemerintah menyediakan secara gratis  Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) Bagi Masyarakat yang Belum Mendapatkan Akses Listrik. Kebijakan ini menjadi dasar membangun  PLTS rumahan dengan biaya Rp 3-3,5 juta, dengan kekuatan lampu surya portabel. Ke depan, program-program seperti ini sbaiknya diserahkan ke daerah.

 Ketiga, transfer kapasitas teknis. Proyek-proyek EBT terutama PLTS sering hidup 3 sd 4 tahun lalu 'meninggal' selamanya. Sebabbnya adalah kita rajin membangun, tetapi tidak rajin memelihara. Daerah-daerah 3 T belum memiliki kapasitas teknis dan jaringan bisnis untuk mendukung keberlanjutan EBT. Ketika LTSHE rusak, warga pengguna tidak tahu harus bertanya pada siapa. Karena itu, dengan transfer wewenang, pemda dapat membentuk lembaga  teknis untuk membangun dan merawat pembangkit EBT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun